2. Pemuda Kurang Ajar

10.9K 1.2K 84
                                    

Suara dering ponsel membuat aku yang tengah duduk melamun terperanjat. Aku mengusap wajah dengan kasar setelah itu meraih ponsel di meja. Semata-mata tersenyum merasakan beban yang melandaku menjadi sedikit terangkat saat membaca nama kontak yang tertera di layar.

"Halo, assalamu'alaikum," jawabku setelah menyentuh tombol jawab.

"Wa'alaikumsalam, Mas Dewa. Sudah pulang dari ngajar bimbel?"

Suara Shazana terdengar begitu meneduhkan seperti selalu. Membuat aku akhirnya dapat benar-benar mengembuskan napas lega. Aku tak boleh terlalu berlarut memikirkan pemuda kurang ajar itu. Jangan sampai, hanya karena ancaman sepelenya lantas aku sukses dibuat tak keruan. Walaupun aku masih ragu.

Sungguhkah ancaman itu hal yang sepele? Bukankah ini tentang harga diri dan janji?

"Halo, Mas?"

Astaga. Aku mengabaikan Shazana gara-gara pemuda itu lagi. Padahal dia saja tidak ada di sini.

Aku berdeham. "M-maaf, Zana. Tadi Mas lagi ngaduk teh, makanya diam aja," jawabku terpaksa berdusta. "Hari ini Mas pulang lebih cepat dari bimbel karena tadi pertemuan awal. Zana sendiri gimana? Planning study tour nanti ke Bali, 'kan? Jadi?"

Aku dengar Shazana mengembuskan napas panjang. "Alhamdulillah. Insya Allah jadi, Mas. Makanya Zana sekarang lagi sibuk-sibuknya. Maaf belum sempat ketemu Mas lagi."

Aku tersenyum maklum sekalipun Zana tak dapat melihatnya. Paham betul mengenai kondisi yang ada di antara hubungan kami berdua. Sebagai sepasang kekasih yang sama-sama berprofesi sebagai guru, aku dan Shazana jelas sangat saling memahami. Bahwa kami memang sama-sama sibuk. Aku sebagai guru Matematika untuk murid SMA, guru bahasa Inggris bagi murid SMP, serta mengajar sebagai guru bimbel di waktu luang. Sedangkan Zana, dia menjadi seorang guru sekaligus wakil kepala sekolah di sebuah sekolah dasar yang letaknya cukup jauh dari lokasi tempatku tinggal serta mengajar.

Itulah mengapa kami jarang sekali dapat bertemu. Apalagi setelah Zana mulai naik jabatan dua bulan yang lalu. Sampai terkadang aku berpikir, mungkin saja Shazana memang tidak ditakdirkan untuk menjadi pendamping hidupku. Aku sungguh merasa tidak pantas dicintai oleh perempuan sebaik dia.

Sore itu, obrolan antara aku dan Zana terpaksa berakhir karena salah seorang dari kami harus membuat laporan penting. Ini bagianku. Pak Handoko meminta aku melaporkan pekerjaan di hari pertamaku sebagai guru baru dari pemuda kurang ajar bernama Lanang itu.

Rasanya, tak pernah aku merasa sekesal ini hanya karena tingkah laku satu orang murid. Semoga saja di pertemuan kami berikutnya lusa nanti, tak ada hal buruk yang terjadi.

. . .

Untuk pertama kalinya sebagai guru setelah ribuan hari terlewati, aku mengamati para murid di kelas yang tengah aku ajari sampai se-intens ini. Memperhatikan setiap kali mereka tengah berkomunikasi, memandang ke arahku, mengangkat tangan menyuarakan pertanyaan, hingga meneliti setiap ekspresi di wajah mereka. Lalu, tak sedikit pun menemukan hal yang pernah aku dapati seperti saat aku mengajari Lanang. Maksudku, semua murid di kelas ini tidak kurang ajar dan menyebalkan seperti dia.

Tak ada murid lain yang sifatnya seperti Lanang. Seolah-olah hanya dia satu-satunya murid yang memiliki sifat tak patuh. Setidaknya, yang pernah aku temui. Ralat. Tidak hanya aku, tetapi para guru lain juga.

Sekarang aku jadi bertanya-tanya, mengapa aku tak bisa berhenti memikirkan dia? Memikirkan cara agar aku bisa menang darinya? Supaya dia bisa berhenti menjadi kurang ajar. Juga ....

"Pak Dewa?"

"Ya?"

Kalisa Rahmawati, salah satu murid perempuan di kelas ini mengernyit ke arahku. Di tangannya, ada sebuah buku yang disodorkan tertuju padaku. Aku melamun sampai tak menyadari kedatangannya ke meja.

Buru-buru aku mengambil pelan buku milik Kalisa yang lantas segera aku periksa. "Kamu sudah selesai, Kali?" tanyaku disertai senyuman. Posisi kacamata aku naikan sedikit sambil mulai membaca.

Dari sudut mataku anggukan Kalisa terlihat. "Iya, Pak. Cuma saya kurang paham di soal nomor delapan," terangnya lalu terkekeh. "Tapi, tadi saya lihat Bapak melamun terus, jadinya saya gak berani mau nanya."

Mendengar penuturan itu, aku jadi merasa tidak enak hati. Seharusnya fokusku adalah di sini, pada mereka para muridku. Bukannya malah memikirkan Lanang yang besok baru akan aku temui lagi.

Sepertinya, kali ini aku harus mengakui bahwa ancaman yang pemuda itu berikan padaku sama sekali bukanlah hal sepele.

. . .

Mimpi buruk adalah salah satu pertanda bahwa kita akan mendapatkan hal yang menyusahkan. Semula, aku tak mempercayai omong kosong itu. Karena jelas, mimpi dan juga kenyataan yang akan kuhadapi itu sangat berbeda jalannya. Sampai kemudian aku masuk ke kamar Lanang, lalu tanpa basa-basi pemuda kurang ajar itu melempari aku pertanyaan.

"Udah siap dapat ciuman dari gue, Pak?"

Sambil dia menyodorkan buku berisi soal-soal tugas yang aku berikan dua hari yang lalu. Sayangnya, ketika memeriksanya, aku dibuat terperangah saking tak percaya. Sebab, jawaban yang Lanang tuliskan di soal yang aku berikan itu semuanya benar.

Ini sungguh mimpi buruk yang menjadi kenyataan.

---Bersambung---

LANANG [BOYxMAN 1] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang