Buku Milik Wali Kelas Kami (3)

17 0 0
                                    

Hentakan sepatu samar-samar mengikuti dari belakang. Kupikir satpam. Lekas aku bersembunyi di bawah tangga kelas sepuluh satu.

Nampak sesosok bayangan hitam pelan-pelan melangkah. Jantungku rasanya mau copot. Tak pernah aku mengalami hal sinting ini sebelumnya.

Kuharap bukan satpam, terlebih setan.

Kusorot senter ke sumber antara ketakutan dan kepenasaranku. Orang itu menutupi wajahnya dengan tangan karena silau.

“Nana!?” aku ragu.

Gadis itu meminta agar senter kumatikan. Keraguanku musnah.

Sesosok bayangan yang kumaksud memang Nana.

“Adan?” dia keheranan.

“Kamu ngapain disini?” tanyaku langsung ke inti.

“Aku dipanggil kepala sekolah untuk memeriksa hasil ulangan kelas sepuluh,” jujurnya.   
   
“Kepsek dimana?”

“Di ruangannya,” jawabnya polos. Sejenak aku merasa lega.

“Lantas, kenapa kamu malah kesini?” tanyaku bertubi-tubi.
“Tadi kulihat ada cahaya senter dari arah kelas sepuluh, lalu ada juga Layla yang baru saja keluar dari sekolah. Aku penasaran aja, makanya aku kesini” jawabnya.

“Layla?! berani sekali kamu!” harga diriku sebagai lelaki serasa koyak.

“Iya dong, hantu pun aku tidak takut,” bangganya.

“lah, kau? sedang apa di sini? Jangan bilang habis ketemuan sama Layla! Ukh. Otakku!” Nana curiga.

Kesimpulan yang berbahaya.

Mau tidak mau, akhirnya aku cerita yang sebenarnya supaya dia tidak salah paham.

------

“Hoi! jangan jauh-jauh!” Nana ikut melibatkan diri.

Ia mengecek gagang pintu ruang kelas satu per satu.

“Jangan ribut!” suruhku setengah berbisik.

“Bagaimana kalau kepsek mencarimu?” aku khawatir.

“Habis beli minum, pak. Bilang aja begitu. Susah amat,” jawabnya datar.

“Kesana yuk!” ajak Nana.

“Tidak boleh!” larangku, tanpa sadar kuggenggam tangannya.

Nana terdiam.

“Maaf,” aku salah tingkah.

"Kenapa minta maaf?" Nana tersenyum, kemudian ia berlari kecil.

Deg.

Jantungku tiba-tiba berdetak tidak karuan.

“Adan, sini!” teriak Nana.

Ya Tuhan! suaranya keras sekali.

Sambil memegangi dadaku dan berusaha bersikap wajar segera kuhampiri ia.

“Adan, pintu perpustakaan terbuka!” lapornya.

Aneh, dari sekian banyak ruangan hanya pintu perpus saja yang tidak terkunci.

“Ayo masuk!” seru Nana. Dengan sigap kutarik hoodienya.

“Jangan dulu!” larangku, sambil merogoh hp di saku jaket. Aku hendak memanggil Hosan.

“Ayo!” Nana menarik lenganku.

"Tunggu!" Aku fokus mengetik pesan singkat.

"Takut ya?" Nana menggodaku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 26, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Benang KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang