Sudah dua hari, belum juga ada tanda-tanda Rahmah akan bangun dari koma. Bantuan infuslah ia bisa bertahan sampai saat ini. Aku pegang tangannya dengan lembut dan memandangi wajahnya lekat-lekat.
‘Aku juga menyukaimu, Ra. Aku ingin menjadi suamimu,’ lirihku dengan linangan air mata.
Sekawanan burung terbang mengitari pepohonan. Sebentar kemudian, berloncatan di dahan-dahan. Sebab, saatnyalah mereka kembali ke sarang sesenja begini. Di atas, langit berwarna kelam. Awan hitam bergerak ke timur searah embusan angin bulan September. Ketika aku perlahan memacu mobil di jalan yang basah dan licin itu.
Aku merasa sangat lelah, sebab seharian bekerja. Tugas rutin, membosankan, tanpa variasi, dilanjutkan dengan perjalanan panjang Jakarta-Padang. Maka malam ini, malam panjang kata anak-anak muda, tapi bagiku sama saja dengan malam-malam kemarin. Bahkan sebagaimana kebiasaaanku begitu sampai di rumah langsung mengambil posisi horizontal. Tertidur.
Berjejal lamunanku yang bersileweran bagai dedaunan yang gugur melayang-layang ditiup angin sore itu mendadak buyar. Sialan, seseorang tiba-tiba memberhentikanku. Wanita, masih muda. Aku pun buru-buru meminggirkan mobil.
“Ada yang harus saya bantu, Ni?” Tanyaku heran. Remang-remang begini, mengapa ada wanita cantik keluyuran di pinggir jalan? Wanita tunasusilakah dia? Ataukah jin gentayangan yang mencari mangsa?
Aku masih ingin meneruskan pertanyaan yang berkecamuk di otak ini. Tapi, wanita muda itu segera memotong.
“Maaf, kalau saya merepotkan.”
“Oh…, tidak!” Sahutku, seperti orang salah tingkah.
“Ban motor saya bocor. Adakah bengkel sekitar sini?” Tanya sang wanita.
“Ada, Ni. Di sana! Tunjukku mengarah ke sudut jauh. “Tapi hanya bengkel sepeda.”
“Wah!”
Hanya sepatah saja kata yang sanggup terucap. Selebihnya, wanita muda itu hanya menunduk. Aku melihatnya muncul niatan di hati untuk segera membantu. Aku langsung mengambil sebuah ponsel dan segera menelepon seorang teman pemilik bengkel motor di kota ini.
Tak lama setelah itu, temanku datang. Ia mengatakan motornya besok baru bisa diperbaiki dan membawa kendaraan itu dengan keterampilan yang ia punya. Aku tawarkan bantuan untuk mengantarnya pulang.
Hari itu aku berkenalan dengan Rahmah. Ia seorang dosen yang mengajar di Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA) Prayoga di Jalan Veteran, Padang. Aku berikan jaketku padanya yang terlihat kedinginan.
“Panggil aku Faiz,” kataku. “Saya lahir di kota ini tapi bekerja di Jakarta, kalau tidak tugas ya pulang kampung seperti saat ini,” ungkapku santai.
Setelah kejadian itu kami sering berkomunikasi. Kadang Rahmah juga meneleponku. Aku semakin mengenalnya, juga mengenal beberapa orang temannya.
“Dia besar di Panti Asuhan.”
“Iya, ayah ibunya sudah tak ada.”
“Rahmah mencari tambahan uang dari mengajar les privat untuk membantu biaya hidup adik-adiknya di panti.”
Begitu kata beberapa orang yang mengenalnya.
Aku menganggap Rahmah sebagai sahabat yang baik. Tapi Thoriq, temanku yang memperbaiki motor Rahmah tak percaya.
“Mungkin kau suka padanya?” katanya mencoba membaca perasaanku.
“Ah, apa iya?” ungkapku ragu.
Sudah satu minggu aku di sini. Tadinya ingin pamitan dengan Rahmah melalui telepon saja. Namun, aku putuskan menemuinya.
‘Rahmah, setelah makan siang temui aku di tempat biasa, ya. Penting!” kukirim pesan singkat pada Rahmah.