08

46 12 0
                                    

Sudah dua puluh menit telah berlalu bel pulang berbunyi. Banyak diantaranya yang bergegas untuk segera pulang ke rumah. Tidak dengan Shalsa.

Kini ia berniat untuk mampir ke toko bunga sejenak sebelum kembali pulang. Sesuai janji Shalsa terhadap Mamanya, ia ingin menghadiahi bouqet bunga matahari di hari ulang tahun Mama Rita.

~~~~~

Shalsa telah tiba di tempat yang dia inginkan. Toko bunga. Suara lonceng terdengar menandakan ada pelanggan memasuki toko. Seorang gadis memakai seragam sekolah yang tingginya sekitar seratus enam puluhan an. Matanya menyisir sudut ruangan, mencari sesuatu. Banyak sekali bunga hias yang memenuhi ruangan, Shalsa saja hampir di buat takjub. Tangannya sesekali menyentuh beberapa bunga yang berbeda.

Shalsa rasa, bunga yang ia inginkan tidak tersedia. Akhirnya ia memutuskan untuk membuka mulut untuk menanyakan kepada salah satu pegawai toko.
"Mba, Bunga matahari nya masih ada ngga?" Tanya Shalsa ramah kepada pegawai itu.

"Stok nya lagi habis mba, ini pesanan terakhir." Sembari menunjukan bouquet bunga matahari.

"Ngga ada lagi ya mba? Coba periksa lagi." Titah Shalsa. Shalsa benar orang yang keras kepala dalam menggapai keinginannya.

"Bener kok mba, soalnya ini belum musim bunga itu, jadi belum ada pengiriman lagi." Sahut ramah pelayan toko.

"Bunga yang lain juga ngga kalah bagus kok mba." Lanjut si pegawai. Shalsa mulai berpikir kembali mencari-cari toko bunga terdekat di sekitar rumahnya.

Mengingat akan ucapan Ayah tadi pagi, ia mengurungkan niat itu. Beliau berpesan kepada Shalsa, sebelum jam lima ia harus sudah berada di rumah agar memastikan acara surprise untuk Rita berjalan dengan lancar.

Shalsa melirik jam tangan yang kini melingkar di pergelangan tangan kirinya. Waktu menunjukan jam tiga kurang, berarti Shalsa masih punya waktu sekitar satu jam setengah  sebelum tiba di rumah.

"Saya beli aja ya mba bunga nya." Rayu Shalsa. Si kasir tersenyum getir mendengar ucapan Shalsa barusan. "Engga bisa mba, ini udah di beli-- itu pembelinya." Si pegawai toko menunjuk kepada salah satu pria yang tengah berdiri dekat pintu.

Seorang pria berbadan tegap nan tinggi sedang menjawab telepon dari seseorang. Dia Mengenakan pakaian sekolah yang tertutup oleh sweater, dia berdiri menatap jalanan kota. "Embak mending tanya langsung sama pemilik bouquet bunga ini." Saran dari kasir itu kepada Shalsa.

Shalsa mendengus sebal, sembari mengerucut kan bibir mungilnya itu. "Yang beli cowok, ya pasti buat cewek lah." Batin Shalsa.

Kini Shalsa sudah ke habisan akal alias buntu, Shalsa terpaksa harus mengurungkan niatnya itu. Sempat terlintas di pikiran Shalsa bahwa ia ingin membelikan bunga yang lain selain bunga matahari. Mengingat dahulu ia pernah menanam bunga matahari di pekarangan rumah, kini tak lagi tumbuh semenjak Rio lahir. Membuat dia mengingat ucapan Rita selepas tempo hari mengenai bunga matahari.

***

Shalsa tengah bersandar di salah satu tiang dekat dengan toko bunga yg baru saja ia kunjungi.

"Nyari kemana lagi coba?" Gerutu Shalsa. Bahkan ia sudah menghabiskan waktu berdiam di tempat itu hampir sepuluh menit.

"Masa pulang begitu aja tanpa membuahkan hasil." Suara Shalsa terdengar seperti orang putus asa-- di tambah penampilannya yang sedikit kusut.

Pulang aja lah.

Kini suara lonceng kembali berbunyi dengan langkah cepat ia mengejar seseorang.

"Tunggu!"

Sebuah suara terdengar dari arah belakang Shalsa. Shalsa sempat ragu buat menoleh, sebab ia pikir teguran itu bukan untuk dirinya. Baru saja Shalsa ingin melanjutkan langkahnya, suara itu kembali bersuara. Cepat cepat Shalsa menoleh.

Sempat celingak celinguk saat Shalsa ingin menanyakannya. "Saya?!" Sembari menunjuk dirinya sendiri.

"Iya." Sahut pria tersebut.

"Eng.. ada apa ya?" Tanya Shalsa bingung.

Kemudian dia mendekat dan hanya memberi jarak sekitar satu setengah, yang membuat Shalsa canggung.

"Ini." Sembari mengulurkan Bouquet bunga Matahari yang berpadu dengan bunga lain, sungguh indah. Shalsa sempat diam sejenak menatap bunga itu penuh pertanyaan.

Dengan memakan waktu lima detik buat Shalsa berfikir. Setelah itu ia mengutarakan kepada sosok yang berada dihadapan nya itu. "Oh, lu mau jual bunga ini ke gua? Udah sini, berapa?" Shalsa merampas bunga itu dari tangan pria tampan dihadapan Shalsa.

Tiga garis terukir di kening wajah kokoh pria tampan yang berada dihadapan Shalsa kini. "Gua ngga bermaksud jual ini ke elu, ini tuh maksud gue buat elo."
Refleks kepala Shalsa mendongak menatap pria yang kini tengah berdiri didepan nya.

Pikiran Shalsa sudah entah kemana mendengar sepatah kata dari dia. "Buat gue?! Dia siapa? Kok udah berani ngasih gua bunga? Apa jangan-jangan dia fans fanatic gue?" Shalsa terus saja berkhayal yang aneh aneh.

"Jadi gini, tadi embak kasir yang di dalem sempet cerita- kalo elu tuh pengen banget bunga ini. Maka dari itu gue pikir elo lebih membutuhkannya di bandingkan gue." Shalsa di buat tersipu oleh sikap manis dari cowok yang di hadapannya.

"Oh gitu. Kalo gue boleh tau emangnya bouquet ini buat siapa?" Tanya Shalsa berhati-hati. Shalsa pikir kenapa dia memberikan bunga ini karena dia habis putus dari pacarnya. Toh tadi dia di dalem lagi nelpon seseorang pas lagi beli bunga.  Makanya Shalsa berasumsi seperti itu.

Sempat ragu juga untuk menjawab pertanyaan berikut. Tapi memang dia tidak punya pilihan lagi selain mengatakan yang sejujur nya. Sempat menghembuskan napas sebelum mengatakan hal tersebut. "Buat almarhum bokap gue."

Tubuh Shalsa kaku mendengar jawaban dari cowok yang berada dihadapan Shalsa. Benar benar jawaban yang tak terduga. Tapi kenapa dia ngasih bunga ini ke gue? Kan yang paling membutuhkan itu dia.

--------------------------------------------

Kadang kita engga pernah tau, apa yang sedang menanti kita di depan sana? Banyak diantara mereka sulit membedakan sebuah pertanyaan dan pernyataan.

ShalsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang