8. Pemuda Dengan Tatapan Terluka

2.6K 388 61
                                    

Semakin hari, melakukan kegiatan belajar mengajar bersama Lanang terasa kian mudah dan menyenangkan. Tidak pernah ada lagi tindakan usil yang dia lakukan padaku. Pun, beberapa kali setiap kami selesai membahas sebuah materi, Lanang akan serta-merta bertanya lagi padahal aku tahu sebetulnya dia tak mengalami sedikit pun kesulitan. Hasilnya, jadwal mengajar yang biasanya hanya selesai dalam waktu dua jam menjadi usai setengah jam lebih lama.

Tentu saja ini merupakan sebuah kemajuan yang diharapkan olehku serta sang ibu. Mengetahui Lanang jadi semakin serius mengikuti ajaran dan bimbingan dariku selaku gurunya. Menganggap ini sebagai permulaan yang bagus untuknya yang mungkin saja bisa diterima kembali ke sekolahnya lebih cepat. Walaupun itu berarti, di antara aku dan pemuda ini tak akan saling memiliki urusan lagi.

Zana:
Mas Dewa mau nitip oleh-oleh apa?

Aku tersenyum tertahan sembari mengetik balasan pada Shazana yang saat ini masih berada di luar kota dalam rangka menjalani study tour bersama para murid serta pihak sekolahnya. Setahuku, dia dijadwalkan pulang masih dalam waktu 5 hari ke depan. Entah kenapa dia malah sudah menanyakan perihal oleh-oleh sejak sekarang.

Apa aja boleh. Apa pun yang Zana bawakan, mas pasti akan suka.

Sesudah mengirimkan pesan, aku kembali memfokuskan pandangan pada Lanang yang rupanya sedang balas memandang padaku juga. Oh, Tuhan. Aku dibuatnya jadi sedikit terhenyak. Sorot tajam itu sontak sukses mendatangkan debaran kencang di dadaku.

Yah, meski sebenarnya debaran kencang di dadaku memang lebih sering muncul apabila aku tengah menghabiskan waktu bersama pemuda ini. Tidak tahu kenapa.

Aku berdeham selepas menaruh HP ke meja. "Kamu sudah selesai, Lanang?"

Pertanyaan dariku dibalas serta gelengan, "Belum, Pak." Dia tampak lanjut menulis di buku sebelum tanpa kuduga justru balik bertanya, "Hubungan antara Pak Dewa dan Mbak Zana gimana?"

Letak kacamata aku betulkan seraya tersenyum jengah. "Saya sedang mengajar sekarang. Membicarakan tentang urusan pribadi bisa dilakukan di luar jam mengajar."

Ucapanku membuat Lanang terkekeh laun. "Gak usah sungkan ngejawab, Pak. Toh, yang ada di sini cuma gue."

Dasar pemuda ini.

Aku menghela napas cukup panjang sebelum akhirnya memberi jawaban, "Hubungan kami baik-baik saja."

"Apa Bapak ada niat buat cepet-cepet ngajak Mbak Zana menikah?"

Pertanyaan darinya tidak cukup sampai di situ rupanya.

"Saya, belum berpikir ke arah sana."

"Kenapa?" Lanang memandang aku sekilas di sela-sela gerak tangannya pada buku yang tengah ditulisi.

Aku meneguk ludah terlebih dulu sebab kalut. "Saya takut, saya tidak akan mampu membahagiakan Shazana apabila dia menikah dengan saya."

Jawabanku itu membuat dia mendongak. Lanang menatapku cukup lama setelah itu berkomentar lirih, "Jadi, Bapak mau bikin Mbak Zana bahagia, ya?"

Aku tersenyum. "Tentu saja, 'kan? Dia adalah kekasih saya."

"Mbak Zana beruntung, ya."

Kalimatnya kutanggapi gelengan pelan. "Mungkin, justru sebaliknya. Saya yang beruntung karena bisa mendapatkan dia, Lanang," ucapku seraya melirik ponsel, menunggu balasan pesan dari Zana yang belum kunjung datang lagi.

"Kalo gitu, gue mau tanya satu hal lagi," ujar Lanang mengalihkan fokusku kembali padanya.

"Silakan, Lanang."

LANANG [BOYxMAN 1] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang