11. Ada yang Lebih Jago Goyangannya

2.4K 139 35
                                    


Mas Bayu duduk di kursi ruang tamu tenang. Dia melihatku dengan pandangan jayus. Dia sudah berkenalan dan bertemu dengan Ibu. Bahkan, kalau didengar-dengar, mereka sepertinya udah ngobrol cukup lama sebelum aku sepenuhnya bangun.

"Mau langsungan apa mau di sini dulu?" tanyaku setelah memakai krim malam.

Mas Bayu berdiri kemudian pamit dengan Ibu. "Udah mulai jam rame. Kasihan kalau aku tinggal lama-lama."

Aku ikut pamit dan bilang kalau kemungkinan aku pulang pagi seperti biasa. Jadi, Ibu nggak perlu khawatir dan nunggu aku sampai pulang nanti malam. Sesegera aku mengekor Mas Bayu. Tak sengaja, aku melihat hal yang amat janggal di tengkuk Mas Bayu.

Ada merah-merah bekas kerokan yang aku nggak pernah memberikan hal itu.

"Abis kerokan?" tanyaku.

"Iya. Aku kerokan," jawab Mas Bayu sambil memasang sabuk pengaman. Kemudian, pandangan mata kami bertumbukan. "Aku kerokan sendiri, kok."

Ingin aku mengumpat. "Oh, bisa kerokan sendiri? Kenapa kemarin nyuruh aku ngerokin kalau kamu bisa sendiri?"

Mas Bayu meringis. "Kalau dikerokin orang lebih enak. Terus kemarin kata Mama kerokanmu nggak rapi. Banyak yang bolong."

Mesin mobil menyala. Kami meninggalkan rumah dalam beberapa detik dan masuk ke jalan raya. Aku masih diam dan memperhatikan seksama Mas Bayu. Aku tahu dia bohong.

"Aku boleh lihat punggung kamu?" tanyaku.

"Iyaaa! Nanti kalau di kamar kamu boleh lihat punggung. Boleh juga lihat yang lain,"ujar Mas Bayu sambil berkelakar.

Aku tidak tertawa. Aku lebih baik meredam segala kemungkinan yang aneh-aneh di dalam pikiranku.

"Nong? Kok cemberut?" tanya Mas Bayu. Tangan kirinya menyentuh daguku. "Ada apa?"

"Kamu bohong," ujarku pelan, tapi Mas Bayu bisa mendengarkan hal itu.

Mas Bayu tidak menjawab. Dia kini memilih untuk memilah-pilah lagu yang menemani kami berdua menyusuri kaki gunung yang berkelok-kelok ini. Tetep, ya. Pilihannya itu lagu dangdut. Dan kali ini Bojo Galak mengisi atmosfer di dalam mobil.

Aku biarkan Mas Bayu bernyanyi dengan sesuka hati sambil sesekali menggodaku ketika bagian reff mulai dimulai. "Yo wes ben, due bojo sing galak. Yo wes ben, sing omongane sengak...."

Aku menghirup napas dalam-dalam dan menghembuskan perlahan. Namaste.... Ingin kutonjok ini orang kalau nggak ingat kami baru berkendara. Serius. Dia tuh niatnya mau ngegoda aku biar aku senyum. Namun, caranya ini salah besar.

"Kalau cemberut jangan lama-lama, dong," ujar Mas Bayu. Dia capek sepertinya. "Kita makan apa malam ini?"

"Kamu mau makan apa? Aku doyan, kok."

Mas Bayu sampai ke kecamatan sebelah. Emang kami beda kecamatan, sih. Lima belas menit juga sampai. Sedekat itu jarak kami.

Kalau kamu suka jarak jauh apa jarak dekat, sih? Kalau Mas Bayu katanya emang nggak suka kalau jarak jauh. Makanya dia nyari jarak deket.

"Ke warung aja. Nggak usah kemana-mana," putusku ketika kami hampir sampai di pertigaan yang akan menuju ke warung makan dia.

Mas Bayu tidak banyak bicara hingga kami berdua sampai di warung makan. Desain warung Mas Bayu itu cukup bagus. Dengan dinding bata merah dan dengan pakai atap dedaunan. Aku nggak tahu namanya. Tapi lebih ke gaya tradisional.

Jawa banget, sih. Ala-ala jaman dulu gitu. Terus ada pohon pakis kecil-kecil di tiap sudut yang sering aku sirami. Itu yang beli Mas Bayu, tapi yang ngerawat aku. Dia itu kayak cuman bisa beli tapi nggak bisa ngerawat.

Aku masuk kamar pertama, barulah Mas Bayu menyusulku dari belakang. Dia menyapa pegawainya terlebih dahulu. Beberapa menit kemudian, dia menyusulku.

Aku duduk menunggunya dengan tangan bersedekap. Aku merasa aku berhak marah dengan hal ini.

Tiba-tiba saja Mas Bayu membuka kaos maroon yang tengah dia pakai. "Ini kalau kamu mau lihat," ujarnya. Dia kemudian duduk membelakangiku.

Aku memerhatikan benar-benar jalur kerokan yang aku lihat. Ini emang berbeda dan lebih besar dan banyak dari yang aku buat.

"Mama kamu?" tanyaku.

"Aku sendiri, kok," kilah Mas Bayu.

Aku cubit lapisan lemak di pinggangnya. "Aku tuh nggak marah kalau kamu mau dikerokin siapa aja. Aku malah lebih kalau kamu bohong sama aku."

Mas Bayu menggeleng. "Beneran, kok."

"Tanganmu nyampe?" tanyaku sambil menunjuk semua jalur rapi yang terlah dibuat. "Tanganmu bisa lihat jalurnya? Tangan kamu gimana kerjanya? Dilepas dulu, gitu?" sindirku.

Mas Bayu memakai kembali kaosnya. Dia kemudian berbalik badan dan mengambil tanganku. "Iya maaf. Aku bohong."

Kumasih mendiamkan Mas Bayu kalau dia nggak menceritakan apa yang sebenarnya terjadi selama aku nggak bersama dia. Dan kalau dilihat, ini itu baru aja, lho. Paling nggak baru kemarin dibuat.

"Aku takut kalau kamu marah dan cemburu," kata Mas Bayu. Dia menatap kedua tanganku yang dia genggam.

"Kok cemburu? Cemburu sama mama kamu?" Lucu, anjir.

Mas Bayu menggeleng. "Aku sebenernya deket juga sama cewek. Dia yang ngedeketin aku dulu, sebenernya," ujar Mas Bayu cepat.

Aku menerima dengan hal ini. Dia sudah memberitahuku di awal juga kalau dia biseksual dan pernah menikah.

"Ya nggak apa-apa kalau kamu bilang jujur kayak gini," ujarku agak kalem, "tapi kamu nggak kenapa sih kudu bohong?"

"Aku itu takut kalau kamu marah!"

"Kayaknya aku itu lebih marah sama kamu bohong, deh, ketimbang kamu main sama cewek. Toh, da cewek, kan? Bukan cowok lain. Jadi nggak masalah," lanjutku kesal.

"Namanya Hasna. Dia sepantaran kamu, kayaknya."

"Aku nggak kenal. Dia kayak apa?" tanyaku. Nggak bisa kupungkiri aku cemburu juga iri dengan kemampuan kerokan dia yang bagus. Seneng, nih, Mas Bayu punya kenalan kayak gini.

"Dia cantik, pake jilbab, Terus manis orangnya."

"Kerokan dimana?" tanyaku tiba-tiba. Aku ingin konfirmasi.

"Di kamar ini," jawab Mas Bayu.

"Kamu masukin cewek?"

"Ya gimana, Nong. Kan aku juga nggak mungkin di luar. Cuman ruangan ini yang bisa kami gunain," jawab Mas Bayu.

"Pake kerudung tapi kamu masukin ke kamar?" ulangku.

"Dia juga awalnya nggak mau, tapi aku gimana lagi. Aku cuman punya dia aja yang bisa tolong aku, Nong," ujar Mas Bayu dengan suara agak tinggi.

Aku mengangguk. "Nggak masalah aku, tuh. Cuman kaget aja dengan keahliah Hasna yang pinter buat ngerokin kamu," ujarku tiga pertempat jujur.

"Kamu nggak marah?"

Aku menggeleng.

"Aku mohon, kalau semisal dia ada di sini, kamu sembunyi di sini dulu, ya? Kamu jangan keluar-keluar dulu dari kamar. Aku belum siap kalau kamu ketemu sama dia."

Aku mengangguk. "Emang kamu udah kenal berapa lama?"

"Barengan kamu. Duluan Hasna, malah. Tapi dia yang deketin aku, kok," ujar Mas Bayu. "Dia juga sebenernya sering ke warung. Cuman dia baru kali ini masuk ke sini."

Aku jadi paham kenapa seringnya Mas Bayu menolakku ketika aku hendak membantu dia di warung. Kan aku udah bantuin belanja pas pagi.

"Maaf, aku udah bohong sama kau, ya?"

Aku mengangguk. "Kalau emang kerokanku nggak sebagus dia, kamu kalau sakit minta dia aja. Gitu juga nggak apa-apa, kok."

Kalau kamu jadi aku, apa yang akan kamu lakukan ketika mendengar fakta seperti ini? Aku baru pacaran nyata sama cowok baru sekali soalnya. Kalau aku marah juga nggak bagus. Apalagi kami punya cita-cita buat punya hubungan jangka panjang.

Let me know it.

[]

Eh! Ku update lagi, dong! Hihihihi.

Love Me HarderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang