Tersenyumlah

9.3K 346 12
                                    

[Harap follow terlebih dahulu karena cerita akan ada perubahan dan kalian akan mendapat notifikasi update apabila follow akunku. Dan jangan lupa tinggalkan bintang. Terima kasih.]

♤♤♤

Rintik air hujan masih turun membasahi kota Bandung sejak malam. Menciptakan udara dingin yang menyeruak pori-pori kulit. Orang pun akan enggan untuk beranjak dari tempat tidur kecuali orang-orang yang takwa.

Waktu subuh akan tiba. Seorang laki-laki paruh baya sedang bersiap-siap untuk pergi ke masjid. Pagi ini adalah jadwalnya untuk mengumandangkan adzan. Ia harus segera sampai di masjid sebelum waktu adzan tiba.

"Abi ke masjid dulu," katanya pada wanita yang masih mengenakan mukenah sedang duduk di atas sajadah.

Wanita itu hanya mengangguk.

Laki-laki paruh baya itu pun berlalu setelah mengucapkan salam.

Ia berjalan cepat agar segera sampai di masjid karena rintik-rintik hujan semakin deras menghujam ke bumi. Ia pun segera masuk ke dalam masjid lalu mengibaskan pakaiannya yang basah karena rintikan air hujan. Pandangannya beralih pada wanita muda yang sedang duduk di teras masjid sedang memegang Al-Quran. Adzan subuh masih beberapa menit lagi, tapi sudah ada wanita yang datang lebih dulu sebelum adzan berkumandang. Ia merasa heran karena tak pernah ia jumpai wanita ikut shalat jamaah di masjid itu kecuali orang yang tidak tahu atau musafir.

Tak mau lama berpikir, laki-laki paruh baya itu segera masuk ke dalam masjid untuk mengambil air wudhu, setelah itu mengumandangkan adzan.

Jamaah pun mulai berdatangan memasuki masjid untuk menunaikan shalat subuh berjamaah.

Wanita itu merasa bingung karena menjadi pusat perhatian orang-orang yang akan ikut shalat jamaah. Dan ia baru menyadari bahwa hanya dirinya jamaah wanita yang ikut shalat subuh berjamaah. Dilihatnya jamaah laki-laki sampai beberapa shaf, tapi kenapa jamaah wanita tidak ada sama sekali. Wanita itu pun ikut shalat subuh berjamaah meski dia hanya seorang diri sebagai jamaah wanita.

Setelah shalat subuh, wanita itu masih duduk di atas sajadahnya meski shalat jamaah sudah selesai. Ia sibuk dengan tasbih yang ada ditangannya. Matanya basah akan air mata.

Laki-laki paruh baya itu menghampiri sang wanita, karena ia merasa wanita itu bukan orang tempatan.

"Assalamu'alaikum," sapanya pada wanita itu.

Wanita itu mengusap air matanya lalu mendongakkan wajah. "Wa'alaikumussalam," jawabnya.

"Sepertinya kamu bukan asli orang sini. Apa kamu sedang safar?" tanya laki-laki paruh baya itu.

Wanita itu tersenyum. "Iya, Pak. Saya sedang mencari jati diri saya."

Jati diri? Apa dia mualaf?

"Maaf Pak, apa Bapak seorang Ustadz di sini?" tanya wanita itu.

"Saya bukan seorang Ustadz, tapi jika kamu ingin bicara mengenai agama, insya Allah, saya bisa jawab."

"Saya mualaf, Pak. Saya pergi dari rumah karena orang tua saya tak mengizinkan saya untuk memeluk agama Islam. Saya tak tau harus ke mana. Saya bingung." Mata wanita itu terlihat berkaca-kaca.

Laki-laki paruh baya itu merasa iba. "Dari mana asalmu?"

"Jakarta," lirihnya.

"Siapa namamu?"

"Nama saya, Malikha."

"Ayo ikut Bapak." Laki-laki itu mengajak wanita itu agar ikut dengannya.

Wanita itu tak bergeming. Ia ragu untuk ikut dengan laki-laki paruh baya itu. "Saya tak kenal Bapak," katanya ragu.

Menggenggam HijrahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang