“Semua ini berawal dari.” Akhirnya aku membuka suara setelah beberapa hari membungkam mulut.Satu tahun yang lalu, beberapa hari itu setiap pulang sekolah aku selalu mendengar pertengkaran ayah dan ibu dari sebalik daun pintu kamar mereka. Apa yang mereka bicarakan? Aku tidak tahu. Aku mulai tak nyaman tinggal di rumah yang selalu mendengar teriakan mereka.
Esok paginya sebelum berangkat sekolah, seperti biasa aku berjalan ke meja makan dan membuka tudung saji. Apa yang aku lihat? Tidak seperti biasanya. Meja kosong melompong tak ada makanan, tak ada sarapan.
“Virman ini uang belanjamu.” Ucap ayahku tiba-tiba sambil meletakan selembar uang di atas meja dan berlalu pergi. Dua puluh ribu rupiah, cukuplah untuk makan pagi dan siang. Pikirku dengan menyunggingkan senyum ke sebelah kanan. Tak aku sia-siakan uang itu. uang tersimpan aman di saku baju bagian depan.
Tapi, ada seribu tanya di benakku. Dimana ibu? Biasanya ibu sudah menyiapkan makananku, sekarang kenapa tidak? Biasanya ibu yang memberiku uang, kini?
“Bu … bu … ibu …,” aku terus memanggil ibu dan berjalan menuju kamarnya namun tak ada sahutan dari ibu. Kreek, aku buka pintu kamar. Terkunci. Mungkin ibu keluar pikirku. Tanpa pikir panjang lagi aku langsung bertolak ke sekolah.
Sore datang lagi. Akan terdengar lagi pertengkaran. Akan terdengar lagi teriakan. Hmmmhuhh, aku menarik napas panjang dan menghembuskannya keluar. Aku buka pintu. Tak ada suara pertengkaran. Tak ada suara teriakan. Mata kepala menyisiri seluruh ruangan. Tak ada orang di rumah. Sepi. “Akhirnya rumah ini nyaman,” gumamku sambil melangkah santai ke lantai dua. Kamarku.
Setelah seragam sekolah berganti menjadi kaos oblong. Seperti biasa aku langsung menuju meja makan lagi. Melepas rasa lapar yang disebabkan pelajaran sekolah yang berjubel. Semua sudah menumpuk di kepala, rasanya berat, aku gak kuat.
Saat tudung saji aku buka, laparku semakin terasa. Ternyata, masih sama dengan pagi tadi. Masih belum ada makanan. Kriyuuuk … kriyuuuk …. Suara perutku memecah kesunyian. Laparku semakin menjadi. Aku ambil remote TV untuk mengalihkan perhatian agar rasa lapar ini terlupakan. Aku menunggu ayah datang atau ibu pulang dan berharap membawa ayam goreng KFC mmm … lezaaat. Aku merebahkan tubuh di sofa, terlentang. Tertidur dengan TV yang masih menyala.
Pukul 23.00 WIB, suara deru mesin mobil membangunkanku. Mataku menyipit. Melihat dari kaca jendela. Ada seorang wanita. Masih muda. Pakaian merah itu membentuk lekuk tubuh seksinya. Angin malam itu tak tahu malu. Terus saja membelai rambut panjang hitamnya. Wanita itu membopong seorang pria dengan jalan yang tak seimbang, kelihatannya ia merasa keberatan. Pria itu tertawa sendiri seperti orang gila. Mereka semakin mendekat. Ku kucek-kucek mata ini.
“Ayah!” Ternyata wanita itu membopong ayahku.
“Dek, bawa ayahmu masuk ke dalam,” kata wanita itu sambil memindahkan ayah ke pundakku.
Tanpa ada kata-kata lagi, ia berlalu pergi dengan mobil merahnya. “Uhh,” aku palingkan muka dari ayah sambil mengibaskan tangan ke mulutku. Mulut ayah berbau menyengat. Wajahnya terlihat merah. Terlihat sekali dibagian hidung, mata dan bibirnya. Apa ayah mabuk?. Baru kali ini aku melihat ayah seperti ini dan diantarkan wanita pula. Sementara ibu tak kunjung pulang.
Cahaya matahari belum terlihat, udara pagi masih terasa dingin. Mengigil. Terdengar gedoran pintu dari luar.
“Yah … yah … bangun yah,” aku menggerakan tubuhnya, namun ayah tak menghiraukanku.
“Ayah … bangun yah!” Aku guncang tubuh ayah sekali lagi.
“Apaan sih, ganggu orang tidur aja,” aku tersontak kaget. Baru kali ini ayah meneriakiku.