40

4.6K 253 8
                                    

Sehari setelah pemakaman mama yura, bara dan bima bergantian berjaga di rumah sakit bram sudah sadar saat acara pemakaman usai. Tampak raut sedih kacau juga perasaan bersalah di wajahnya. Namun bima dan bara meyakinkan kakak tertuanya bahwa itu bukan salahnya. Bram perlahan sadar kini dirinya bukan harus menahan sedih dan duka terlalu lama. Bram harus bangkit dwmi adik-adiknya. Mereka masih kecil masih sekolah dan masih panjang kehidupan yg harus di bebankan padanya. Papanya koma mamanya sudah meninggal. Bram harus kuat dan bangkit menggantikan papa juga mama untuk adik-adiknya.

-bram pov-
Hancur. 1 kata itu yg sanggup menggambarkan perasaan gue saat ini. Tadi bukan maksud gue siang tadi gue dan adik-adik gue baru saja tertawa bersama mama sama papa tapi dalam sekejap semuanya berubah. Gue down gue nggak tau musti gimana. Bara bima juga dinda adik-adik gue. Mereka masih butuh mama di sampingnya. Bima bener gue musti sehat, gue musti kuat demi mereka. Perusahaan papa nggak boleh hancur. Gue musti handle untuk mereka. Dinda ?
Gue nggak tau. Gue belum sanggup ketemu dia, gue nggak tau musti ngomong apa ke dia. Dia adik perempuan gue satu-satunya yg paling membutuhkan mama. Gue nggak tau. Gue bingung. Gue takut kalo dinda nyalahin gue.

"Kak gimana kabar kakak ?" Bima

"Seperti yg lo lihat bim, kaki kakak masih belum bisa di gerakin"

"Seminggu lagi terapinya di mulaikan kan ?"

"Hm, dokter okta bilang begitu sih. Gimana dinda ?

"Kapan kakak jenguk dinda ?"

"Kakak nggak tau" ucap gue mengganti arah pandang gue ke kaca sebelah

"Dinda nanyain kakak terus, gue bingung kalo harus bohongin dia terus"

"Dinda udah tau kalo mama udah nggak ada ?"

"..." bima menggeleng sambil menunduk

"H'm lo udah makan bim ?"

"Nanti. Kakak udah makan ?"

"Bareng aja makannya ya ?"

"Kak bram makan aja duluan. Ato mau makan apa ? Biar bima beliin"

"Sini kamu" gue tepuk sisi kasur gue yang kosong. Bima berjalan mendekat lalu gue tarik bahunya dan gue peluk adik gue satu ini. Gue tau dia nahan sedih selama pemakaman mama.

"Hiks...hiks...hiks..." isak tangis bima
Nah kan bener. Adek gue satu ini bener-bener butuh gue sepertinya. Gue biarin dia nangis di bahu gue.

"Lo yg sabar ya bim. Kakak janji cepet sehat. Seminggu lagi kakak bakal ikut terapi biar cepet sehat trus gantiin papa. Soal dinda lo tenang aja. Nanti malam gue ke sana. Biar gue jelasin ke dinda. Kalo lo sedih tumpahin semuanya sekarang. Kakak minta maaf kemarin ngebiarin kalian sendirian ngurus pemakaman mama" bima menjawab rangkulannya di punggung gue. Gue ngerasa dia mengepalkan kedua tangannya di punggung gue dan isaknya semakin terdengar pilu. Bahu gue basah.

"Maafin kakak" gue belai punggungnya untuk menenangkannya. Bima menggeleng di bahu gue tanpa bicara. Anak ini kalo nangis emang nggak bisa bicara. Gue tambah sedih membayangkan dia dan bara kemarin yg mengurus pemakaman mama juga perasaan mereka saat bertemu dinda. Gue nggak bisa bayangin bagaimana susahnya mereka menghadapi dinda di balik fakta sesungguhnya.

"Tetep kuat ya bim. Lo harus kuat buat nyemangatin kakak" bima kembali mengangguk.

Jam sudah menunjukkan jam 3 sore bima tertidur di sofa ruangan gue.
Tok..tok

"Halo kak bram" budi

"Ye si oncom bukannya jagain malah tiduran. Bangun woy" didi

"Eng...." bima menggeliat

My Possesive Brother Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang