3. Pemuda Kesayangan Ibu

11.8K 1K 160
                                    

"Dewa?"

"Iya, Pak?"

Aku bermimpi. Dalam mimpi itu, aku melihat diriku yang masih bocah tampak tengah berada di kelas yang hanya berisikan aku serta Pak Abdul, guruku.

Pak Abdul selesai menuliskan rumus perhitungan jajar genjang, setelah itu langkahnya bergerak menghampiriku. "Apa kamu sudah punya cita-cita?"

Pertanyaan itu mengalihkan perhatianku dari papan tulis kepada Pak Abdul. Memberikannya anggukan lantas menjawab, "Sudah, Pak!" Dengan nada penuh semangat.

"Apa cita-cita kamu, Dewa?"

Dengan lebih bersemangat aku menyahut, "Saya ingin menjadi guru seperti Pak Abdul!"

Kudapati senyum di bibir Pak Abdul. Tangannya terangkat untuk menepuk-nepuk pundakku. Namun, anehnya tempo tepukan itu semakin lama terasa semakin kencang, seolah-olah aku sedang dipukuli. Agak nyeri.

Apakah mungkin di dalam mimpi membuat kita mampu merasakan sakit?

"Hei, Pak! Bangun! Mau sampe kapan elo tiduran?"

Itu suara Lanang.

Apa yang sedang dilakukannya dalam mimpiku? Tunggu dulu. Rupanya mimpiku sudah berakhir.

"Lanang, jangan begitu. Kamu apain Pak Dewa, sih, sampe dia bisa pingsan begini?"

Itu suara seorang wanita. Terdengar tak asing meskipun aku belum sering mendengarnya. Dia pasti Ibu Hasna, ibu Lanang. Setahuku beliau seharusnya sibuk bekerja. Mengapa sekarang dia ada di sini? Sebentar, memangnya sekarang aku ada di mana?

Lanang terdengar mendecakkan lidah. "Harus berapa kali Lanang bilang sih, Bu, Lanang nggak ngelakuin apa-apa. Tiba-tiba aja mukanya pucat, terus dia pingsan. Guru kok ngerepotin." Gumaman samarnya di akhir sedikit membuatku merasa tak enak.

"Ibu tau kamu pasti ngelakuin sesuatu yang nggak-nggak lagi. Mau sampai kapan sih kamu begini, Nak?"

Lalu perasaan tak enak itu membuatku mengingat kejadian yang kualami sebelum kehilangan kesadaran. Saat aku dan Lanang berciuman. Tidak. Lebih tepatnya, sewaktu Lanang menciumku. Sukses menciptakan sensasi aneh yang menyerang perutku yang terasa kosong, mendatangkan mual dan membuat aku sontak batuk-batuk.

"Ya Allah, Pak Dewa!"

Ketika membuka mata, aku dapati suasana di sekitarku tampak agak buram. Di mana kacamataku?

Seorang wanita--yang kuyakini Bu Hasna membantu aku bangun dari posisi berbaring.

"Pak Dewa, Anda tidak apa-apa? Tolong maafkan Lanang, ya, Pak. Apa yang sudah Lanang lakukan? Apa dia begitu keterlaluan sampai bikin Bapak pingsan begini?"

"Ibu! Lanang gak ngapa-ngapain!"

Aku menoleh ke samping, dan pandanganku menangkap siluet kabur sosok pemuda yang tengah duduk di sebuah kursi. Itu pasti Lanang. Aku sungguh belum siap untuk menghadapinya lagi sebab malu.

"Lanang, kamu ke dapur. Bawain nampan yang ada kue sama teh hangat yang sudah Ibu siapin."

"Bu, ngerepot--"

"Sekarang, Lanang!"

Derap laun langkah kemudian terdengar, disusul suara pintu yang terbuka lantas ditutup kembali.

Aku berdeham. "Maaf, Bu. Saya butuh kacamata saya."

Bu Hasna langsung sigap menyerahkan kacamataku yang segera saja aku pakai. Sekarang pandanganku jadi kembali jelas.

"Ada lagi Pak Dewa butuhkan?"

Aku menangkap raut lelah, cemas, sekaligus segan di wajah Bu Hasna. Aku perkirakan usianya hanya terpaut beberapa tahun lebih tua dariku. Namun selalu, dia kelihatan ramah. Kami bertemu beberapa kali saat dia dulu sering mendatangi SMA tempatku mengajar, memintai seorang guru agar mau menjadi guru bimbel Lanang, putranya. Sampai akhirnya sekarang tiba giliranku.

LANANG [BOYxMAN 1] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang