Masih dalam ketakutan yang sama.
Khadeeja bersikeras untuk pulang ke Jakarta. Namima, Mister Heri, dan teman-teman lainnya bahkan dokter tidak mampu menghalangi kemauannya. Semua orang tahu bagaimana keras kepalanya Khadeeja. Jika dirinya menghendaki sesuatu terjadi, apapun kondisinya ia tak pernah mau perduli.
Seperti pagi ini,
Saat dokter selesai menjelaskan tentang kondisi kesehatannya. Khadeeja bersikeras untuk terbang ke Jakarta, dan berjanji akan melanjutkan pemerikaan setelah sampai disana. Ia benar-benar tidak ingin melakukan perawatan disana, meski kondisinya masih sangat-sangat lemah.
"Aku sudah baik-baik saja. Percayalah. Aku bisa. Penerbangan ini hanya butuh waktu beberapa jam saja. Dan aku akan bertahan lebih lama dari itu, Mim!"
Ia berusaha meyakinkan Namima saat sahabatnya itu memujuknya untuk tetap tinggal beberpa hari lagi.
"Mister Heri, Please!" rayu Khadeeja pada ketua timnya.
Laki-laki yang juga rekan kerja – sudah dianggap abang – selama tiga tahun ini Khadeeja tidak bisa menggelengkan kepalanya. Namun ia tak pula langsung menyetujuinya. Langkah lain sebagai laki-laki dewasa yang bijaksana adalah menemui dokter dan membicarakan segala sesuatu yang bisa ia lakukan untuk menunaikan keinginan rekan kerja sekaligus adik angkatnya tersebut.
"Terimakasih Mister Heri. Aku berhutang banyak padamu. Setelah sembuh, aku akan mentraktirmu di resto shusi favorit kita," kata Khadeeja teruja saat Mister Heri membawa surat keputusan dokter untuk mengizinkan pasiennya terbang, meski dengan persayaratan harus melanjutkan perawatan.
"Jadi Mister Heri aja nih yang di traktir?" celetuk Sesil, sekretaris pribadi sekaligus official tim mereka yang sedari tadi jauh lebih sibuk dari Mister Heri yang hanya menunjuk jari, menyuruh dirinya menyiapkan segala sesuatunya.
Khadeeja nyengir. Tipis. Berusaha tertawa meski belum bisa lepas seperti biasanya.
"Kalian semuanya. Akan kubawa ke resto favoritnya Mister Heri, yang terpenting kita pulang sekarang!" jawab Khadeeja. Ia tampak kegirangan. Dari kursi roda yang di dorong Mister Heri, tampak raut kegembiraannya walau belum mampu tertawa seutuhnya.
***
"Sorry, Eja... Seat kita nggak berdampingan. Kamu nggak papa disitu sendirian?" kata Namima saat menyadari ternyata kursi pesawat mereka tidak bersebelahan.
"It's okey, Mim. Setelah dapat izin pulang. Aku rasa kesehatanku udah pulih tujuh puluh persen."
"Secepat itu?" kata Namima.
Khadeeja tersenyum kecil, sambil menatap punggung Namima yang mulai berjalan menjauh dari tempat duduknya.
"Excuse me!"
Seorang laki-laki sudah berdiri di hadapannya. Tersenyum. Manis sekali. Tapi Khadeeja tak perduli. Ia hanya membalasnya dengan senyum tipis. Selain karena tubuhnya masih lemas, ia juga tak suka berbasa basi dengan laki-laki, lebih-lebih yang tidak ia kenali. Sedetik kemudian ia berdiri. Memberikan ruang pada laki-laki itu untuk duduk. Di sebelahnya. Yang biasa diisi oleh Namima.
"Flight attendants, take off position!"
Suara itu terdengar jelas di telinga Khadeeja. Mulutnya mulai berkomat-kamit merapalkan doa apa saja. Berusaha menenangkan hatinya yang sudah tidak karuan debarnya. Tangannya dingin. Apalagi saat roda pesawat terdengar mulai menggelinding, dan tubuhnya bergoncang perlahan.
Khadeeja memejamkan matanya. Bibirnya masih terus merapalkan banyak doa. Keringat dingin mengucur deras dari keningnya, membasahi bagian atas jilbabnya.
***
"Papa mau kamu berhijab, sayang. Kali ini tidak ada alasan, kamu harus dengarkan Papa!"
Suara laki-laki itu menggema di ruang keluarga. Membuat siapa saja yang duduk disana terdiam. Menundukan kepalanya dalam. Hanya gadis kelas Sepuluh SMA itu yang masih berani mengangkat kepalanya. Menentang wajah papanya dengan kebencian.
"Emang aku perduli!?"
"Asal papa tahu, ya. Di hidup aku papa itu nggak pernah wujud. Selain mengekang kebebasan. Menyuruh aku ini dan itu, mengatur segalanya yang menurut papa baik. Tidak ada lagikah hal lain yang bisa papa lakukan ketika pulang. Please deh Pa, aku bukan hidup di jaman papa yang segala sesuatunya bisa di atur sama orang tua. Dan aku, lihat!"
"Aku sudah dewasa. Aku punya pilihan hidup sendiri. Aku punya style yang papa nggak akan pernah paham. Karena apa? Karena papa memang nggak pernah punya waktu untuk memahami apa kemauan aku dari dulu!"
Plak!
Sebuah tamparan keras melayang di pipi kanan gadis itu. Menciptakan sebuah bekas kemerahan yang sangat pedih tapi belum mampu membuat gadis itu menangis. Ia malah tersenyum meringis, sinis.
Sebelum beranjak dari tempatnya, ia bahkan sempat tertawa pelan. Tawa yang bergetar, menahan airmata yang siap tumpah kapan saja, sederas-derasnya.
***
"Kamu nggak papa?" suara laki-laki itu mengejutkan Khadeeja.
Ia tersentak. Berusaha mengulas senyum.
"Bagaimana mungkin kamu dapat izin terbang dalam kondisi seperti ini?" tanya laki-laki itu.
Khadeeja bingung. Ia kembali mengulas senyum.
Laki-laki itu menyodorkan sebuah sapu tangan. Sambil mengisyaratkan agar Khadeeja mengusap wajahnya yang telah basah oleh kringat.
"Apa kata dokter tentang penyakitmu?" kata laki-laki itu lagi.
"Maksudmu?" Khadeeja balik bertanya. Dingin.
"Nothing! Lupakan saja. Kamu nampaknya sedang tidak baik-baik saja. Wajahmu pucat sekali!"
"Sedikit."
"Istirahatlah lagi. Kita mungkin akan sampai dua jam kemudian,"
Khadeeja tersenyum pelan. Ia kembali berusaha memejamkan matanya. Melawan debar-debar yang masih berperang di jantungnya. Ia kembali berdoa, meminta Tuhan menenangkan jiwanya, menyelamatkan dirinya, dan mempertemukan kembali ia dengan keluarganya.
Terimakasih buat pembaca yang udah setia menunggu. Terimakasih juga udah support dengan memberikan votenya. Semoga kisah sederhana ini memberikan inspirasi bagi hidupmu. Teruslah istiqomah dalam hijrah. Karena Tuhan akan melimpahkan kepada kalian kebaikan-kebaikan yang tak terduga. Salam cinta dariku; semoga melalui karya bermanfaat kita akan bertemu sebagai tamu di surga Tuhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasih Setia
Spiritual"Orang-orang yang membuatku patah serta orang-orang yang mengenggam tanganku agar tak rebah; Dua sisi saat Tuhan membolak-balikan hati. Dan kamu bertahan menjadi keduanya" based on true story