PERKENALAN

81 4 2
                                    

Aku Adelinta, sering dipanggil Dinta. Sekarang aku berada di depan gerbang SMA Unggulan. Ini hari pertama aku menginjakan kaki di SMA ini. Aku dapat berada di sini karena beasiswa yang mampu aku raih. Walau tentu aku punya salah satu akses untuk masuk di SMA ini, yaitu Bapakku. Tapi sama dengan diriku beliau menanamkan prinsip jika ingin panen dengan hasil yg baik maka tanamlah dengan bibit yg baik.

Aku mendapat nomor 59 sebab mungkin aku orang ke 59 dalam daftar murid berprestasi yang dipegang oleh Bapak Berkumis di depan. Ups.. dia bapak tercintaku. Bapak sekarang lagi menangani administrasi pendaftaran.

"Hilangkan kebiasaan telatmu Dinta, walau kamu pintar guru-guru di sini akan mempertimbangkan kebiasaanmu itu." Bapak tampak tegas, ini mungkin yg dipikir jahat oleh murit-murit lainnya. Tapi aku tahu, bapak hanya sangat disiplin dengan segala hal.

Ku lirik jam tanganku menunjukan pukul 8.30. Pendaftaran dimulai 07.00, itu artinya aku terlambat satu setengah jam. Tapi bukan aku saja, banyak juga yang baru datang. Dan aku yakin mereka berpikir sama denganku, kalau hadir di jam 7 teng, yang ada malah berdesak-desakan. Soalnya tipe murid unggulan disiplinnya selalu di jaga.

"DINTA! Kau dengar bapakkan?" Bapak menyadarkanku dari lamunanku

"Iya pa." Ku tunjukkan senyum terindahkan untuk pria 50-an di depanku. Tapi aku masih sangsi dengan jawabanku "setelah ini Dinta ke ruangan itu kan?" Tanyaku sambil menunjuk ruangan yg lagi ramai di depannya.

Bapak mengangguk

"Yauda Dinta kesana dulu" ku daratkan satu ciuman di pipi bapak "Da" aku mulai berlari-lari kecil ke ruangan. Tak peduli dengan tatapan murid-murid yang tadi memandangku heran.

Aku memutuskan mengambil kursi paling belakang. Sebab aku bisa memanfaatkan untuk tidur jika nanti banyak sambutan-sambutan yang dibacakan. Entah mengapa setiap nasehat-nasehat isinya terdengar sama. Intinya hanya menyuruh belajar lebih giat.

"Dinta"

Panggilan itu berasal dari arah kananku, dan suaranya tak asing lagi.

"E... Raka" sapaku balik.

Raka memang pantas di sini karena selain IQ dia sedikit di atas rata-rata, dia juga anak orang berada.

"Yuk" ajakku untuk duduk di kursi sampingku "ternyata kamu murid cerdas juga" ejekku.

"Wah, kamu pikir hanya dirimu dan Kiran saja yg bisa sekolah di sini." Raka kesal, namun tidak marah. Malah menanggapi dengan senyum. "Oh... iya dimana Kiran? Tumben dia telat."

Raka mengingatkanku pada Kiran, Sahabat terbaikku. Kiran punya status ekonomi yg tidak beda jauh dengan Raka, namun dia tidak pernah sombong. Bahkan tidak minder berteman dengan diriku. Kiran paling jago main anggar, aku sering kagum melihatnya.

"Hei, malah bengong. Pacarmu tidak di sini ya?" Raka kembali membuyarkan lamunanku.

Ini salah satu orang yang salah sangka dengan persahabatan kami. Kamu harus tau, jika kamu punya hubungan dengan dengan lawan jenismu kamu harus siap untuk digosipin macam-macam.

"Dia bukan pacarku, Kiran sekolah di Jepang ngikut orang tuanya"

"Ha! Kenapa tidak kamu tahan? Kejam sekali dia campakan dirimu, mentang-mentang anak orang kaya" Raka mulai dengan presepsi koyolnya.

"KIRAN BUKAN ORANG SEPERTI ITU. LAGIPULA AKU DENGAN DIA TIDAK PERNAH PACARAN. DIA MAU PERGI ITU HAKNYA" kesalku, aku benar-benar kesal dengan Raka.

"Ssst....." ucap beberapa orang merasa terganggu dengan suara kerasku. Aku mulai merasa nyesal mengajak Raka duduk.

"Kesal amat, kalau tak benar tak harus kesal" Raka masih saja tersenyum ngejek padaku.

The Rainbow In My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang