Sukmaku tertatih, terbujur kaku tanpa daya dengan simbahan darah. Gerimis hujan menyanjung estetika hingar bingar kesantunan malam yang sunyi lengang. Bintang berlomba-lomba menyembunyikan diri hingga tak tercumbu oleh mata-mata gelap yang dahaga akan pelita.
Kembali batinku mempertanyakan perihal alasanmu. Namun bak petir menyambar tanah, kau tak mengindahkan getaran suaraku yang mulai menipis karena bulir mataku terberai. Tanpa kau tahu, hujan telah menyelamatkanku dari kecemasanmu melihat tangisku. Sebuah kecemasan yang tak lagi diharapkan kehadirannya, mungkin.
Lagi-lagi aku kembali disudutkan oleh sentakan kegetiran, mendera hingga ke titik ujung ruang emosi. Sementara diriku sibuk menyamarkan ragaku didalam keegoan hujan yang semakin merintih diterpa badai. Kali ini, ia sama kalutnya dengan hatiku yang lebih gelap dibanding dengan kegelapan itu sendiri.
Awalnya kau merayuku untuk jatuh dalam buaian pelukmu. Lalu setelah aku lupa akan dimana kakiku berpijak, kau menghilang. Entah, ditelan bumi atau dilahap sang pemangsa. Haha, mungkin pilihan yang terakhir itu akan menjadi terkaan terindah yang pernah aku terka.
Jenuh, menjadi alibiku untuk menyembunyikan geliat ronta problematika traumatik. Namun kau tak pernah ingin peduli, bukan? Aku tak hendak menyalahkanmu karena sebegitu mudahnya menembak jantungku, mengoyak dan mengobrak-abrik hingga dipastikan tak lagi dapat berdetak. Hanya saja
KAMU SEDANG MEMBACA
Mimpi Senja
PoetryFresh Poetry Dimimpi senja Aku terbaring Mengukir pena Dalam keindahan Sejuta keelokan