03

4.1K 248 36
                                    

Bohong jika aku tidak masuk ke kamar yang ditunjuk Mas Bayu. Letaknya ada di samping tempat dia dan pegawainya mengolah pesanan. Ruangan itu berbentuk persegi panjang dengan ukuran 2x3 meter. Ada sebuah ranjang dan kulkas di sana.

"Kamu bisa tidur atau tidur ayam kalau mau," tawar Mas Bayu sambil menunjuk ranjang dengan seprai warna merah.

Aku mengiyakan dan langsung merebahkan diri. Mataku tetap terjaga. Seperti kebiasaan orang yang berada di tempat baru, mata ini juga mengamati dari ujung ke ujung. Memperhatikan sambil menilai kira-kira seperti apa orang yang tengah mengajakku ini untuk bertemu.

Aku berjanji pada diri untuk tidak akan terlelap. Jadi, seperti pada kebiasaan anak jaman sekarang, aku mengutak-atik ponsel dan membuka seluruh sosial media yang telah terpasang untuk membunuh waktu.

Aku terus asik dengan ponsel, sementara beberapa kali Mas Bayu dan karyawannya keluar masuk silih berganti untuk memasukkan uang hasil jualan di kotak peti berwarna hijau tua yang ada di meja berseberangan dengan pintu masuk. Sedangkan aku, berada di balik tembok yang ada pintu dengan posisi melintang. Di dekat kepalaku yang ada di timur, ada kulkas. Oleh karena hal ini, diriku tidak akan terlihat dari luar.

Tapi kantuk ternyata mengkhianatiku. Kelemahan utamaku memang kasur. Tidak peduli kasur milik siapa dan dimana, aku kalau sudah lelah memang bisa terlelap dengan secepat kilat. Apalagi aku belum menaruh curiga dengan Mas Bayu.

Dia bekerja. Itu pikirku. Dan setelah berkeyakinan kuat terhadap hal itu, aku tertidur hingga merasakan pipiku ditepuk-tepuk dan aku terbangun dengan gelagapan. Aku terkejut sekaligus malu wajah tidurku telah terlihat oleh orang asing. Itu yang menjadi penyebab utama.

"Ngantuk, ya?"

Aku mengangguk.

"Ini udah jam setengah dua belas. Mau pulang sekarang apa mau nginep?" tanya Mas Bayu.

Suara serak keluar dari tenggorokkanku ketika aku berkata, "Pulang."

Mas Bayu tersenyum sambil menarik selimut dari atas tubuhku, sementara aku memperbaiki rambut yang sudah kusut saja ditinggal tidur beberapa jam. Dan aku juga baru sadar kalau aku ternyata diselimuti oleh Mas Bayu tanpa aku tahu.

Kami berdua keluar dari warung makan dalam diam. Mas Bayu menyuruhku untuk masuk ke mobil duluan, sementara dia masih mengunci pintu dan gerbang warung. Setelahnya, kami berdua duduk di mobil dalam diam. Mobil juga dalam keadaan mati. Saat itu pula, mataku menangkap titik-titik air mengenai jendela depan mobil.

Hujan datang pada malam ini. Kami duduk dalam diam. Aku yang lebih diam dan melihat ke luar, sementara aku sadar jika Mas Bayu terus menatapku dengan tatapan lekat.

"Pertama kali ketemuan, ya?"

Aku menggeleng. "Kedua. Kalau sama temen gay, ini yang kedua. Aku biasa ketemuan sama temen-temen di komunitas hobiku, sih."

"Nah, gitu, dong. Kalau jawab yang panjang-panjang," goda Mas Bayu. "Dari tadi diem atau jawab singkat aja soalnya."

Aku hanya bisa meringis.

"Kamu jaim banget, ya?" ujar Mas Bayu yang tidak bisa aku pungkiri. "Oh, ya. Arga?"

"Argya," ralatku cepat. Namaku memang susah untuk diucapkan memang. Terkesan ribet.

"Argya?" panggil Mas Bayu. "Aku ingin ngobrol sebentar, boleh? Aku belum sempet ngobrol sama kamu soalnya. Kita belum kenal banyak. Apalagi tadi kamu tidur."

Aku tidak menjawab dengan kata-kata lagi. Orang pendiam mau digimanain lagi?

"Kamu anak pertama?"

"Kok tahu?" tanyaku heran.

Love Me HarderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang