"Demikian seharusnya kita, saat ada orang yang datang dengan hati gundah gulana, terluka atau bagaimanapun buruk kondisinya, lalu mempercayai kita untuk mencurahkan isi hatinya. Maka, jadilah tempat yang paling iya percaya. Jadilah tempat dimana orang tersebut merasa telah bercerita dengan orang yang tepat. Berikan ia nasihat jika dibutuhkan, cukup dengarkan saat dia hanya butuh didengarkan. Dan peganglah rahasianya dalam diam. Dengan menjaga rahasia yang mungkin adalah aib atau eburukan baginya. Semoga Allah juga menjaga aib atau keburukan apa yang telah kamu lakukan sebelumnya"Aku mengakhiri kelas muhasabah diri hari ini. Sebelum berpamitan pulang, aku sempatkan berbincang-bincang dengan beberapa perempuan yang tampak semangat untuk sharing berbagai hal.
"Mbak sudah menikah?" tanya Ibu berjilbab abu-abu.
Aku tersenyum lebar, saking lebarnya sampai-sampai mataku tinggal segaris saja yang terlihat. Ya, pertanyaan ini memang selalu berhasil membuatku senyum tidak lega tapi pura-pura lega.
"Hehe.. Menurut Bu Mira bagaimana. Adakah laki-laki yang akan berkenan menikahiku?"
"Ahh.. Mbaknya suka gitu. Laki-laki mana yang menolak jika diizinkan mempersunting Mbak. Pasti udah banyak yang berbaris mengantri untuk mendapatkan perempuan secantik dan selembut Mbak Khadeeja ini, Iya kan?"
Aku tersenyum lagi. Menjawab pertanyaan seperti ini dengan kata-kata tak akan pernah ada habisnya. Akan selalu muncul pertanyaan-pertanyaan lainya yang serupa.
"Hehe Ibu-ibu. Mohon doanya saja ya. Semoga yang dibilang Bu Mira benar adanya."
Aku melirik jam.
"Masya'Allah udah telat," bathinku.
Aku segara berkemas. Memasukan buku catatan kedalam tas. Dan dengan sedikit tergesa aku harus mengakiri pertemuan dengan Ibu-Ibu yang selalu membuat hujung mingguku terasa berarti.
"Saya pamit ya Bu-Ibu. Semoga apa yang kita pelajari hari ini bisa kita lakukan dalam kehidupan. Belajar menjaga rahasia dan aib orang lain sama saja dengan menyelamatkan aib milik sendiri, Semoga berkah. Insya'Allah," kataku sambil menyalami mereka semuanya.
"Aamiin Ya Rabbal Alamin. Terimakasih banyak Mba Khadejja. Hati-hati dijalan ya," jawab Ibu-ibu kompak
Aku tersenyum.
"Terimakasih kembali. Semoga kita dipertemukan kembali minggu depan. Insya'Allah. Saya permisi. Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh."
"Waalaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh."
Setalah berpamitan, aku bergegas mengayunkan langkah. Menerobos lorong yang mulai sepi. Sudah hampir magrib. Rata-rata pekerja sudah pulang kerumah. Hanya tinggal beberapa orang yang bertugas.
Aku mempertegas langkah untuk lebih cepat. Beberapa kali aku harus berjalan sambil membalas pesan WhatsApp yang masuk bertubi-tubi. Sampai akhirnya, aku terlupa bahwa di koridor dekat parkiran ada pot bunga berukuran besar.
"Allahuakbar."
Aku berteriak sendirian.
Gamisku tersangkut pada ranting bunga yang panjang, membuatku terpijak hujung roknya yang labuh, aku kehilangan keseimbangan dan tersungkur saat itu juga.
Sambil meringis menahan sakit, aku mencoba duduk.
"Masya'Allah, kok bisa jatuh Mbak," sebuah suara panik samar-samar datang dari belakangku.
"Sini saya bantuin bangun Mbak," pemilik suara itu sudah berjongkok dihadapanku.
Dan sungguh aku terkesima. Sampai-sampai mulutku bergumam pelan dengan sendirinya, "Subhanallah tampannya."
"Apa Mbak?" tanya laki-laki berparas tampan dihadapanku.
"Aaa ee aa.. Maaf mas, terimakasih. Saya bisa bangun sendiri kok," aku gelagapan menjawabnya.
"Bismillah.."
Tertatih sambil berpegangan pada batang pohon bunga yang besar. Aku memastikan tubuhku benar-benar bangun dan berdiri di depan laki-laki tersebut.
"Ini, Mbak."
Laki-laki dengan kharisma yang tidak biasa itu menyerahkan handphoneku yang tadi tercampak entah kemana. Sambil tersenyum dan mengangguk kecil aku menerima.
"Sekali lagi terimakasih ya, Mas."
"Sama-sama mbak. Lain kali lebih hati-hati ya, kalau lagi jalan jangan chattingan, kalau chatinggan jangan sambil jalan. Hehee..." dia terkekeh pelan, terlihat semakin tampan.
"Astagfirullah. Kenapa denganku?" bathinku dalam hati dan refleks menepuk jidatku sendiri.
"Hallo Mbak, mbaknya oke mbak?" tanyanya sambil menatapku.
Pandangan kami bertemu, namun aku segera menunduk.
"Astagfirullah kejadian macam apa ini,"
"Sadar Khadeeja, sadar. Istighfar.. Ya Allah," ucapku dalam hati.
Lamat-lamat aku mendengar suara tausiyah sore yang berkumandang dari musholla terdekat. Pertanda bahwa dalam waktu satu jam kemudian magrib akan datang.
"Ya Allah. Aku udah telat," aku menepuk jidat kembali.
"Maaf Mas, saya buru-buru. Terimakasih sudah membantu. Permisi dulu, Assalamualaikum Warahmatullah.."
Aku melangkah cepat. Meninggalkan sosok tampan yang aku yakin saat ini kebingungan. Terakhir aku mendengar dia berteriak sedikit kencang, "Hati-hati Mbak, nanti kesandung rok lagi."
Aku tak menoleh. Hanya tersenyum geli sendiri sambil terus melangkah pergi.
Terimakasih buat pembaca yang udah setia menunggu. Terimakasih juga udah support dengan memberikan votenya. Semoga kisah sederhana ini memberikan inspirasi bagi hidupmu. Teruslah istiqomah dalam hijrah. Karena Tuhan akan melimpahkan kepada kalian kebaikan-kebaikan yang tak terduga. Salam cinta dariku; semoga melalui karya bermanfaat kita akan bertemu sebagai tamu di surga Tuhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasih Setia
Espiritual"Orang-orang yang membuatku patah serta orang-orang yang mengenggam tanganku agar tak rebah; Dua sisi saat Tuhan membolak-balikan hati. Dan kamu bertahan menjadi keduanya" based on true story