8. Rentang Waktu

77 4 0
                                    

"Dari sikapmu yang selalu diam dan terasa abu-abu cukup membuatku mengerti, bahwa aku 'sang pengagummu' bukanlah siapa yang kamu inginkan."

—Sheina.

•••

Sheina heran, detik ini juga dirinya mendapati lagi kotak kecil maroon berisi gulungan kertas—persis seperti waktu itu, berwarna biru berpita merah—ditemukan di teras depan rumahnya. Dia yang memang penasaran, kini kembali membukanya.

"H-7. See u soon."—1204.

Isinya kali ini berbeda. Namun empat digit angka terakhir yang tercantum disana terlihat lagi.

Apa lagi maksudnya? Percayalah, Sheina dibuat kelimpungan atas hal ini. Alih-alih Sheina justru malah membawa kotak itu ke dalam kamarnya—untuk kedua kalinya setelah yang pertama pada tempo hari—agar bisa dia selidiki lebih dalam maksudnya.

Hari ini hari weekend, namun tak kunjung membuat ia senang. Pasalnya, sepedanya masih belum juga ditemukan. Dia masih merasa sedih. Selama semalam pun gadis itu hanya bergalau ria. Membuat Sheila dan Mamanya ikut prihatin. Mata gadis itupun membengkak.

Sheina yang memang tak bisa diam, mencoba menghidupkan selang air di halaman depan rumahnya. Menyirami tanaman-tanaman hias milik Mamanya. Terlihat, ada berbagai macam jenis bunga yang tertanam.

Setelah usai berurusan dengan selang air, gadis itu bergegas masuk kembali ke dalam rumah. Hanya ada Sheila yang terlihat sedang sarapan di ruang televisi ternyata seraya menghidupkan siaran dari layar plasma tersebut. Sedangkan Mamanya sudah pergi ke butiknya sekitar 10 menit yang lalu.

"Mau ngegalau mulu lo? Mending juga sarapan," Sheila berujar.

"Gak mood gue."

"Sakit aja baru tau rasa," ledeknya.

Sheina menjulurkan lidah, balik membercandai Sheila. "Bodo ye, dasar kembaran ngeselin."

"Gini-gini juga gue kesayangan lo kali," Sheila berbangga hati.

"Lah pd amat lo?!" Ucapnya diiringi kekehan. "Dah ah gue mau mandi cantik dulu, bye!"

"Idih najong belum mandi ternyata, pantes bau, haha."

"HAHAHA PEDES BANGET YA MULUT MBAKNYA?! TERHARU GUE," teriak Sheina dari arah dapur.

Sedangkan Sheila tertawa terbahak-bahak di tempat. Rasanya menyenangkan bila menghibur kembarannya itu disaat Sheina dalam masa galau ria melanda seperti itu.

***

Diliriknya sebuah buku usang berjenis note book itu oleh Sheina. Mengingat kembali memori yang sudah lama ingin dilupa. Rasa ini, seharusnya tak Sheina rasakan. Rasa kehilangan teman seperti dia kurang lebih 2 setengah tahun lalu.

Teman lelaki yang dipunya saat dia masih tinggal di Bandung. Saat dia sering bermain ke panti asuhan itu yang tepat pada saat itu letaknya berdekatan dengan rumahnya. Bermain disana lalu berteman akrab dengan lelaki yang seumuran dengannya itu.

Hingga perlahan, sebuah rasa hinggap di dada. Rasa tak mau kehilangan melingkupi ruang hati.

Laki-laki itu bernama Revan Arestian. Laki-laki berkebutuhan khusus. Dia seorang tunarungu. Pendengarannya terganggu. Seingat Sheina kecil, Revan selalu memakai alat bantu dengar di kedua telinganya.

Entah dari kapan dia tinggal di panti itu. Menurut ceritanya, ia terpisah oleh kedua orang tua nya. Dia terpisah saat tragedi kecelakaan waktu itu. Sesaat dia sadar, dia telah berada di rumah sakit bersama wanita berumur kepala tiga yang tak lain adalah pengurus panti.

Menurut ibu panti, alat dengar yang biasa dipasang di telinga Revan, hilang. Mungkin terlepas berbarengan saat Revan jatuh ke jurang, pikirnya.

"Kapan kita bisa bareng lagi, Rev?" lirihnya.

***

A/n : memori masa lalu nanti bakal diungkap sedikit demi sedikit ya.

Jujur, konflik yang aku pikirin itu agak belibet sebenernya. Agak berat. Bikin muter-muter (menurut aku).

Saking lamanya ga lanjut nulis, aku sampe lupa alur:( Dan ya, ini bakal digantung dulu deh kayaknya.

Hm, see u.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 23, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ImaginationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang