Ujian adalah Tanda Sayang

2.9K 218 3
                                    

Gus Wahyu menatap putranya yang sedang menatap ponsel. Mungkin saat ini adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan keinginannya membahas wanita yang akan dijodohkan dengan Akbar.

"Bar, Abi mau nanya serius sama kamu," kata Gus Wahyu pada putranya, Gus Akbar.

Akbar mengalihkan perhatiannya pada sang ayah. Ia segera meletakkan ponselnya di meja lalu membetulkan duduknya, siap menerima pertanyaan dari sang ayah.

"Kemarin Abi ketemu sama Ustadz Arifin. Beliau menawarkan putrinya sama Abi supaya menjodohkannya dengan kamu. Bagaimana menurutmu?" tanya Gus Wahyu mengutarakan maksud.

Ustadz Arifin?

"Siapa nama akhwat-nya, Bi?" tanya Akbar santai.

Baginya hal seperti ini sudah biasa, jadi Akbar menanggapinya hanya datar.

"Namanya Aqila Musdalifah. Insya Allah dia Hafidz Qur'an lulusan Gontor," ulas Gus Wahyu.

"Insya Allah, nanti Akbar istikharah." Akbar tersenyum tipis pada sang ayah.

"Kamu nggak mau tau lagi tentang Nak Qila?" tanya Gus Wahyu memancing.

"Akbar nggak mau banyak nanya, Bi. Akbar takut larut memikirkan dan menerka-nerka. Yang ada nanti Akbar malah nggak fokus ngajar. Biar Allah saja yang menentukan. Akbar yakin, ukhti Aqila wanita baik. Akbar yakin, Abi tak akan salah memilih calon untuk Akbar. Tapi semua ini butuh petunjuk dari Allah."

Gus Wahyu mengangguk dan tersenyum pada sang putra. Ia memahami betul watak putranya.

"Assalamu'alaikum." Terdengar salam dari luar rumah Gus Wahyu.

Gus Wahyu dan Gus Akbar saling menatap. Tidak biasanya di pagi hari seperti ini salah satu ustadz datang ke rumah kecuali masalah mendadak.

"Wa'alaikumussalam." Akbar beranjak dari duduknya. Ia berjalan berlalu dari ruangan itu untuk menemui sang ustadz.

"Gus Wahyu ada? Saya mau menyampaikan sesuatu sama beliau," tanya ustadz itu ketika mendapati Akbar berdiri di depannya.

"Ada. Mari masuk, Ustadz." Akbar menyuruh ustadz itu masuk.

Ustadz itu pun masuk dan diikuti Akbar dari belakang.

"Silakan duduk, akan saya panggilkan Abi." Akbar menyuruh ustadz itu duduk.

Sang ustadz pun mengangguk dan duduk di ruang tamu, sedangkan Akbar berlalu menuju ruang tengahuntuk memberitahu sang ayah jika ustadz itu ingin menemuinya.

Gus Wahyu pun segera menemui sang ustadz karena merasa penasaran dengan kedatangan ustadz itu di pagi hari. "Ada apa, Ziz?" tanya Gus wahyu pada sang ustadz ketika tiba di ruang tamu. Lalu beliau duduk setelah mempertanyakan maksud kedatangan Ustadz Aziz ke rumahnya.

"Beberapa jendela kelas putra pecah, Gus." Ustadz Aziz menunduk di depan Gus Wahyu.

"Pecah?" tanya Gus Wahyu bingung.

"Iya, Gus. Seperti ada yang sengaja memecahkannya," ungkap Ustadz Aziz.

Akbar hanya menyimak obrolan itu.

"Siapa yang melakukannya?" tanya Gus Wahyu.

"Nggak tau, Gus. Baru diketahui tadi, waktu mau buka kelas."

Gus Wahyu tampak berpikir.

"Berapa kelas yang jendelanya pecah?" tanya Gus Akbar. Melihat ayahnya hanya terdiam.

"Lima kelas, Gus. Satu kelas yang pecah ada yang dua, ada yang tiga, ada juga yang empat," sahut Ustadz Aziz.

"Bersihkan saja pecahan kacanya dan proses belajar tetap berlangsung. Nanti kita musyawarah untuk memperbaiki jendelanya." Gus Wahyu memberi saran.

Menggenggam HijrahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang