CHAPTER 9 FIRASAT (PART 2)

1.3K 97 0
                                    

Langit itu mulai menghitam, tanpa ku sadari sudah cukup lama aku berjalan. Tidak akan lama lagi, malam akan segera tiba. Aku dan Zero masih belum menemukan tempat untuk sekedar merebahkan tubuh kami saat ini. Semua rumah di desa ini tertutup dengan rapat tanpa ada satu pun pintunya yang terbuka. Penduduk desa ini pun memperlihatkan sikap yang aneh, tidak ada satu pun dari mereka yang mengizinkan kami memasuki rumah mereka. Kebanyakan dari mereka hanya mengintip dari celah pintu dan hampir semuanya menyuruh kami untuk meninggalkan desa ini. Prilaku mereka itu sungguh membuatku heran.

Sepertinya waktu berjalan semakian cepat, aku sudah tidak sanggup lagi melangkahkan kakiku. Aku pun beristirahat dan duduk di sebuah teras rumah penduduk desa ini. Aku merasa lega karena Zero pun tampaknya kelelahan. Dia menghentikan langkah kakinya dan tetap berdiri sambil memandangi sekeliling desa ini.

"Zero ... Apa kau tidak merasa lelah? Duduklah di sini bersamaku."

Akan tetapi Zero mengabaikan panggilanku, dia tetap berdiri dengan tatapan matanya yang terus menatap sekeliling.

"Hei ... Zero ..."

"Apa kau tidak merasa heran dengan desa ini?"

"Memangnya kenapa?"

"Sejak tadi kita berkeliling tapi tidak ada satu pun penduduk desa yang terlihat berlalu lalang. Tapi aku yakin mereka berada di dalam rumah mereka seharian. Yang membuatku semakin heran, kenapa orang-orang yang kita temui, semuanya menyuruh kita untuk meninggalkan desa ini."

Sebenarnya aku pun memiliki pemikiran yang sama dengan Zero, namun aku hanya terdiam, aku tidak tahu jawaban apa yang harus aku berikan atas pertanyaan Zero.

Malam semakin larut, suara lolongan anjing dan sunyinya desa ini membuatku mulai merasa takut. Namun berbeda dengan Zero, tampaknya dia tidak merasa takut sama sekali. Dia sedang bersender pada sebuah kursi yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempatku berbaring saat ini. Ya ... Aku merasakan lelah yang amat sangat sehingga tanpa meminta izin pada pemiliknya terlebih dahulu, aku memberanikan diri untuk merebahkan tubuhku di salahsatu teras rumah penduduk desa ini.

Aku menatap wajah Zero, matanya terpejam dengan rapat yang menandakan dia tengah tertidur saat ini. Berbeda sekali denganku, sedikit pun aku tidak merasa ngantuk.

"Kriiieeeeet ..."

Sebuah suara yang berasal dari pintu rumah ini membuatku tersentak. Tak lama setelah itu, seorang wanita paruh baya dan seorang anak laki-laki keluar dari rumah.

Aku merasa malu karena pemilik rumah ini melihatku terbaring di teras rumahnya, aku bahkan tidak meminta izin padanya terlebih dahulu. Wanita itu menatap dengan penuh heran padaku.

"Ma ... Maafkan aku ... Aku dan temanku sangat kelelahan karena itu, kami beristirahat sebentar di sini."

"Tidak apa-apa, aku tidak keberatan."

Wanita itu dengan ramahnya mengatakan itu kepadaku. Kemudian wanita itu melanjutkan langkah kakinya meninggalkan rumah ini, begitu pun dengan anak laki-laki yang tampaknya merupakan putranya.

"Kalian mau ke mana?"

Sejujurnya aku merasa heran dengan prilaku ibu dan anak itu, tengah malam seperti ini mereka keluar dari rumah. Entah ke mana mereka akan pergi? Rasa keingintahuanku, membuat pertanyaan itu terlontar dengan sendirinya dari mulutku.

"Aku akan berjalan-jalan dengan putraku ..."

"Berjalan-jalan tengah malam begini?"

"Kenapa anda terkejut? Lihatlah di sini sangat ramai, semua orang keluar dari rumah mereka."

Aku menatap sekelilingku dan seperti yang dikatakan oleh ibu itu, satu persatu penduduk desa ini keluar dari rumah mereka, sehingga suasana menjadi begitu ramai. Mereka seakan-akan tengah sibuk melakukan aktifitas mereka.

"Hei Zero bangunlah ..."

Tidak perlu menunggu waktu yang lama hingga Zero membuka kedua matanya.

"Lihatlah ... Mereka semua keluar rumah, di sini menjadi ramai sekali."

"Hmmm ... Jadi begitu, mereka baru keluar rumah jika malam hari."

"Bukankah ini sangat aneh? Seharusnya sekarang ini waktunya mereka untuk tidur."

"Sudahlah abaikan saja mereka, mungkin ini kebiasaan mereka."

Zero bangun dari posisi duduknya dan dengan acuhnya melangkahkan kakinya.

"Kalian mau pergi ke mana?"

Pertanyaan dari ibu paruh baya itu membuatku mengalihkan pandanganku yang sejak tadi menatap ke arah Zero.

"Hmmmm ... Apa di sini ada restoran atau rumah makan?"

"Ada ... Di sebelah sana, kami akan mengantar kalian."

"Terima kasih bu ..."

Pada awalnya aku mengira penduduk desa ini sangat acuh dan tidak perduli kepada orang lain, tetapi melihat kebaikan dari ibu itu, membuatku tersadar bahwa semua pemikiranku itu salah.

Aku mengikuti langkah ibu dan putranya yang berjalan di depanku, namun aku segera menghentikan langkah kakiku ketika menyadari Zero sama sekali tidak mengikuti kami. Dengan kesal, aku membalik tubuhku dan menatap ke arah Zero. Zero terlihat sedang berdiri dan tengah menatap ke arah rumah-rumah penduduk.

"Ada apa Zero? Ayo pergi! Apa kau tidak merasa lapar?"

Zero sama sekali tidak menanggapi perkataanku, membuatku semakin merasa kesal padanya.

"Hai Zero ... Kau dengar tidak?"

"Aku melihat sebuah bayangan memasuki rumah ini, ketika aku menatap rumah-rumah yang lain, aku melihat begitu banyak bayangan memasuki rumah-rumah penduduk itu."

"Haah ... Bayangan apa maksudmu?"

"Sudahlah ... Mungkin aku salah lihat. Ayo pergi! Aku sudah muak mendengar suara perutmu yang berisik itu."

Seketika itu juga aku merasakan panas pada wajahku, aku yakin sekali saat ini wajahku pasti berwarna merah menyala. Aku sangat malu karena memang benar yang dikatakan Zero, sejak tadi perutku terus mengeluarkan suara yang sangat memalukan. Meskipun aku rasa itu merupakan sesuatu yang wajar, karena seharian ini aku belum memakan apa pun.

Zero berjalan mengikuti ibu paruh baya itu, begitu pun dengan aku.

"Ini tempat makannya, kalian makanlah di sini ..."

Perkataan itulah yang terlontar dari mulut ibu itu begitu kami tiba di depan sebuah rumah makan. Meskipun kami melihat dari luar, tapi terlihat dengan jelas betapa ramainya rumah makan itu. Banyak penduduk desa ini yang sedang makan di rumah makan itu.

"Kami pergi dulu ..."

"Iya terima kasih sudah mengantar kami kemari."

Setelah menyunggingkan sebuah senyuman, ibu beserta putranya itu pergi meninggalkan kami. Tanpa ragu kami berdua pun memasuki rumah makan itu dan memesan beberapa makanan.

Rasa lapar yang aku rasakan membuatku memakan makanan itu dengan lahap, namun berbeda dengan Zero. Dia terlihat tidak menyentuh makanannya sedikit pun. Tatapan matanya hanya menatap sekeliling tempat ini, entah apa yang sedang dia pikirkan? Membuatku semakin yakin bahwa dia memang orang yang sangat aneh. Aku mengabaikan dia dan dengan lahap terus menyantap makananku.

Eternal Kindness (Princess Giania And The Witch From The Past) [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang