He came (Ghost)

188 13 0
                                    

Sudah satu bulan lamanya semenjak kepergian sang Mama Riana memilih mengurung diri dikamar setiap hari. Bagaimana tidak seseorang yang selalu di cintainya sepanjang hidup sudah tiada meninggalkan dirinya untuk selamanya. Tidak ada senyum bahkan candaan yang biasa Riana lontarkan kepada orang tersebut. Semua hanya terpendam oleh rindu. Bukan hanya rindu tapi sangat rindu yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.

Langkah kaki seseorang berhenti tepat di depan pintu kamar Riana ketukan pintu pun terdengar dari luar kamar.

"Ri buka pintunya ini mas Vino." Teriak Alvino dari luar kamar.

Riri turun dari tempatnya merenung membuka pintu dengan setengah tubuh yang masih berada di balik pintu. "Ada apa?" Tanya Riana matanya melihat kesetiap ruangan.

"Mas harus pergi Ri" ucap Alvino dengan menunjukkan beberapa berkas di genggaman tangannya.

"Kita akan pergi? Benarkah?" Ungkapnya dengan senyum sumringah.

"Bukan kita. Tapi hanya Mas, kamu tetap berada disini. Mas akan berangkat ke Surabaya hari ini juga. Mas sudah dapat telfon dari teman mas bahwa ada lowongan pekerjaan buat Mas disana. Dan untuk sementara waktu kamu tinggal disini dulu ya"

Seketika wajah bahagia itu menghilang. Mata Riri mulai berkaca-kaca rasa marah pun mulai menyelinap di hatinya. Namun apalah dirinya yang tidak berdaya. Tanpa mmberi jawaban Riri meninggalkan Alvino yang masih berdiri di depan pintu kamarnya.

Alvino yang melihat perubahan mimik wajah Riri yang kecewa padanya ikut masuk ke dalam kamar.. menjelaskan keadaan yang terjadi.

"Ri. Kamu kan tau mas sudah berusaha menjual rumah ini tapi tak pernah ada pembeli yang berminat. Dan sekarang Mas dapat kesempatan bagus mendapatkan pekerjaan yang gak mungkin Mas tolak. Ingat! Kita sekarang hanya tinggal berdua saja Ri dan Mas sebagai Abang kamu harus bertanggung jawab memenuhi semua kebutuhan kamu dan juga diri Mas. Mas tidak bisa membawa kamu pergi dikarenakan Mas juga masih menumpang tempat tinggal di rumah teman Mas. Namun Mas janji jika setelah mendapatkan upah gaji pertama Mas..Mas akan segera mencari rumah kontrakan baru agar kita bisa kembali bersama barulah Mas menjemput kamu."

"Tapi Mas Riri takut sendirian"

"Heii" "Nggak ada yang harus kamu takutin sudah tiga bulan lamanya kita tinggal di rumah ini dan kita baik-baik saja nggak ada apa-apa jadi kamu gak perlu takut" ujar Alvino seraya melihat jam yang menempel di dinding.

"Sudah jam sepuluh pagi Mas pamit ya kamu jaga diri baik-baik" ucap Alvino sembari mengecup kening adik satu-satunya sepaket dengan keluarga yang hanya ia miliki. Setelahnya Alvino bangkit dari ranjang Riana dan berlalu pergi. Ada rasa berat dihatinya meninggalkan Riana sendiri tapi Alvino tidak memiliki pilihan lain mau di bawa pun pastinya akan menambah biaya yang semakin membengkak. Jika di titipkan di rumah para sahabatnya pun Alvino tidak enak hati. Biarlah nanti Alvino akan menelfon para sahabatnya yang berada di Jakarta.

Dengan tatapan sedih Riana terus menatap punggung Alvino penuh arti memohon agar tak meninggalkan dirinya sendiri. Kini Riana mencoba mengalah menerima keadaan ia akan menyaksikan serangkaian kejadian yang akan terjadi ketika dirinya sendiri.

👹👹👹

Bruak!
Prang!

Suara barang berjatuhan dari arah dapur namun Riana masih tetap tak beranjak dari dalam kamarnya. "Apapun yang terjadi aku tidak akan keluar" bathinnya.

Riana begitu ketakutan hingga sekujur tubuhnya menggigil. Kakinya bergetar hebat detak jantungnya berdebar sangat kencang. Tubuhnya ia sembunyikan di balik selimut tebal dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Ia sangat berharap malam ini segera berakhir berganti dengan pagi hari.

Kini langkah kaki terdengar berhenti tepat di ujung tempat tidur. Perlahan selimut yang ia gunakan menutupi tubuhnya tertarik dengan bebas sehingga terlepas dan tergeletak mengenaskan tepat di pintu kamarnya. Dengan perasaan takut Riana mencoba membuka kelopak matanya kemudian dia langsung bangkit terkejut dengan posisi duduk menyadar pada kepala ranjang. Dilihatnya sekitaran kamar tidak ada orang sama sekali dengan volume kuat deringan ponsel Riana berdering nyaring membuat ia terkejut karenanya. Dengan tangan gemetar ia mengangkat telfon yang sudah berhasil di raihnya dari nakas. Di geser tombol hijau smartphone canggihnya sedetik kemudian terdengar suara teriakan hebat di barengi dengan suara tangisan yang mampu memekkan telinga. Spontan ponsel miliknya terhempas dari atas ranjang. Beberapa detik berikutnya terdengar suara di keramaian dari asal ponsel itu. Riana mengambilnya kembali dan mendengarkan yang barusan di dengarnya namun suara itu berubah menjadi suara Stella berteriak dengan kencang.

"Ssss..sst..Stell ini kamu?" Panggil Riri gugup bibir bawahnya ia gigit karena menahan rasa takut yang teramat sangat.

"Ya. Ini aku Stella. Memang kamu berharap aku siapa?"

"Bbuu..bbukan siapa-siapa"

"Ada apa dengan suara mu? Kenapa gugup? Seperti habis melihat demit saja"

"Aku rindu kalian.. hikss" tangis pecah keluar dari bibir mungil Riri. Suasana pilu kembali menyeruak di hatinya namun lebih mendominan rasa takut tak tertahankan. "Aku takut Stell ada seseorang mengincar ku" ucap Riri dengan terbata.

"Siapa yang mengincar mu Ri? Selama yang ku tau kamu tidak memiliki musuh. Dan apa yang kamu takutkan bukankah Mas Vino ada bersama mu dan selalu menjaga mu?"

"Mas ku pergi Stell.. dia pergi ke Surabaya menerima pekerjaan dari temannya dan aku disini sendiri.. aku takut"

Helaan nafas Stella terdengar berat namun Stella tetap berusaha menenangkan Riana. Sebenarnya Stella sendiri merasakan keanehan itu semenjak video call perdana yang dilakukannya bersama Riana tapi Stella memilih bungkam dan tidak ingin membuat Riana semakin takut

"Ri udah ya.. sekarang lebih baik kamu tidur insyaallah tidak akan terjadi apa-apa pada mu. Sebelum tidur kunci semua pintu. Oke. Istirahatlah. Aku pamit Assalamualaikum"

"Waalaikumsalam"

Sambungan telpon mereka terputus sehingga pembicaraan keduanya selesai. Riana melihat selimut yang berada di depan pintu ketika ia hendak turun mengambilnya tiba-tiba kakinya terasa tercekal dari kolong ranjang Riana pun kembali terpekur dan kaget namun tidak bisa teriak dan berlari melainkan hanya menurunkan pandangannya. Dilihatnya sebuah tangan putih pucat sedang menggenggam pergelangan kakinya. Riana menangis tersedu karenanya tidak bisa berbuat banyak keringatnya mengucur deras dari dahi.

Sekuat tenaga dan kemampuan hati yang terpaksa di beranikannya menguncangkan kaki dan berteriak istighfar dalam hatinya. Matanya terpejam kuat mulutnya tak henti-hentinya beristighfar dan membaca ayat kursi semampunya.

Semenit kemudian matanya di buka kembali dengan penuh keberanian. Dia sendiri dan dia ketakutan jika dia tidak bisa melawan dan mencoba mencari kebenaran maka masalah ini tidak akan pernah usai.

"Aaa...allahmdulillah" ucapnya masih terbata.

Riana mulai mendongak dan ingin melangkah ke arah pintu untuk mengambil selimut tapi ia kembali di kejutkan dengan bekas tapak kaki berlumuran darah dan ada bayangan wanita samar dari balik jendela kamar.

Riana berlari ke arah jendela lalu membuka tirai tersebut dan Aaaaaaaaaaakkkkkkkkk ......

---------
Kelanjutan part ini di teruskan oleh Suci Ramadhani 🤗

Tbc
Typo berserakan harap para readers bersedia mengkoreksinya. Happy reading. Maaf kelamaan update because ??? 😊

HE CAME (GHOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang