13. Kenyataan yang pahit.

29 1 0
                                    

Pagi ku cerahku, matahari bersinar. Ku bersiap untuk berangkat sekolah.
Ku gendong tas merahku di pundak. Kemudian aku berjalan menuruni anak tangga.

"Selamat pagi ma." Sapa ku.
"Pagi Ra. Ayo sarapan."
"Iya ma."

Aku menarik kursi dan lekas kududuki. Dengan segera aku menyantap sarapanku yang sudah mama siapkan diatas meja makan. Setelah itu, aku pun berpamitan dan berangkat sekolah. Seperti biasa, aku berangkat dengan berjalan kaki. Tidak lupa aku menghampiri Pram.
Diseberang jalan terlihat Pram sedang berpamitan dengan mamanya. Aku hanya tersenyum dari jauh. Begitu juga dengan Tante Rini.
"Pergi dulu ma. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsallam. Hati-hati dijalan ya Pram, Ara."
"Pergi dulu Tante...''
"Iya."
Kemudian kami bergegas menuju ke sekolah.
"Uhuk..uhuk." suara batuk ku.
"Kamu kenapa Ra?"
"Asapnya." Sambil menujuk ke sebuah motor yang melaju kencang.
Motor yang sudah tua memang mengeluarkan asap yang  membuat setiap orang batuk. Atau bahkan sesak napas.
"Ya udah pake aja sapu tangan gue. Nih..."
"Nggak usah Pram."
"Beneran?"
"Iya."
"Ya udah terserah."
Kemudian kami melanjutkan perjalanan.
Setelah berjalan beberapa menit, akhirnya aku dan Pram sampai di depan gerbang sekolah. Terlihat banyak siswa yang baru saja datang ke sekolah. Sama seperti kami.
Dengan lekas aku dan Pram memasuki sekolah dan segera menuju ke ruang kelas kami.
Beberapa menit kemudian, pelajatan dimulai.

***

"Eh guys bentar lagi kan ujian semester. Gimana kalo kita belajar bareng."
"Boleh aja."
"Eh Rin tumben lo ngomong kek gitu. Biasanya aja diajak belajar kelompok lo ogah-ogahan."
"Ngawur aja sih lo kalo ngomong van. Biasanya gue juga dateng kali."
"Mulai nih mereka." Kata Pram.
Aku hanya terkekeh kecil melihat tingkah mereka.
"Eh ayok ke kantin. Cacing di perut gue udah emosi. Minta jatah makan."
"Alay banget lo."
"Biarinlah van. Biarin Arin bahagia. Hahah."
"Eh Ra perkataan lo sih lembut tapi nyakitin."
"Eh lo bisa sakit hati juga Rin?"
"Lo kok gitu sih Pram. Biasanya lo bela gue."
"Ga papalah. Sekali-sekali."
Arin hanya memutar bola matanya. Ia malas untuk beradu mulut dengan kami. Karena disini Arinlah yang di bully.
Kemudian kamipun berjalan menuju kantin sekolah.
Saat ini kami hanya memesan makanan ringan saja. Dan membawanya ke taman sekolah. Seperti biasa, kami hanya duduk santai disana sambil menghabiskan waktu istirahat kami.
"Eh gimana ideku yang tadi?"
"Ide apaan?"
"Dasar lo pikun van."
"Eh anjir loh."
"Yang belajar kelompok itu Rin?"
"Iya Pram. Gimana kalian setuju nggk. Gue minta pendapat lo sama Ara. Irvan nggk usah."
"Oh gitu ya. Oke fine. Gue pergi."
"Yah ngambek dia."
"Rin jangan kayak gitu kek. Van jangan ngambekan dong. Ini kita mau bahas rencana buat persiapan ujian semester lo."
"Habis gue kayak orang nggak dibutuhin."
"Yaelah van. Maaf kali. Gue kan bercanda."
"Oke..."
"Jadi gimana?" Ucap Pram.
"Ya udah sih nggak papa kalo emang kita jadi belajar kelompok."
"Emang kapan kita mau belajar kelompok." Tanya Irvan."
"Nanti aja gimana. Lebih cepat lebih bagus kan."
"Bener juga lo Pram."
"Oke. Kita belajar kelompoknya diamana?"
"Dirumah lo aja Ra."
"Dirumah gue mulu. Nggk bosen apa. Gue yang punya rumah aja bosen."
"Hahaha." Bukan nya memberi saran,Pram malah tertawa.
"Hhmm... dirumah lo van?" Kata Arin.
"Nggak..."
Setelah menjawab pertanyaan dari Arin, Irvan langsung saja mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Kemudian ia bermain game yang ada di ponselnya itu.
"Lah kenapa? Kita kan belum pernah ke rumah elo."
"Iya nih Irvan. Kerumah lo aja ya. Semuanya mau kan."
"Iya aku mau-mau aja." Sahut pram.
"Iya."
"Tuh anak-anak pada mau. Dirumah lo ya Van."
"Ogah." Ia menjawab dengan nada tinggi.
Saat ini ia tidak bersungguh-sungguh dalam membahas rencana kami yang akan belajar kelompok dirumahnya. Ia terus saja bermain game tanpa menghiraukan pendapat kami.
"Emangnya kenapa Van." Giliran Pram bertanya.
"Ya pokonya jangan kerumah gue."
"Nggak papa lah van. Sekali-sekali. Kita kan belum pernah kerumah lo. Sekalian mau kenalan sama mama sama papa lo."
"Huft... kalo gue bilang nggak ya nggak. Kenapa sih pada cerewet semua."
Pram yang tadi duduk disebelahku kemudian pindah. Ia duduk di sebelah Irvan.
"Lo kenapa sih sob?" Tanya nya lirih.
"Nggak kenapa-kenapa gue."
"Jangan gitu lah. Kita kan sahabat. Cerita kek."
"Huft..." Irvan menghela nafas panjang. Dan menghentikan gamenya itu.
"Jadi?" Tanya Arin tidak sabaran.
"Gue paling males kalo dirumah. Makanya gue sering keluar rumah, pulang sekolah malem."
"Emang kenapa?" Tanyaku.
"Gue males kalo ketemu mama gue."
"Kok gitu?" Sahut Pram.
"Ya...gue males aja. Gue benci sama mama gue."
"Emang kenapa sama mama lo?" Tanya ku.
"Semenjak papa gue meninggal, mama jadi orang asing. Ia sama sekali nggak peduli sama gue."
"Bentar-bentar papa lo udah meninggal?" Tanyaku memotong cerita Irvan."
"Iya."
"Kenapa?"
"Gara-gara sakit jantung Rin."
"Oh... iya gue inget. Dulu waktu kls 9 SMP lo pernah izin selama seminggu itu gara-gara papa lo meninggal van?"
"Iya Ra.''
"Kok lo nggk ngasih tau kita sih Van kalo papa lo udah meninggal." Ucap Pram dengan nada sedikit kesal.
"Iya. Kenapa nggak ngabarin kita sih."
"Iya...gue nggak mau aja ngerepotin kalian."

*Plaakkk

Tangan Zahra dengan cepat menampar pipi Irvan. Dan Irvan memegangi pipinya yang merah akibat tamparan dari Zahra. Ia merintih kesakitan.

"Kok lo nampar gue sih."
"Eh Van. Denger ya. Emangnya kita udah kenal sejak kapan sih? Kita udah bareng-bareng sejak kapan sih? Lo mikir nggak sih. Lo anggap kita sahabat nggak sih." Suaraku meninggi.
"Iya."
"Kalo lo anggap kita sahabat lo nggk perlu sungkan Van. Lo nggk perlu merasa ngerepotin kita. Kita udah kenal lama van. Kita udah bareng-bareng sejak kelas 7 SMP. Sampe sekarang pun kita masih bareng-bareng van."

Aku merasa kesal pada Irvan. Aku terus saja mengomelinya. Pram dan Arin hanya diam dan melihatku sedang memarahi Irvan

"Lo harus membagi masalah lo sama kita. Kita bakal temenin lo kok. Diwaktu sedih maupun bahagia."
"Iya Van." Sahut Pram yang sedari tadi hanya diam.
"Iya maafin gue karena gue nggk ngasih tau kalian kalo papa gue udah meninggal."
"Huft... oke nggak papa."
"Terus gimana sama mama lo van?"
"Iya mama gue sedih. Begitu juga dengan gue. Udah sebulan papa gue ninggalin gue sama mama, disitu mama gue mulai berubah. Ia nggak peduli lagi sama gue. gue sakit juga dia malah asik mainin ponsel. Gue ngeluh juga nggak direspon. Gue minta ini itu gue dicuekin. Dan mama gue kerja mulu. Pulang selalu malem. Sebagai anak ya gue kasihan sama mama gue kalo terus-terusan pulang malem. Gue coba ngomong sama mama buat ngambil cuti. Biar dia bisa istirahat. Eh malah dia marah-marah. Gue sama sekali nggak di perhatiin sama sekali Pram, Rin, Ra. Gue udah nggak dipeduli in sama mama.Malah pembantu gue yang rawat gue. Yang ngasih makan gue. Yang ngasih perhatian ke gue. Sebenernya gue anak siapa sih. Mama apa pembantu gue. Hah... kesel gue. Pokoknya mama sekarang berubah. Dan dari situ gue mulai males kalo ketemu mama."
"Iya kerjaan mama lo banyak makanya dia pulamg selalu malem. Kan dia kerja juga buat lo Van."
"Iya gue tau Ra tapi dikit aja dia perhatiin gue gitu. Nemenin gue dirumah. Cih... ngapain perhatiin gue orang ngomong sama gue aja dia nggak pernah."
"Iya mungkin dia kecapekan kali Van."
"Iya Van. Mungkin aja mama lo lagi capek." sahut Pram.
"Meskipun nggak capek pun dia tetep sama Rin, Pram. Sebagai anak gue juga pingin diberi kasih sayang sama mama gue. Tapi dia malah....
Cih."
"Sabar ya Van. Gue tau lo pasti ngerasa benci sama mama lo. Tapi tetep aja dia mama lo kan."
"Gue udah sabar Ra. Tapi dia tetap aja kayak gitu. Sebenernya dia anggap gue anaknya atau bukan sih?"
"Udah Van." Ucap Pram lirih sambil mengelus-elus punggung Irvan.
"Kenapa sih gue harus ngejalanin hidup kayak gini."
"Ini udah Takdir Van."
"Takdir? Heh..."
"Mau nggak mau lo harus terima kenyataan ini Van."
"Kenapa kenyataan ini harus gue yang ngerasain sih."
"Udah Van sabar. Ini ujian hidup"
"Haaaaah......" Irvan berteriak sambil menjambak rambutnya sendiri.
"Sabar Van. Kita selalu ada buat lo kok. Kita bakal bantu lo buat dapat kebahagiaan hidup. Biar lo dapat rasa kasih sayang itu."
Setelah aku mengucapkan kalimat itu, emosi Irvan mulai mereda. Ia tersenyum pada kami. Yah meskipun senyuman itu menyembunyikan banyak rasa sakit.
"Makasih ya kalian. Kalian udah jadi sahabat baik gue." Tersenyum kecil.
"Biasa aja kali van. Udah seharusnya kita melakukan hal seperti ini." Ucap Pram.
"Iya Van." Sahut Arin.
Kemudian kami berempat pun saling berpelukan.
Inilah indahnya persahabatan.

Kami menghabiskan waktu cukup lama di taman ini.
Dan bel masuk pun sudah berbunyi. Kami mengakhiri perbincangan kami.
Kami pun berjalan menuju ruang kelas.
Selama berjalan menuju ruang kelas, aku masih berfikir tentang kehidupan yang Irvan alami saat ini. Aku benar-benar tidak menyangka jika sahabatku akan menjalani hidup yang seperti ini.

Gue nggak nyangka lo ngejalanin hidup kayak gini Van.
Pasti lo menderita banget. Sebagai anak, lo nggak dapet kasih sayang orang tua. Lo nggak dapet kebahagiaan bersama keluarga.
Tapi inilah kenyataan yang harus lo jalani. Lo harus menjalaninya Van. Lo juga nggak bisa kabur dari kenyataan yang udah jadi takdir hidup lo. Sebagai sahabat gue bakal bantu lo kok. Gue bakal selalu ada di samping lo saat lo sedih maupun bahagia. Gue bakal kasih lo kebahagiaan hidup sebagai ganti dari kebahagiaan lo bersama keluarga lo.
Gue bakal lakuin apapun buat lo Van. Buat sahabat gue.
Tetep Sabar dan tabah ya sahabat.


Hai readers. Maaf baru post.
Dan maaf ya kalo ceritanya sedikit.
Lagi nggk ada inspirasi.

~okazakiF~


Cinta diatas KebimbanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang