Insiden Bensin (part 1)

32 0 0
                                    

Kupandangi peta yang membentang di dinding kamar Hosan.

Raha-Makassar

Suatu jarak yang relatif tidak jauh.

Aku rindu Ibu dan Bapak.

Kusangka, dengan semakin menjauh dari rumah maka aku bisa melupakan mereka dan semua kenanganku di sana.

Ternyata, tidak segampang itu.

Mungkin aku benci, namun dengan status yang terlanjur kusandang sebagai anak --pun dari negeri-antah-berantah. Toh, batinku tetap saja masih terikat bersama detik tak hingga di rumah.

Namun, aku ragu bahwa mereka balik merindukanku.

Kupikir tidak, sebab hingga sekarang tiada satu pun orang sana yang menghubungiku.

Siapa yang akan mengkhawatirkan aku?

.
Hosan menghambur tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Ia membawa sebungkus kacang kulit dan dua gelas susu hangat.

"Slow momen," ujarnya seraya menyandarkan punggungnya ke tepi tempat tidur, mengikutiku.

Lama kami terdiam.

"Apa tujuanmu ke sini?" terlalu cepat bertanya hal itu.

"Kau punya masalah? cerita saja, mungkin aku bisa bantu." Ia memberikan jasa begitu pertanyaannya kujawab dengan diam.

"Belum bisa kuceritakan sekarang. Nanti saja," jawabku memperlihatkan ekspresi baik-baik saja sambil terus melap lensa kacamataku yang basah.

"Tahu jalan Landak?" Hosan mengangguk mantap.
"Kenapa?"
"Bisakah kau mengantarku kesana besok?"
"Tentu. Keluargamu disana ya?" aku menaikkan pundak.

"Bisa dibilang begitu," tuturku.

"Ah, aku tak suka momen slow begini." Kusruput susu hingga tandas.

"Kakakku kirim salam tuh!" Hosan mengalihkan perhatian ke 'Kotak Masuk'.

"Salam balik."

"Edan kau! Fix aku tak restui. Pohon keluarga bisa rusak bah!"

Kak Nanda, kakak perempuan Hosan jadilah bahan cerita konyolnya hingga hampir satu jam. Lalu cerita merambat kemana mana.

Biarlah begini. Mending begini, daripada momen slow tadi.

-----

"San, bantu!" Hosan sibuk membaca pesan.

Kudorong motor menuju ke pom bensin terdekat.

"Capek!" gerutunya, menghempaskan bokongnya ke trotoar.

"Tanggung, pom bensin di depan!" aku menyemangatinya, menunjuk dengan dagu.

"Nih! satu botol!" perintahnya, memberikan uang sepuluhribuan kepadaku.

"Banyak olahraga gih!"
tarikan napasnya yang terbatas membuat ledekanku hanya dibalas dengan bahasa tubuh mengelus-elus perut 'hamil'nya tanpa berkata apapun. Udara yang mengalir di badannya mungkin terhalang oleh lemaknya yang menggunung. Berkata sedikit saja baginya seperti berlari sepuluh kilometer.

Wait. Apa faedahnya aku mendeskripsikan hal itu sebegitunya. Back to focus.

-----

"Bensin satu!" gadis pedagang bensin di hadapanku tersentak.

Kulihat dari garis wajahnya, sepertinya kami seumuran. Rambutnya dikuncir satu. Indah, manis pula.

Dia lama menatapku, sambil tersenyum simpul tak karuan. Entah mengapa. Aku sibuk berdoa di dalam hati agar tidak tergoda oleh gadis cantik di hadapanku ini.

Ya Allah, kuatkanlah pertahananku!

"Maaf, bensin satu!" mintaku ulang.

Tujuanku ke sini bukan asyik menebar pandangan 'liar'. Dia tidak bergeming.

Aku melambaikan tanganku di wajahnya.
"Maaf." Kujentikkan jariku.

"Kau tidak apa-apa?" tanyaku. Dia tersenyum lagi.

"Bensinnya satu!" aku menunjuk.

Ceroboh, dia menjatuhkan satu botol hingga pecah.

Pikirannya belum sepenuhnya fokus. Refleks, aku mengumpulkan pecahan botol tersebut.

"Maaf." Aku tersenyum,
"Tidak perlu minta maaf."
"Satu'kan?" Ia menodongkanku sebotol bensin. Aku mengangguk.

Segera aku melangkah cepat ke Hosan.

"Beli di Bulukumba ya? lama sekali!" protes Hosan.
"Sabar dong!"

"Permisi!" Hosan mengerlingkan kedua bola matanya, pertanda bahwa ada seseorang yang sedang berdiri di belakangku.

"Botolnya sudah kukembalikan'kan?" dia menggeleng, lantas memberikanku empat lembar uang seribuan.
"Kembaliannya, kau lupa!" katanya singkat.

Belum sempat kurespon, ia duluan beranjak.

"Siapa?" Hosan penasaran. Dia terus memperhatikan cewek itu.
"Namanya? Manakutahu." Pertanyaan Hosan tidak penting.

"Cantik ya," pujinya.
"Memang cantik! Sudah ah!" balasku.

Benang KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang