Prilly memapah sanca dengan susah payah memasuki rumah Ali, diiringi ringisan sanca yang tambah keras. Tidak apa-apa Sanca meringis bahkan berteriak, namun jika tidak ada papa Ali atau bahkan Dimas.Namun semua harapannya pupus, Dimas di sana, membaca buku tebal dengan segcangkir kopi diruang tamu, dan sekarang Dimas memincing melihatnya dan Sanca.
Prilly terengap gugup, dan Sanca meringis sekaligus ingin menghajar. Dimas bajingan itu, masalah besar.
"Waw, ada yang berdarah-darah," Ucapnya seolah shock berat hampir mati.
Buku tebal ditangan Dimas tertutup keras, dan Dimas mulai berdiri lalu melangkah perlahan, layaknya psikopat.
"Eem, Dimas, boleh itu, boleh Sanca beristirahat sebentar di sini?" Prilly menggerakan bola matanya ke segala arah,dan tanpa sadar Dimas sudah dihadapan mereka, dengan tatapan hitam yang tajam.
"Seseorang berdarah-darah ini- yang disebut sanca- boleh saja beristirahat sebentar disini."
Hampir saja Sanca akan mengeluarkan tinjuannya saat bajingan sialan Dimas menekan kata sebentar dengan kentara, tapi tersadarkan saat prilly meremas tangannya yang dipegangi gadis itu.
"Trimakasih"
Prilly melewati Dimas dengan masih memapah Sanca, mendudukan teman Ali itu di sofa perlahan. "Sanca, aku ambil obatnya dulu ya, kamu tunggu sebentar."
Sanca mengangguk, berusaha tersenyum "Trims Prill."
Dimas menyeringai melihat Prilly yang menghilang di ujung ruangan, lalu menatap Sanca yang juga menatapnya. Dimas kembali duduk di tempat awal, dihadapan Sanca.
"Masalah, lagi?" Tanyanya efektif.
"Dan ini seru, anyway!" Sanca hanya mendengus menang, saat Dimas berdecak kecil.
"Lo tau?" Dimas menepuk celana piama biru gelapnya dengan anggun, "Ketika lo di deket Ali, berarti masalah juga ada disekeliling lo. Dan gue sarankan-"
"Hah! Lo gak tau apa-apa tentang Ali, jadi tutup mulut besar lo yang sok bener itu."
"Mulut besar gue ini emang selalu benar, nyatanya, Ali gak bertanggung jawab sama temen-temen lo yang ditangkap polisi itu, mungkin-"
"Mungkin aja enggak!"
Seringaian langsung terbit di wajah Sanca melihat Ali berada di ambang pintu bersama yang lainnya, sedangkan Dimas mengepalkan tangganya marah.
Dengan segera dan tak mau berlama-lama, Dimas memutuskan untuk naik ke kamarnya. Namun sebelum sampai di ambang pintu ruangannya, dia merogoh ponsel di saku piama, lalu menelfon seseorang.
"Hallo, pah?!"
~•~•~•~•~•~•~•
"Wah, ada yang hampir mati!"
Tino berteriak, lalu menghempaskan dirinya di samping sanca yang melotot tajam karena Tino menyenggol bahu tertembaknya dengan sengaja.
Yang lainnya menggeplak kepala Sanca bergantian, tanda senang, mereka baik-baik saja.
Baik-baik saja setelah membuat pesta api, mengagumkan bukan?
Mungkin kantor polisi juga ikut terbakar, karena Bara juga membakar biodata semua penjahat sekaligus di meja dan komputer.
Woha, kerugian yang benar-benar besar!
"Prilly mana?"
Semuanya mendengus, hampir mati masih menanyakan Prilly.
KAMU SEDANG MEMBACA
He's My Bad Boy [End]
أدب المراهقينAku telah mengingkari segalanya. Menjadikan dia serpihan kecil di Istanaku, bukan permaisuri pangeran istana ku - Thofan Aranka Dari kisah Cinta Aliandra Aranka dan Prilly Violeta Thomas, semuanya terungkap. •°•°•°•°•°•°•°°•°...