"Kamu yakin mau pergi, Wen?" tanya Zahra meragukanku."Ini enggak berat, Ra. Aku kuat," jawabku meyakinkan Zahra.
Udangan resepsi pernikahan Aan dengan istrinya sudah sampai di rumahku. Mata ini belum bisa mengalihkan pandangannya. Melihat undangan yang tergeletak di atas meja tamu. Hati semakin teriris ketika foto mereka beradu pandang terpampang nyata. Kalau kata bang Ahmad Rifa'i Rif'an penulis buku 'Jomblo Sebelum Nikah' foto itu tidak berperikejombloan.
***
Aku menyukai Aan sejak pandangan pertama. Waktu itu...
"Ni, boleh kami pinjam tenda yang satunya sebentar? Soalnya tenda kami rusak," ucap seorang pemuda tampan yang memakai mantel.
Pertanyaan itu awal mulanya kami berkenalan. Pemuda tampan itu namanya Aan. Kulitnya sawo matang. Manis. Tubuhnya tinggi atletis. Tipe aku banget. Tanpa pikir panjang dan entah kenapa aku langsung mengeluarkan kata 'boleh'.
Hari itu dimulai acara 'Bumi Perkemahan' di Lubuk Karak. Sebuah desa yang indah. Terletak di ujung Dharmasraya. Lima jam waktu tempuh yang aku habiskan menuju desa itu dengan mengendarai sepeda motor. Sepeda motorku melaju lambat selain alasan ada beban satu orang di belakangku yang duduk manis. Zahra. Jalannya berkelok-kelok dan berbatu-batu. Kadang debu masuk ke mata yang membuat konsentrasiku rusak. Alasan ketiga kami tidak mengetahui lokasi pastinya. Jadilah kami dua orang penguntit mobil Truk yang ada di depan. Kami yakin supir Truk itu tahu lokasinya.
Tak lama berselang. Supir mobil Truk itu melambaikan tangannya. Kenapa supir itu melambaikan tangan padaku? Apa ia suka padaku? Bukan. Ia memberi kode untuk mempersilakan kami melewati Truknya.
Sial!
Sok penuh percaya diri aku langsung menambah putaran gas sepeda motor. Kini mobil Truk jauh tertinggal di belakang. Jadilah kami dua orang yang kebingungan di tengah hutan. Huhhh.
Sampai ada sebuah warung di pertigaan.
"Misi, Da. Jalan ke Lubuk Karak mana, ya?" tanyaku pada orang penjaga warung.
"Oh, lurus saja, Ni. Tapi hati-hati, Ni. Jalannya semakin berbahaya. Batu-batunya semakin besar-besar dan jalannya banyak yang berlobang," balas penjaga warung.
'Ihhh, orang ini bukannya menjawab lurus atau belok saja tapi juga mengatakan hal-hal yang membuat tambah cemas,' aku membatin.
Setelah mendengarkan penjelasan penjaga warung yang mengerikan itu, aku dan Zahra langsung tancap gas. Akhirnya sampai di lokasi 'Bumi Perkemahan'. Tenda-tenda sudah mulai berdiri sempurna. Tak kalah juga dengan tenda para pedagang sate, bakso, minuman dan lain-lain. Setelah lama menyusuri tenda demi tenda akhirnya terlihat gapura yang bertuliskan Darah Petak. Ternyata tenda telah berdiri kokoh berkat tangan-tangan terampil teman-teman yang datang duluan. Jadi tinggal duduk manis saja lagi dalam tenda. Senangnya.
Sore semakin menjelang. Awan hitam mulai bergulung-gulung. Mulanya hanya rintik-rintik hujan yang tiada menderas. Akhirnya berubah menjadi guyuran hujan yang sangat lebat.
Daaarrr... "Hah!" aku terkejut setengah mati. Sebuah bunyi dentaman yang sangat kuat berasal dari luar. Tenda panggung sebelah roboh. Seorang pemuda langsung menuju ke arahku. Itulah Aan. Kebetulan sekali kami mendirikan dua tenda.
Semalaman hanya meringkuk di dalam tenda. Tak bisa keluar. Untungnya lokasi kami sangat strategis. Tanahnya tinggi. Bebas banjir. Tenda kami juga Alhamdulillah kokoh.
Subuh menjelang. Hujan telah reda. Meninggalkan jejak pada rumput-rumput yang basah. Berwuduk dengan air seadanya. Kalau pergi ke sungai takut. Masih gelap. Dingin menyergap seluruh tubuh. Menusuk sampai ke tulang-tulang.
"Ra ... Bangun! Dasar pemalas," ucapku kesal pada Zahra yang masih meringkuk dalam selimut.
"Emmm ... udah pagi, ya," katanya sambil mengucek mata.
"Udah ... yuk mandi!" ajakku sambil menarik tangannya dengan paksa.
Langkah gontai Zahra mengiringi langkahku menuju sungai.
"Wah!"
Sepatah kata yang terucap dari mulutku. Menggambarkan keindahan alam. Perjalanan kemarin terbayar sudah dengan melihat jernihnya air sungai. Sepertinya belum terjamah manusia. Bebatuan terlihat jelas dari atas air. Perbukitan hijau memesona. Beda dengan sungai dekat rumahku. Airnya keruh karena manusia yang rakus. Mencari emas tiada henti dengan mesin-mesin raksasanya. Gaungan suara mesin itu juga sangat menyiksa telinga.
Hari ini kegiatannya 'Penjelajahan Alam'. Informasi yang membuat hatiku sangat bergembira dan berbunga-bunga. Apa coba? Aku satu tim dengan Aan. Asyik!
Aan terlihat gagah sebagai pemandu jalan. Jalan yang licin dan berkelok-kelok. Melewati aliran sungai. Bahkan berjalan di dalam sungai. Basah dari pinggang ke bawah tak terelakan. Namun, perjuangan ini terbayar sudah dengan melihat keindahan air terjun tiga tingakat. Indah sekali.
Hari semakin sore. Aan kembali memandu perjalanan pulang. Setelah berpuas diri mandi-mandi dan berfoto-foto di bawah dinginnya air terjun.
"Aww!" tiba-tiba aku terpeleset.
"Kamu tidak apa-apa, Wen? Mana yang sakit?" tanya Aan yang langsung menuju ke arahku. Aku semakin deg-degan. Rasanya waktu berhenti seketika. Benar-benar calon suami idaman yang siap siaga. Ujar Batinku.
"Duh! Kakiku kayaknya keseleo deh, An. Kayaknya nggak bisa jalan," ucapku pada Aan.
"Ya udah. Aku gendong, ya!" balas Aan.
"Iya," jawabku sambil mengangguk. Berupaya dengan sikap senormal mungkin. Padahal dalam hati senangnya bukan kepalang.
Kenangan termanis bersama Aan.
Dharmasraya, 03 April 2018.