Cerita ini hanya dipublikasikan di Wattpad!
---
"Kenapa nggak kamu aja Yod yang jadi juru kameranya?" pertanyaan muncul dari bibir Arawinda di tengah-tengah kegiatannya menghabiskan makanan ringan yang beberapa menit lalu disodorkan Puri.
"Iya, jadi kita nggak perlu minta bantuan orang luar." Nilam menimpali.
"Nggak masalah kita minta bantuan orang luar demi kualitas film yang kita buat." Bagas mengeluarkan suaranya. Kekasih Arawinda ini dikenal dengan sikap tenangnya dalam menghadapi sesuatu. "Toh nggak ada larangan juga dari Pak Andi" lanjutnya.
"Kita semua juga udah bilang setuju kan waktu itu ke Adhisti." Zabdan melanjutkan.
"Lagian aku nggak ada pengalaman buat jadi cameraman. Aku punya kamera emang, tapi dipakenya pas acara-acara tertentu. Itu pun dibuat foto aja, bukan dibuat syuting. Ditambah, kita semua kan kurang tahu sudut mana yang bagus buat pengambilan gambarnya."
Yodha mengungkapkan penjelasannya seraya mencuri pandang ke arah Nilam. Dari bahasa tubuh, Puri tahu bahwa Yodha sejak dulu sudah menyimpan rasa ke Nilam. Tapi entah kenapa lelaki itu memilih bertahan dalam diamnya. Jika Nilam jadi perempuan yang peka atau bahkan terlalu peka, dapat dipastikan Nilam akan tahu perasaan Yodha kepadanya. Hanya saja, yah ... Nilam tetap Nilam. Perempuan dengan kepekaannya yang terbilang sedikit.
"Ini mana sih Adhisti? Udah 30 menit lho" kembali Nilam memecahkan keheningan di antara mereka. "Ri, coba hubungi Adhisti dong! Takutnya nggak jadi. Soalnya nggak biasa dia telat kaya gini."
Puri cukup mengangguk dan segera bergerak mencari ponsel pintarnya yang terletak di dalam tas ransel. Belum juga menyentuh ponsel pintarnya itu, Adhisti sudah menyapa semuanya dengan nada bersemangat seperti biasa.
"Maaf ya telat. Masih nunggu Kak Krisan." Adhisti sedikit menjelaskan alasan kenapa dia terlambat datang. Membuat semuanya mengangguk paham, termasuk Puri.
"Terus, ke mana orang yang kamu maksud itu?"
"Bentar lagi nyusul." Adhisti menjawab pertanyaan Zabdan seraya mengeluarkan beberapa makanan ringan yang kemudian diletakkannya di atas meja. "Oh ya, Ri ... udah difotokopiin kan ya skenarionya? Terus prolog sama epilognya udah disempurnain kan?"
"Udah beres semua kok."
"Bagus. Aku cek nanti. Sekarang tinggal kamu jelasin ke Kak Krisan terkait alur cerita. Secara garis besarnya aja dulu nggak papa."
Puri jelas berkerut tidak setuju mendengar perkataan Adhisti itu. "Lah kenapa harus aku? Kenapa nggak kamu aja, Dhis? Kamu kan sutradaranya" katanya.
"Kamu kan penulis skenarionya sekaligus astrada. Jadi kamu aja Ri."
"Aku belum kenal sama Krisan yang kamu maksud itu."
"Nyantai mah. Orangnya asyik kok."
"Iya, tapi tetep aja aku belum kenal." Puri tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi kelakuan Adhisti yang dinilai seenaknya saja. "Lagian kan lebih enak yang jelasin kamu, Dhis. Kalian saling kenal juga."
"Kamu kurang berinteraksi sama orang baru, Puri Sayang. Nggak papa, namanya juga belajar gimana ngadepin orang yang baru kamu kenal. Masa aku nyuruh Nilam, Ara, Yodha, Zabdan, sama Bagas buat jelasin ke Kak Krisan sih? Di sini yang tahu bener ceritanya kan kamu, Ri."
Menyebalkan. Itulah penggambaran sosok Adhisti bagi Puri saat ini. Dia tidak tahu bagaimana menghadapi tipe orang macam Adhisti. Lagipula kenapa harus mengomentari sifat dia di depan teman-temannya seperti saat ini? Ah ... rasa-rasanya Puri ingin menjitak kepala Adhisti agar sadar bahwa sikapnya sudah sampai ke taraf keterlaluan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Efemeral (#1 ELK Series) - ON HOLD
Ficción GeneralNamanya Puri Prameswari. Perempuan berambut lurus sebahu. Penggila bunga krisan (seruni) dan warna biru. Berparas cantik dan manis. Sifatnya cukup tertutup sehingga tidak menutup kemungkinan hanya memiliki dua orang sahabat, Anjani dan Sakia. Tapi b...