17. Ketegangan

13 3 0
                                    

Awan hitam tampak bergerombol dilangit sana. Pagi hari yang biasanya cerah dan berawan kini terlihat mendung. Sang mentari kini sedang bersembunyi, berselimut dibalik gumpalan awan hitam. Berangkat sekolah pun terasa malas. Udara dingin berhembus menabrak segala sesuatu yang ada dihadapannya.
"Masih pagi aja udah mendung." Berdecak kesal.
"Ara jangan lupa bawa payung ya."
"Iya ma. Ara nggak usah sarapan ma. Bawa bekal aja. Mau cepet-cepet berangkat biar nggak kehujanan."
"Loh kenapa? Sarapan bentar. Kalo kehujanan tinggal pake aja payungnya."
"Nggak ma. Males banget hujan-hujanan gitu. Nanti sepatu Ara basah. Makannya sebelum hujan turun Ara mau berangkat sekolah."
"Yaudah mama siapin dulu bekalnya."
Selang beberapa menit, semuanya telah siap. Termasuk dengan bekalku. Zahra bergegas berangkat sekolah. Tak lupa ia berpamitan pada mamanya. Setelah beberapa langkah menjauh dari rumahnya, zahra berhenti tepat di depan rumah Pram.
"Pram berangkat bareng nggak?" Teriaknya dari luar.
"Tungguin gue." Pram bergegas memakai sepatunya yang tinggal sebelah. Sebelahnya sudah rapi terpasang di kaki besarnya itu. Lalu ia pun berpamitan dengan Tante Rini yang merupakan bidadari tak bersayap miliknya.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsallam. Hati-hati dijalan." Ucap Tante Rini.
"Berangkat dulu tan." Sambil melambaikan tangan.

Jam menunjukkan pukul 06. 50
Untungnya kami berempat sudah berada di kelas. Pasalnya ketika kami sudah memasuki gedung sekolah, hujan turun dengan sangat deras. Hujan turun tanpa menunjukkan keraguan.
"Eh besok udah mulai Ujian nih." Ucap Arin membuka pembicaraan diantara kami. Penghuni kelas 11 IPA 2 saling mengobrol satu sama lain. Alhasil kelas kami pun tampak begitu ramai.
"Cepet amat ya." Jawab Irvan menimpali.
"Iya nih. Persiapan gue masih 50%." Sahutku
"Ntar malem kita belajar bareng aja. Lagian besok mata pelajaran pertama bahasa jepang lagi. Malam nanti tugas lo jadi guru nih Ra."
"Iya Pram, gampang kok. Dirumah siapa nih?"
"Dirumah gue aja." Ucap Arin memberi tawaran. Tanpa banyak berpikir panjang kami bertiga setuju. Bel masuk sudah berbunyi. Terlihat seorang wanita yang kira-kira berumur 35 tahun sedang memasuki kelas. Ya itu adalah Bu Rena. Guru bahasa Indonesia kami. Beliau datang tepat waktu dan langsung memulai pelajarannya.

***
Semua kegiatan hari ini diliburkan. Termasuk kegiatan ekstrakulikuler. Alasannya karena besok SMA kami akan melaksanakan Ujian Semesteran. Dan hari ini sekolah pulang agak awal. Itu merupakan kebahagiaan yang tak ada duanya bagi kami seorang pelajar. Kami semua sontak bersorak gembira. Biasanya hari-hari sekolah adalah hari yang melelahkan, tapi tidak untuk hari ini. Kami semua bersyukur. Dengan segera murid-murid SMA itu pulang kerumah masing-masing. Sebagian siswa ada yang mampir ke rumah temannya. Ke toko buku atau supermarket dan melakukan hal-hal lain.
"Jangan lupa nanti malam abis maghrib gue tunggu  dirumah." Ucap Arin mengingatkan janji yang telah kami buat.

Saat cakrawala yang sudah biru kini berganti dengan jingga keemasan yang lembut. Kaki telanjangnya menyentuh dengan ragu rerumputan yang basah, bekas hujan tadi. Zahra yang sedang menyirami tanaman di halaman rumahnya sambil menikmati sang senja, kini masuk ke dalam rumah. Ia ingat akan janji yang dibuatnya bersama para sahabatnya itu. Setelah menunaikan sholat maghrib ia bersiap-siap. Malam pun tiba. Kulihat ponsel ku sudah ada beberapa pesan dari Irvan.

Irvan : lo berangkat bareng siapa? Mau gue jemput?

"Kalo searah sih nggak masalah. Kalo nggak searah sama rumah lo mending nggak usah. Gue bisa bareng Pram."

Irvan : searah kok. Gue on the way sekarang. Sekalian kasih tau si Pram. Kita berangkat bareng.

"Siap pak bos." Godaku.
Aku berniat menjemput Pram dirumahnya. Tapi Pram tiba-tiba sudah berada di depan rumah.
"Eh lo kayak peramal aja. Baru aja gue mau kerumah lo buat jemput, eh lo nya udah ada disini."
"Kita sehati mungkin."
Aku hanya memutar bola mataku. Terserah, batinku.
"Eh ntar Irvan kesini jemput kita."
Tanpa banyak bicara Pram hanya menjawab singkat "oke" ucapnya pelan. Setelah beberapa menit kemudian Irvan datang dengan mobilnya. Kemudian kami berpamitan dengan Mama dan Papa. Kebetulan Papa pulang siang tadi.
Sesampainya di rumah Arin, kami disambut dengan sangat baik oleh Tante Andin dan Om Raka. "Langsung ke kamar aja yuk." Tanpa mau membuang waktu kita semua langsung bergegas menuju kamar Arin dan mulai membuka-buka buku.
Aksi membolak-balikkan halaman buku sudah menjadi hal yang wajar disini. Sesekali Zahra menjelaskan beberapa materi karena para sahabatnya itu kurang paham.
"Permisi, lagi asyik belajar ya. Ini tante bawain cemilan sama minum. Biar nggak tegang banget."
"Makasih tante." Serempak.
"Duh tegang gue. Besok gimana ya ujiannya. Sulit nggak ya." Ucap Arin resah.
Sambil memakan cemilan yang dibawakan Tante Andin kami melanjutkan belajar. Buku yang tadinya kosong kini penuh dengan coretan. Sudah hampir 3 jam kita belajar. Rasa lelah pun terasa. Akhirnya kami memutuskan untuk berpamitan pada Tante Andini dan om Raka dan pulang.

Keesokan harinya. Raut muka para siswa dipenuhi ketegangan. Jantung mulai berdetak kencang. Bukan karena cinta atau cemburu dan yang lainnya tapi karena ujian ini. Ujian ini menentukan masa depan kami nanti. Lembaran soal sudah dibagikan. Tak lupa juga lembar jawaban. Akhirnya bel tanda mengerjakan itu pun berbunyi. Tanpa diperintah semua murid sudah tau apa yang harus dilakukan. Otak diperas agar mau berfikir lebih cepat. Setiap siswa pasti mengharapkan jawabannya tepat. Sehingga mereka mendapatkan nilai yang memuaskan. Satu jam telah berlalu. Waktu semakin sedikit.
Tteeettt....
"Ayo bel sudah berbunyi. Kumpulkan lembar jawabannya beserta soalnya." Perintah ibu guru pengawas ujian.

"Mampus tadi ada yang belom gue kerjain."
"Aduh soalnya banyak banget."
"Susah."
"Huruf kanji nya susah dibaca."
"Waktunya nih kecepetan."
Keluh kesah para siswa memenuhi satu ruangan.

"Mampus Ra soalnya susah-susah. Untung kemaren kita udah belajar jadi sedikit-sedikit pahamlah." Kata Arin.
"Dari raut mukanya, kayaknya lo nggak merasa berada di ambang kesulitan deh ra." Ucap Irvan yang tiba-tiba sudah masuk di ruangan kami. Memang waktu ujian ini ruangan kami berempat terpisah. Irvan sama Pram berada di ruang 07, yaitu kelas 11 IPA 4 sedangkan Zahra sama Arin berada di ruang 08 yaitu di kelas 11 IPA 5. Istirahat gelombang pertama sudah hampir habis. Pram dan Irvan juga sudah kembali ke ruangannya. Siswa siswi lain juga kembali ke ruangan masing-masing setelah dari kantin. Dan ada juga yang dari taman merefresh pikiran. Ada pula yang habis dari perpustakan, itu berlaku bagi para anak-anak pintar dan rajin.
Semua kembali ke ruangan masing-masing dan duduk di kursinya. Setelah itu ujian dilanjutkan dengan mata pelajaran kedua yaitu, fisika. Kami semua merasa pusing dibuatnya. Angka-angka itu memenuhi fikiran. Rasanya kepalaku mau pecah. Semoga ini cepat berlalu Ya Allah.
Beberapa jam kemudian semuanya selesai. Bel pulang sekolah sudah dibunyikan 10 menit yang lalu. Tapi masih banyak siswa yang masih berada di sekolah. Termasuk kami berempat.
"Parah fisikanya bikin pusing." Ucap Arin.
"Dari tadi lo ngeluh aja Rin."
"Tapi Ra emang kenyataannya gitu."
"Fisikanya easy kok." Sahut Irvan dengan gaya yang sombong.
"Biasa aja kali. Iya gue percaya lo pinter dalam hal hitung-hitungan."
"Jelaslah." Melipatkan tangannya di dada.
Keren. Batinku
"Yuk ah ke otaku cafe. Sekalian belajar bareng. Ganti suasana gitu. Kalian pada bawa buku kan."
"Bawa kok."
"Gue nggak bawa. Kelupaan. Heheh." Ucap Irvan cengengesan. Merasa tidak bersalah.
"Yaudah ntar nebeng aja."
Otaku cafe adalah cafe favorit kami, sudah menjadi pelanggan tetap. Alasannya karena tempatnya tak jauh dari sekolah dan searah dengan jalan pulang kami.
Sesampainya disana kami langsung mencari tempat yang kosong. Sedangkan Zahra memesankan makanan dan minuman untuk kami bertiga.
"Ini pada pesen apaan? Masa terserah gue sih."
"Iya nggak papa Ra. Gue percayakan tugas ini pada lo." Ucap Irvan sambil menepuk bahu ku.
"Ih apaan sih van. Kayak adegan di film-film aja."
Suara gelak tawa memecah keheningan di sekitar.
Sambil menunggu pesanan datang, kami memulai kegiatan belajar bersama itu. Soal demi soal kita kerjakan. Penjelasan-penjelasan singkat dari diskusi kami lebih mudah diingat dan dipahami. Cara itulah yang kami gunakan dalam belajar. Beberapa jam kemudian langit berubah drastis. Yang awalnya biru cerah kini menjadi abu-abu.
"Papa gue udah jemput. Cabut duluan ya." Ucap Arin berpamitan.
"Yuk ah kita juga cabut." Ajak ku pada Pram.
"Kalian nggak nebeng aku?"
"Nggak usah van. Sesekali naik angkot. Kangen naik angkot heheh." Jawabku ngasal.
"Bayar dulu woi. Gue lagi bokek nggak bisa bayarin pesenan kalian-kalian."
"Eh kampret mau pulang masih aja ditahan suruh bayar. Gue yang bayarin semua."
"Yang ikhlas Pram dapet pahala loh."
"Diem lo van."
Akhirnya kami pun pulang kerumah masing-masing.
Malam hari pun tiba. Terasa semakin gelap karena segumpalan awan abu-abu mengunpat lirih dilangit sana. Begitu damai dan dingin. Karena hujan turun begitu deras. Besok masih ada ujian lagi. Aku menepis segala rasa malas yang ada. Dan menuju meja belajar. Ini demi masa depan, batinku.
Tidak ada keberhasilan tanpa pengorbanan, tidak ada pengorbanan tanpa kerja keras, tidak ada kerja keras tanpa tetesan keringat.

Cinta diatas KebimbanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang