10. Bayu Met My Mother

1.9K 153 11
                                    


Mas Bayu bisa sakit, lho, saudara-saudara. Hal ini cukup mengherankan bagi diriku yang setiap hari hampir bersamanya. Ya kerja, ya nemenin dia kerja, ya belanja, sampai-sampai aku nggak punya waktu sendiri untuk istirahat. Dan aku nggak sakit. Kecapekan sih banget.

Kalau secara berat badan, aku bertambah. Cukup bersyukur karena Mas Bayu suka mengajak dan mengingatkanku untuk makan. Yang dulunya hanya makan sehari dua kali, kali ini bisa tiga sampai empat kali dengan porsi yang lebih banyak. Aku bertambah berat badan, dong. Dan kalau udah nikah, nih, biasanya dibilang kalau "susunya cocok".

Kalau secara istirahat, jelas kurang. Aku sering ngantuk kalau sedang di kerjaan. Bahkan, ketika jam istirahat aku membiasakan diri untuk tidur siang selama setengah jam. Cukup agar aku tidak terlalu pusing ketika sore hari. Kalau kantung mata, jangan tanya. Ini setiap hari ingin rasanya aku kompres. Udah saingan aja dengan milik Mas Bayu.

Dan aku cukup heran jika dia sering merasa nggak enak badan. Yang minta pijit inilah, itulah. Sementara aku merasa capek tapi hanya dengan Salonpas saja aku biasa bergantung. Aku nggak biasa dipijat. Bahkan aku kadang malu dan geli untuk memperlihatkan tubuhku dengan orang asing.

Kalau dengan Mas Bayu, itu beda urusan, ya. Dia sudah beberapa kali melihat tubuh polosku. Jadi, sudah nggak ada malu-malunya, meski kadang enggan jika dilihat dalam keadaan lampu menyala terang. Cuman, aku emang nggak merasa enak kalau dipijat Mas Bayu. Nggak tahu kenapa.

"Kerokin lagi, dong, Nong," pinta Mas Bayu.

Hujan masih melanda di Desember ini. Angin cukup kencang di luar dan mengakibatkan udara menjadi dingin. Penjualan jam sembilan malam ke atas cukup lesu. Di sinilah biasanya Mas Bayu dan aku tidur ayam berdua, meninggalkan dua karyawan yang menonton TV di luar.

Aku mengiyakan apa yang diminta Mas Bayu. Dengan segera, aku mengambil koin seribu dan minyak telon yang biasa aku bawa kemana-mana kalau cuaca sedang dingin begini.

Mas Bayu duduk membelakangiku sambil membuka baju.

"Kalau kerokan itu nggak boleh sering-sering. Nanti tubuh kamu nggak mempan sama yang namanya kerokan," ujarku sambil membaluri punggung Mas Bayu dengan minyak.

Duh, kalau bau minyak telon begini hawanya pengen meluk-meluk sama cium aromanya. Kayak bayi.

Beberapa kali Mas Bayu bersendawa; angin keluar dari badannya. Aku sudah biasa. Seperti ketika Mas Bayu kentut ketika kami duduk berdua, aku sudah biasa. Aku nggak marah. Ya, sebiasa itu aku dengan Mas Bayu. Bahkan, kalau dia merasa pantatnya panas, dia tidak sungkan untuk memberiku aroma busuk itu.

Bangsul, memang. Nggak ada malu-malunya. Untung aku sayang, nih.

Dan aku kalau mengibaratkan diriku sendiri adalah seorang istri yang nurut dengan apa yang dikatakan oleh suami. Aku tipe penurut dan pendiam, memang. Kalau ditanya baru aku menjawab. Selempeng itu.

Ya, semua hal itu saling melengkapi, sih. Mas Bayu itu berisik orangnya. Banyak omong. Aquarius rata-rata cerewet nggak sih? Apalagi dengan kombinasi ekstrovert. Haduh. Bisa dibayangin, kan?

"Udah." Aku mengambil tisu basah dan mengelap telapak tanganku yang licin karena minyak.

"Kok udah?" tanya Mas Bayu. Dia membalik tubuh sehingga kami berhadapan. "Kurang kerasa."

Aku menggeleng. "Aku capek, deh. Nanti aku yang drop gimana?"

"Bilang aja juga pengen dipijietin," kata Mas Bayu ketus.

"Kamu kalau mijetin bentar banget. Sumpah. Nggak ada lima menit selesai," protesku.

Mas Bayu menggeleng. "Kamu dipijit aja suka gerak-gerak."

Love Me HarderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang