1. Pemuda Bernama Lanang

12.7K 1.2K 159
                                    

"Jadi, lo guru baru gue?"

Kesan pertama yang aku tangkap begitu aku dan pemuda ini bertemu tatap adalah bahwa dia sosok yang keras. Jenis yang tak mau mengalah dan sesuka hati. Terlihat jelas dari raut wajahnya. Tatapan matanya sinis, cukup mengintimidasi andai aku tak ingat dia jauh lebih muda dariku. Penampilannya semrawut. Rambutnya agak panjang--dan aku yakin tidak disisir, pakaiannya sama sekali tidak rapi untuk ukuran seorang murid yang tahu bahwa hari ini akan ada guru baru yang hendak mengajarinya. Tiga kancing bagian atas seragamnya sengaja dibuka, ujung seragam menjuntai keluar, bahkan dia tidak mengenakan kaus dalam. Ditambah air mukanya yang kelihatan siap mengusili aku kapan saja.

Aku sungguh harus berhati-hati menghadapinya.

Aku berdeham. "Panggil saya Bapak. Saya ini lebih tua dari kamu," tegurku membalas kata pertamanya untukku.

Sebelah alisnya terangkat. "Kalau gue gak mau, gimana? Lo mau maksa?"

Aku menghela napas panjang. "Baiklah. Lupakan saja saja soal itu," ujarku seraya mulai mengeluarkan buku dari tas kerja. "Siapa nama kamu?" tanyaku berniat memulai perkenalan dengannya.

Dia menatapku dengan sorot geli. "Kok elo goblok, sih?"

Dia tadi mengataiku apa?

"Lo mau jadi guru, tapi elo nggak nyari tau dulu informasi soal murid lo? Pffft."

Wajahku serasa diterpa kepulan asap panas. Anak ini benar-benar kurang ajar. Caranya menahan tawa untuk sengaja meremehkanku sungguh mengesalkan.

Aku meneguk saliva dan kembali berdeham. "Oke. Sepertinya kita tidak membutuhkan basa-basi, ya, Aguntara Lanang Mahesa," kataku sembari menegaskan nada saat menyebut nama lengkapnya.

"Panggil gue Lanang," ucapnya seraya mengangkat pulpen yang dipegang.

Aku tersenyum. "Baiklah, Lanang. Perkenalkan nama saya--"

Lanang mendadak mengangkat pulpennya tinggi-tinggi, menginterupsi, "Apa gue ada nanya nama lo siapa, Wahai Bapak Guru Culun?" selanya sambil menunjukkan senyum culas.

Aku terpancing kali ini mendengar ejekannya. "Lanang, jaga bicara kamu!"

Lanang mengangkat kedua tangan, senyumnya kian lebar. "Weits. Belum juga apa-apa udah emosi. Asik, nih. Gue suka."

Aku membetulkan letak kacamata yang kupakai sambil berusaha meredakan murka. Aku harus bersabar menghadapinya. Sesuai informasi, anak ini memang tak mudah diatasi. Semakin aku meladeninya, akan semakin senang dia memancing amarah.

Menarik napas lebih banyak lagi, aku lalu memeriksa halaman pada buku yang materinya akan kubahas, lantas berjalan mendekati papan putih yang sudah disiapkan di dekat jendela kamar Lanang ini. Ukurannya tak sebesar papan tulis yang ada di sekolah-sekolah. Namun, aku salut atas persiapan yang sudah ada ini.

"Kita mulai saja sesi belajarnya." Aku membuka tutup boardmarker yang juga telah disiapkan.

"Oke, Pak. Kapan pun elo siap," sahut Lanang. Sekonyong-konyong kedua kakinya dinaikkan ke atas meja dan mulai bergoyang-goyang.

Kedua mataku mendelik tak percaya. Apakah dia selalu berlaku seperti ini ketika berhadapan dengan sosok yang lebih tua? Sekalipun seorang guru yang tengah berhadapan dengannya? Benar-benar tidak sopan.

Aku berkacak pinggang. "Lanang, turunkan kaki kamu!"

Lanang menggeleng tak acuh. "Suka-suka gue, dong. Ini 'kan rumah gue, apa haknya elo ngelarang?"

Aku tak akan pernah bisa menang darinya.

Dengkusan kuberikan. "Terserahlah. Ambil buku fisika milik kamu dan buka halaman lima puluh dua."

Lanang menelengkan kepala. "Waduh, Pak. Bukunya udah gue buang. Gimana, dong?" nada suara dan juga ekspresi wajah yang diperlihatkannya sungguh tidak selaras.

Aku berjalan ke meja, mengambil buku fisika yang sudah kubawa kemudian memberikannya untuk Lanang agar bisa dia gunakan. "Tidak masalah. Ini, saya bawa cadangannya. Ambil."

Lanang mendorong bukuku menjauh. "Ah, maleslah, Pak. Gak usah belajar segala, deh. Mendingan elo sama gue main PS bareng. Gimana? Atau streaming bokep bareng, kek. Pasti seru. Kuota gue banyak, nih," ujarnya penuh antusiasme sembari merogoh ponsel dari kantung celana seragam.

Astaga. Bocah ini sungguh ingin mengujiku. Apa dia berniat membuat aku kehilangan muka sebagai guru?

Lanang mendongak, menatapku geli. "Oh, gue lupa. Seorang guru mana boleh ya menonton konten porno. Meski gue bisa jaga rahasia, sih. Jadi, gimana?"

Aku mengambil ponsel dari tangan Lanang yang lalu kukantongi ke dalam celanaku sendiri. Yang sontak membuatnya memberikan tatapan tidak suka.

"Itu HP gue," protesnya.

"Dan saya guru kamu. Saya berhak menyita ini sementara waktu selama sesi pelajaran sedang berlangsung," balasku tak mau kalah begitu saja. "Kamu paham, 'kan? Sekarang, buka halaman 52 di buku itu."

Lanang justru mendengkus mendengar perintahku.

Aku memindahkan kakinya agar turun dari atas meja. "Dan turunkan kaki kamu."

Teguranku dibalas oleh dia yang menjulurkan lidah sebal. Sedangkan aku hanya menggeleng tidak peduli, beralih kembali pada papan tulis.

Sudah bertahun-tahun aku menjalani profesi sebagai guru, baru kali ini aku bertemu dengan murid yang memiliki sifat ajaib seperti dia. Tidak heran andaikan dia dirumahkan alih-alih diterima belajar di sekolahnya. Walau detil lainnya belum sepenuhnya kuketahui, aku tebak sifatnya yang sedemikian kurang ajarlah yang menjadikannya disegani banyak orang, termasuk para pengajar.

Ketika selesai menuliskan materi, aku membalikkan badan, hanya untuk melihat Lanang tengah sibuk mencorat-coret buku yang tadi aku berikan. Namun, lagi-lagi aku hanya bisa menghela napas panjang. Berusaha mengumpulkan lebih banyak porsi kesabaran.

Pemuda bernama Lanang ini sungguh sebuah ujian berat bagiku selaku seorang guru. Sungguh, aku tak boleh sampai kalah dari segala pengujian yang dilakukannya.

Tidak sama sekali.

---Bersambung---

LANANG [BOYxMAN 1] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang