"Gimana, yakin kamu mau pergi?" Zahra masih meragukanku."Aku yakin, Ra. Lagian kan enggak baik mengabaikan undangan dari orang yang telah mengundang kita," jelasku pada Zahra.
"Ya, udah. Yuk berangkat!" ajak Zahra.
Aku langsung mengikuti langkah Zahra dari belakang. Kali ini ia memboncengku. Aku tidak menyangka Zahra sekencang ini mengandarai motor. Jilbab merahku meliuk-liuk diterpa angin. Satu dua motor begitu mudahnya disalib Zahra. Kadang debu jalanan tak segan-segan mengotori beningnya mataku. Matahari tepat sekali berada di atas kepala. Waktu yang pas untuk pergi kondangan dan mengisi perut yang keroncongan.
Setelah beberapa menit berada di atas sepeda motor yang membelah padatnya jalanan. Sampailah kami pada sebuah rumah yang telah disulap menjadi cantik. Memasuki gerbang berangkai bunga. Tak ketinggalan ada foto Aan dan istrinya dengan pose memegang tangan sebelum memasuki gerbang itu. Aku tak tahu apa yang terjadi? Yang aku tahu, ketika melihat foto itu hati ini meranggas.
"Ayo, Wen! Kok berhenti?" aku terkesiap mendengar suara Zahra.
"Emm ... ehh ... iya, yuk!" seruku dengan linglung.
Kami berjalan menuju hidangan makanan yang telah disediakan tuan rumah. Sama halnya dengan tamu-tamu undangan lainnya. Tersedia berbagai macam makanan. Ada Kalio Daging, Gulai Nangka, Ikan Goreng, Sambal Lado dan Buncis Rebus. Lengkap!
Setelah mengambil semua menu yang lezat itu, sedikit demi sedikit yang lama-lama menjadi bukit di piringku. Aku dan Zahra langsung menuju salah satu meja yang kosong.
"Wen, jangan dilihatin terus, makan dong!" Zahra membuyarkan lamunanku.
"Iya, Ra," jawabku datar.
Hatiku semakin meranggas melihat Aan dan istrinya bercengkrama mesra di tempat duduk persandingan. Apa aku pura-pura pingsan saja di sini, untuk menarik perhatian orang-orang? Tidak! Aku tak mau merusak hari bahagia Aan dan istrinya. Mungkin mereka sudah mempersiapkan acara ini sudah sejak lama. Menghabiskan waktu, tenaga dan uang. Teganya aku jika merusak acara mereka. Sekali lagi katakan tidak!
Makanan sudah siap disantap. Perut sudah kenyang. Hidangan semangka juga sudah ludes. Saatnya melaksanakan tradisi terakhir. Tradisi yang sangat menegangkan. Berfoto bersama kedua mempelai. Apakah hatiku yang telah meranggas akan kuat? Aku tak tahu. Yang aku tahu Zahra sudah memberikan kode untuk segera melaksanakan tradisi terakhir.
"Selamat ya, An!" kata itu mulus terucap dari mulutku sambil tersenyum kecut bagaikan asam.
Jepretan demi jepretan kamera dari tangan terampil 'fotografer' menjadi kenangan terakhirku bersama Aan. Berbagai macam gaya foto yang dilakukan. Mulai dari gaya formal. Tangan dilipat di depan bagaikan seorang putri. Sampai gaya bebas. Mengangkat sedikit salah satu kaki ke arah depan. Bagaikan ABG.
Sekarang Aan telah bahagia dengan istrinya. Aku tak bisa lagi mengharapkan Aan sebagai jodohku. Aku harus 'move on' dari Aan. Berjalan keluar dari rumah Aan. Berjalan keluar untuk mencari gebetan baru lagi. Kemana aku harus mencari? Saat ini, aku tak tahu. Yang aku tahu menata hati menemukan gebetan baru.
Dharmasraya, 04 April 2018.