1994 (part 1)

15 0 0
                                    

Kamis, 06 Januari 2011

“Jika sumber dalam keadaan diam dan pengamat bergerak relatif terhadap medium maka tidak ada perubahan panjang gelombang yang melewati penerima.” Pak Epen menerangkan.

Selain gemar Fisika, aku kerja keras memburu materi yang terlambat kudapat.

Yang lain termasuk Hosan keenakan menguap. Paling parah si Bejo. Ia tertidur pulas di bangkunya. Ilernya sampai berjatuhan. Menjijikkan sekaligus mengundang perhatianku.

“San, ngerti?” kucolek rambut keritingnya.

“Ya iyalah. Murid teladan dilawan!” bangganya.

“Pak guru menjelaskan tentang apa?” aku menguji.
“Ini yang beliau paparkan!”

Hosan menuntunku ke lembaran buku yang dicoret-coretnya menjadi tulisan tanpa makna, mirip benang yang acak-acakan.
“Hebat bukan? Almarhum Einstein pasti memujiku,” sambungnya sembari cekikikan.

“Huh, dasar! kok bisa masuk IPA ya?” aku menggeleng.
“Heh, jangan remehkan kami. Kita hanya mengalah kepada guru kok” belanya. Terserah.

Entah. (Hampir) semua guru yang mengajar di kelas duabelas menjadi begitu sabar dan tabah.

Mungkin karena tidak lama lagi kami akan menghadapi Ujian Nasional. Para guru sengaja memanjakan kami dengan menahan ledakan amarah acapkali mengajar di kelas, namun di dahi mereka tertulis jelas kalimat, cepatlah-kalian-lulus-dari-sekolah-ini-dan-enyahlah-sejauh-mungkin.

Izan memberi arahan penghormatan pertanda pelajaran usai, semua berebut pintu kelas sesudahnya. Jam istirahat yang tidak lama mesti dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Terkecuali aku, dan beberapa penghuni kelas tidak tertarik akan keramaian diluar.

Aku merasa tidak enak hati pada pak Epen. Kudekati beliau yang sedang merapikan buku-buku.

“Biar saya bantu, Pak!” tawarku memberikan jasa.

Aku meraih penghapus. Kubersihkan coretan yang ada di papan tulis setelah menumpuk buku-buku yang berserakkan di meja guru.

Aku menunggu bapak guru memulai percakapan.

Kubuka daftar kehadiran saat pak guru membelakangiku. Teman-teman sekelasku tak ada satu pun yang pernah alpa. Ada tersirat rasa banggaku sedikit.

“Anak-anak zaman sekarang memang sulit dikontrol.” Kututup kembali buku absen itu.

“Padahal, dibandingkan dengan tujuh belas tahun terakhir perbedaannya sangat jauh,” lanjutnya. Aku tak merespon.

“Kau memang anak yang baik.” Pak Epen menurunkan lensa kacamatanya.
“Tapi menjadi baik saja tidaklah cukup!” ditaruhnya kacamata tersebut ke sebuah kotak.

Pak Epen kemudian mengambil tasnya lalu bergegas pergi dariku. Aku tak berkata sedikit pun selain menunduk dan membukakan jalan.

“Temui wali kelasmu di kantor, beritahu kelakuan teman-temanmu itu!” pesannya.

-----

Pkl 09. 41

“Adan!” aku menuju ke sumber suara. Nana berlari mendekatiku. Membawa dua tusuk siomay yang baru dia beli.

“Ini!” Ia menyodorkan yang ada di tangan kanannya.
“Sebenarnya, aku harus mencari Hosan,” bukan saatnya untuk bercakap lama-lama.

“Ada apa?” Nana penasaran.

“Aku belum tahu siapa nama wali kelas kami” kuceritakan perihalku.
“Kenapa tidak tanya yang lain”
“Nanti aku malah diajak ngobrol lagi.” Aku tipe orang yang tidak begitu suka basa-basi.

Benang KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang