Gus Akbar

3.4K 237 6
                                    

Satu minggu di pondok telah Malikha lalui. Banyak yang ia pelajari selama di dalam pondok. Ia mulai menghafal surat-surat pendek dari Al-Qur'an. Ia pun dapati doa pendek sehari-hari. Malikha bersyukur karena ia telah menjadi bagian dari Islam. Ada kenyamanan tersendiri yang ia dapat dalam agama Islam. Islam tak keras seperti yang ia bayangkan. Islam tak ribet seperti yang ia lihat. Dan islam tak kasar seperti yang ia pikirkan. Justru ia merasa islam sangat mulia. Islam memuliakan wanita. Islam mengajarkan kelembutan. Islam mengajarkan rasa toleransi. Islam benar-benar tak seperti yang dulu ia bayangkan. Islam rahmatan lil'alamin.

Malikha berjalan cepat agar segera sampai dapur. Ia meminta izin pada Rahma untuk shalat dhuha.

Brukkk ...

Terjadi benturan antara Malikha dengan seseorang. Buku dan kertas pun berhamburan ke lantai. Malikha segera memunguti buku dan kertas itu.

"Maaf, aku nggak sengaja nabrak kamu. Aku buru-buru mau ke dapur." Malikha masih memunguti kertas.

Orang yang bertabrakan dengannya tak mengatakan satu kata pun. Ia pun berjongkok membantu Malikha memunguti kertas yang berserakan.

Malikha tak sengaja melirik lengan orang yang ditabraknya dan mendapati keganjalan di dalam benaknya. Malikha sontak menatap orang yang ditabraknya.

Laki-laki? Siapa dia? Apa dia ustadz baru? Selama aku di sini belum pernah melihatnya. Batin Malikha.

Laki-laki itu pun beranjak berdiri. Ia merapikan buku dan kertas yang ada ditangannya. Malikha pun memberikan kertas yang sudah ia kumpulkan padanya.

"Terima kasih," ucap laki-laki itu.

"Sekali lagi saya minta maaf," kata Malikha mengulangi.

"Nggak masalah." Laki-laki itu hanya mengangguk. "Saya permisi."

Malikha hanya mengangguk dan menatap kepergian laki-laki yang tak ia ketahui namanya. Wajah laki-laki itu masih terbayang di ingatannya.

Siapa dia? Dia ...

"Ikha! Ngapain kamu di sini? Umi sudah nungguin kamu tuh. Kenapa lama sekali?" tegur Hani.

Malikha sontak membalikkan tubuh. "Tadi ada masalah sedikit," sahutnya.

"Ayo cepetan ke dapur." Hani membalikkan tubuh, berjalan menuju dapur.

Malikha pun mengikuti langkah Hani menuju dapur.

***

Malikha berjalan memasuki kamar setelah seluruh santriwati selesai makan siang. Ia merebahkan tubuh di atas tempat tidurnya. Sebagian santriwati ada yang sudah istirahat dan sebagian lainnya ada yang sedang mengobrol.

Malikha memejamkan mata untuk tidur.

"Aku nggak nyangka loh, Gus Akbar bakal ngisi pelajaran hadits di pondok putri. Ada untungnya juga Ustadz Amir pindah pondok," kata salah satu santriwati yang di dengar oleh telinga Malikha.

"Betah deh, kalau yang ngajar Gus Akbar," sahut santriwati lain.

Gus Akbar. Lagi-lagi kudengar santriwati memujinya, sampai-sampai santriwati banyak yang mengidolakan dia. Seperti apa wajah Gus Akbar ini? Kalau dia berilmu, sudah tentu. Karena dia putra Abi Wahyu. Kalau santriwati kagum dengannya hanya karena dia tampan, aku rasa mereka berlebihan. Batin Malikha.

"Sudah waktunya istirahat, jangan ngobrol terus, nanti sore giliran setoran pada buyar itu hafalan gara-gara gosip!" seru salah satu santriwati karena merasa terganggu dengan obrolan santriwati yang sedang berkumpul.

Menggenggam HijrahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang