"Masih lama lagi?"
Khadeeja, gadis itu terus saja berjalan di belakang sahabatnya. Menenteng belanjaan keduanya yang udah seabrek banyaknya. Beragam makanan dengan beberapa lembar kain khas Kalimantan Selatan sudah menjejali kantong belanjaan mereka. Sesekali mulut manisnya menyumbang senyum. Sungguh cantik.
"Mim, masih lama lagi kita pulang?"
Sudah hampir sejam yang lalu ia merengek. Meminta sahabatnya itu menyudahi aktifitas belanja-belanja disana. Mall of Borneo pun sudah mereka jelajahi merata. Dan kini kakinya mulai terasa lenguh. Ia kembali mengeluh.
"Mim, udah banyak nih. Makanan udah, kain udah, hadiah buat keponakan kamu juga udah. Ayo pulang!" ajak gadis itu lagi.
"Bentar, Eja! Aku masih mau nyari satu kain lagi buat Mama," jawab Namima.
"Tapi kaki aku udah lemes banget, Mim!"
Namima, gadis itu memang sahabat yang sangat baik. Namun terkadang, ia jarang mau mendengarkan orang lain. Kurang peka dengan keadaan dan lebih mengikuti apa yang menjadi kehendak hatinya. Bukan kali ini saja, hampir setiap kali belanja berdua mereka selalu demikian. Namima adalah tipe perempuan yang suka mengitari pusat perbelanjaan berjam-jam, menawar sana sini sampai mendapatkan harga yang ia inginkan. Mencoba berbagai barang atau makanan yang bermacam-macam, meski nantinya ia hanya akan membeli makanan yang belum dicobanya. Akan betah berdiri berdesakan jika di pusat perbelanjaan tujuannya sedang mengadakan sale besar-besaran.
Bukan tidak ingin menasehati sahabatnya itu. belasan tahun mereka berteman, membuat Khadeeja sangat paham. Ia kerap kali mengalah dengan kemuan Namima soal belanja. Ceramah sepanjang apapun tidak akan mampu mengubah keinginanya. Bahkan beragam nasihat perihal pemborosan sudah ia lantunkan, namun bukan Namima namanya jika dengan mudah dapat menerima dan mengubah isi kepalanya. Walhasil, Khadeeja hanya mampu menurutinya saja. Mengekori gadis itu kemana-mana. Tak jarang Khadeeja dibuat kesal saat menyaksikan sahabatnya itu menawar belanjaan kepada pedagang dengan harga yang ngejomplang drastis, seolah tak perduli pada wajah si pedagang yang sedang kelelahan mencari nafkah. Bahkan tidak jarang mereka terlibat dalam perdebatan.
"Udahlah, Mim. Beli aja. Harganya nggak mahal kok. Kan udah kamu tawar tiga puluh persen. Pedangannya udah setuju tuh. Eh malah kamu tawar lagi jadi enam puluh persen. Kasihan tahu. Dia kan juga cari nafkah. Udah bayar aja, kalau pun dia ngambil untungnya banyak ya itung-itung sedekah."
"Seninya belanja ya di tawar menawarnya, Eja."
"Tapi kan nggak perlu sedrastis itu. Pedagangnya juga perlu muter modal buat dagang lagi. Kamu gimana sih!?"
"Kamu berlebian deh, cuma nawar aja kok, Eja."
"Justru kamu yang berlebiha, Mim. Kamu berlebihan dalam belanja, seuatu yang tidak penting pun kamu beli. Dan sekarang kamu berlebihan dalam tawar menawar yang kemungkinan besar akan mengakibatkan rugi orang lain. Dan Islam mengajarkan kepada kita bahwa sesuatu yang berlebihan itu tidak baik, Eja."
"Baik Ustadzah, Eja. Ane Mafhum dah. Tapi kali ini aja ya. Ini yang terakhir deh, boleh ya, please!"
Biasanya setelah itu Namima akan memasang wajah memelas. Wajah memohon pengertian dari Khadeeja. Bahkan ia berulang-ulang berjanji akan mengubah sikapnya setelah itu. Namun kenyataan tak semanis ucapannya. Hal itu sudah sering terjadi, lebih-lebih beberapa tahun belakangan ini. Maniac belanja seolah-olah menjadi penyakit yang mendarah daging dalam tubuhnya. Khadeeja sempat terpikir, ingin rasanya ia menghipnotis Namima menggunakan ilmu hipnoterapi yang telah dipelajarinya. Ingin rasanya ia mengubah mindset sahabatnya itu.Akan tetapi semuanya tak semudah yang ia kira. Berulang-ulang ia berusaha memujuk Namima agar setuju dengan pendapatnya, berulang-ulang pula gadis itu menolak dan mematahkan idenya mentah-mentah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasih Setia
Spiritual"Orang-orang yang membuatku patah serta orang-orang yang mengenggam tanganku agar tak rebah; Dua sisi saat Tuhan membolak-balikan hati. Dan kamu bertahan menjadi keduanya" based on true story