4. Pemuda Nakal Pantang Menyerah

11.6K 913 113
                                    

Aku mematikan keran, mengusap wajah menggunakan handuk setelah itu mengenakan kembali kacamata yang aku lepaskan sementara tadi membersihkan muka. Bercermin, memperhatikan wajahku yang terasa lebih sejuk kini. Lalu, tanpa sadar tanganku bergerak membelai daguku sendiri hingga naik ke mulut. Menggigit bibir sewaktu bayangan ketika Lanang menciumku muncul lagi dan lagi. Entah untuk yang ke berapa kali sejak aku berpamitan dengan pemuda nakal itu.

Buru-buru aku menggelengkan kepala, kemudian beranjak dari kamar mandi menuju ke lemari. Perutku lapar. Belum makan apa pun lagi selain mie rebus serta nasi pemberian bu Hasna beberapa jam yang lalu. Rencananya, selekas ini aku akan mencari makan keluar sebab terlalu malas untuk masak walau masih ada beberapa bahan makanan tersimpan di kulkas.

Saat sedang mengancingkan kemeja, suara dering ponselku yang tengah diisi terdengar. Aku berjalan mendekat, serta-merta senyumku timbul begitu saja sewaktu mendapati nama Shazana terlihat di layar. Aku menjawab panggilan darinya, lantas menyentuh tombol loudspeaker.

"Assalamualaikum, Zana," sapaku lebih dulu. Masih sambil mengancingkan kemeja.

"Wa'alaikumsalam, Mas Dewa. Maaf tadi pesannya baru sempat dibaca. Zana baru cek HP, soalnya baru pulang rapat dan selesai sholat."

Aku terkekeh menanggapi seluruh ucapannya. "Santai saja. Mas tau Zana sibuk. Sudah makan?" tanyaku seraya menarik celana jeans di tepi ranjang untuk lalu mengenakannya.

Shazana kudengar mengembuskan napas panjang. "Belum nih, Mas. Mas Dewa sudah?"

elesai mengenakan celana, aku lantas segera mencabut ponsel dari charger. Loudspeaker dimatikan. "Belum juga. Mau makan bareng? Sudah lama kita gak makan berdua."

Aku terlalu sungkan mengatakan bahwa aku rindu melihat sosoknya. Aku takut Shazana justru kepikiran lalu tidak tenang sendiri. Aku tahu betul perasaan wanita itu cukup lembut, jadi aku tak boleh sembarang mengambil langkah.

Zana terkekeh di seberang sana. "Iya, Mas." suara tawanya benar-benar membuat aku merasa tenang. "Mau makan di warung soto apa di warung nasi langganan kita?"

Pertanyaan itu membuat aku urung mengambil sisir, sebab aku dibuatnya tersenyum lebar sekarang. "Zana tau sendiri Mas sukanya yang mana. Tapi kalau Zana mau ke warung nasi, Mas gak keberatan," jawabku sembari mulai merapikan rambut yang masih basah.

"Di warung soto sajalah, Mas. Kangen."

Apa aku boleh mengartikan itu sebagai bentuk rindunya untukku juga?

"Perlu Mas jemput?"

"Jauh lah, Mas. Lama, gak usah repot-repot. Pakai kendaraan masing-masing saja."

"Tapi Zana hati-hati, ya."

"Pasti, Mas. Ya sudah. Zana mau siap-siap dulu. Wassalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Aku meletakkan sisir tepat setelah panggilan terputus. Ponsel aku masukkan ke kantung jeans, sesudahnya dompet serta kunci motor juga kubawa. Pun sebelum keluar dari kamar, aku tak lupa menyemprotkan parfum ke bagian sisi dan depan tubuh. Tentu saja seorang pria ingin terlihat menawan ketika bertemu dengan sosok wanita yang disayanginya, bukan?

...

Selama berkendara menuju ke warung soto, aku pasti jadi selalu mengingat awal pertemuanku dan Shazana di sana tiga tahun yang lalu. Ya, benar. Warung soto yang akan menjadi tempat bertemunya aku dan Shazana juga merupakan tempat yang menjadi saksi pertemuan kami pertama kali dulu.

Ketika itu, aku tengah mengantre soto untuk dibungkus bersama para pelanggan lain. Tempat duduk penuh, karena sebagian dari pelanggan yang datang adalah orang-orang yang baru keluar dari terjebak hujan deras di luar sana. Termasuk aku. Hari semakin larut, cuaca semakin dingin, tak heran membuat warung soto ini semakin ramai.

LANANG [BOYxMAN 1] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang