Chapter 2

317 16 0
                                    

Gadis kecil berseragam SMA itu terburu-buru dalam langkahnya, bahkan panggilan tukang ojek yang berniat mengembalikan uang  tak lagi dihiraukanya. Dia terus saja berlari hingga sampai di gang kompleks perumahannya. Dari kejauhan dilihatnya ramai orang memadati jalan, membuatnya sedikit kebingungan untuk melangkah ke arah mana agar bisa pulang. Sampai akhirnya seorang tetangga menyadari keberadaanya. Memimpin tanganya dan memberikan laluan dari sesaknya lalu lalang orang-orang.

Langkahnya tiba-tiba saja tersekat. Matanya nanar memandang sehelai kain kuning diikat pada pagar rumahnya. Hatinya kacau. Dilihatnya orang sekeliling, ada yang menatapnya sendu ada pula yang menangis tersedu-sedu.

Dihempaskanya tangan tetangganya itu. Dia berlari lagi dengan kencang. Tak perduli anak siapa yang dia tendang, tak perduli badan siapa yang akhirnya tergeser dan bertabrakan. Yang ia pedulikan hanya kerisuan-kerisauan yang membuncah dalam hatinya dengan sejuta teka-teki apa yang akan menjadi jawabanya.

Dia masuk kedalam rumah, menerobos kerumunan orang yang tidak dipastikanya siapa-siapa saja. Namun langkahnya tersekat pada sesosok tubuh yang terbujur dalam kain batik panjang. Dipandangnya sekeliling memastikan bahwa bukan orang-orang yang dicarinya yang disana. Dilihatnya, beberapa saudaranya sedang menangis sambil membacakan surah Yassin.

Bibirnya biru, tubuhnya mendadak lesu. Dari belakang, usapan lembut bersama bisikan "Allah lebih sayang pada, Papa."

Airmatanya jatuh berlinangan. Kakinya lemas seperti remuk semua tulang belulang. Dia meraung panjang. Memeluk kaki yang sudah beku membiru dihadapanya. Pelan-pelan dibukanya kain batik penutup wajah.

"Allahu akbar.. Pa...P...a..."
Gadis itu memeluk tubuh kaku dihadapanya, mencium wajah bisu itu berulang-ulang. Sementara wanita setengah baya disampingnya, berusaha untuk membuatnya tenang, "Allah lebih cinta Papa, sayang."

"Papa nggak boleh pergi.."

"Papa nggak boleh pergi.."

"Lihat Adek, Pa. Adek pulang. Papa mau Adek pulang kan? Adek udah pulang, Pa!"

Gadis itu mengoncang-goncangkan tubuh yang sudah tak berdaya itu dengan keras. Dia meraung, meronta meminta dan memohon agar Papanya tersadar dari tidur panjangnya.

"Bang..un, Pa. Ban..g...un!!"

Dia terus menangis berulang-ulang, meratap dengan segala kepiluan. Terisak tanpa peduli dengan semua bisikan-bisikan yang memintanya untuk bersabar. Dia terus menangis sampai akhirnya kelelahan, tubuhnya limbung dan hilang keseimbang. Dia pingsan.

"Adek harus kuat, nak. Kita harus ikhlas. Insya'Allah syurga untuk Papa, Sayang!"

Perempuan setengah baya itu berbisik ditelinga gadis kecilnya berulang-ulang. Sambil mengusapkan minyak angin dikepalanya dan memijatnya perlahan. Lamat-lamat, dilihatnya gadis kecil itu membuka mata, tapi lagi-lagi airmata ikut serta begitu mata terbuka, menambah sesak perempuan setengah baya itu menyaksikanya.

Dia memeluk gadis kecilnya, sekali lagi dia berbisik menguatkan, "Bangun sayang. Kita harus melepaskan Papa. Kita harus menyaksikan Papa untuk terakhir kalinya. Adek harus kuat ya, sayang. Mama butuh Adek disini, kita harus ikhlas."

Perempuan itu menahan sesak, bahkan terasa oleh dipelukan gadisnya sebuah getar. Getar pilu menahan kesedihan yang mendalam.

Setelah merasa sedikit kuat. Gadis itu minta dibopong untuk melihat papanya. Sambil dipeluk oleh Mamanya, gadis itu menyaksikan bagaimana jenazah papanya dipersiapkan. Tangisnya kembali pecah kuat saat dia diberi kesempatan terakhir kali untuk mengecup kening laki-laki hebatnya itu.

"Adek janji sama Papa. Adek akan menjadi anak terbaik buat Papa. Adek bakalan jadi jalan syurga buat Papa dan Mama. Adek akan jadi anak yang membanggakan buat keluarga ini, Pa."

"Adek janji, Pa. Adek janji!"

"Papa doakan adek ya pa. Tunggu adek di syurga," gadis itu berbisik pelan, suaranya bergetar. Matanya sudah lebam. Wajahnya sudah kusut tidak karuan. Bahkan dia pun merasakan sedikit nyeri saat harus membuka mata dan menggerakkan kepalanya. Tubuhnya limbung, berkali-kali dia merasakan akan tumbang. Untung seorang laki-laki menopang tubuhnya erat dalam dekapan, "Adek istirahat aja ya, Sayang. Biar Mas sama Mama yang nganterin papa ke pemakaman."

"N..n..ndak, Mas. Adek ikut. Ade ikut, Mas!" gadis itu meminta, dia bahkan mendongakan kepalanya. Memastikan dengan benar bahwa laki-laki yang sama sedihnya dengan dirinya itu mengizinkan. Seulas senyum tipis dia dapatkan dalam raut wajah yang  penuh kedukaan.

****

"Maafkan adek ya, Ma!" gadis itu berbisik lirih ditelinga Mamanya.
Perempuan itu hanya tersenyum kecil, tangannya terbuka lebar, disambutnya  putri kecilnya itu dalam dekapan. Lalu dari arah belakang, seorang laki-laki merangkul keduanya. 

"Tidak ada yang salah dari putri Mama. Anak-anak Mama semuanya hebat," perempuan itu berucap getir, airmatanya satu persatu mulai mengalir.

"Mama sekarang tinggal punya anak-anak Mama," perempuan itu menarik nafas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Kalian berdua harus jadi anak-anak yang hebat, anak-anak harapan Papa. Anak-anak yang selalu menjadi kebanggan kami di dunia, dan menjadi pintu terbaik kami menuju syurga. Kalian amanah  dan tanggung jawab kami sampai menutup mata.  Dosa-dosa dan kejahatan kalian tanggung jawab kami di hadapan Allah, nak. Begitu pula kebaikan-kebaikan kalian di dunia. Tidak ada perbuatan yang tidak diperhitungkan di Yaumul Mahsyar nanti. Kita bertiga, berlatihlah menjadi insan yang senantiasa melapangkan rumah peristirahatan Papa dengan doa-doa, Insya'Allah Papa adalah penghuni syurganya karena kita memberikan jalan buatnya ya, sayang!"

Kecup hangat di kening dua putra putrinya itu mengakhiri harapan dari perempuan yang masih tampak duka dari wajahnya. Sekuat apapun dia mencoba tegar, namun air mata masih saja menghiasi empat puluh hari setelah perpisahan terakhir dengan suaminya. Sebuah perpisahan yang entah kapan akan kembali dipertemukan. Sebuah perpisahan dalam jarak yang tidak bisa ditempuh dengan biaya berapapun besarnya, dengan kendaraan apapun canggihnya. Sebuah perpisahan yang hanya bisa dipertemukan dalam lembar kenangan indah yang tertinggal serta kiriman-kiriman doa panjang tanpa bosan.

Allahhurabbi. Perempuan itu menarik nafas lagi. Tangannya mengusap bahas pipinya. Mengusap basah pipi kedua anaknya.

****

"Ejaa.. Ejaaa, kita udah landing, Ja." Namima berbisik pelan ditelinga Khadeeja.

Gadis itu perlahan-lahan membuka matanya. Mukanya sudah sembab oleh airmata yang sudah mengalir terus menerus selama perjalanan. Namima tidak bertanya banyak, karena ini bukan pertama kalinya dia menyaksikan sahabatnya bersikap demikian. Dia hanya memberikan sebuah tisu basah untuk membersekan wajah sahabatnya dari berantakan. Khadeeja berterimakasih dan mengulas senyum tipis.


Terimakasih buat pembaca yang udah setia menunggu. Terimakasih juga udah support dengan memberikan votenya. Semoga kisah sederhana ini memberikan inspirasi bagi hidupmu. Teruslah istiqomah dalam hijrah. Karena Tuhan akan melimpahkan kepada kalian kebaikan-kebaikan yang tak terduga. Salam cinta dariku; semoga melalui karya bermanfaat kita akan bertemu sebagai tamu di surga Tuhan.

Kekasih SetiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang