“Nia, Akmal serius ingin melamarmu untuk menjadi istrinya. Apakah kamu bersedia?” dua orang perwakilan pihak keluarga Akmal bertanya padaku. Aku menatap mata ibu dan kami saling berpandangan seketika.Akmal adalah seorang pemuda tampan, mapan, berpendidikan dan dari keluarga terpandang di kampung kami. Sungguh beruntung orang yang dapat menjadi istrinya. Namun, bagiku ada dilema. Kalau aku menerima lamaran Akmal yang diwakilkan keluarganya, bagaimana dengan Dani?
Dani, merupakan pria yang sangat ku cintai. Kami sudah pacaran semenjak duduk di bangku sekolah menengah atas. Lima tahun sudah aku lalui suka dan duka bersamanya. Tapi, sayangnya ketika aku mengisyaratkannya untuk hidup bersama dalam ikatan suci, ia selalu mengelak. Banyak alasan yang keluar dari mulutnya. Ingin mencari modal dulu lah. Ingin serius dalam pekerjaan dulu lah dan lain sebagainya.
Ibuku menggenggam tanganku erat. Sebagai tanda untukku agar menerima lamaran dari keluarga Akmal. Aku mengangguk pelan, pertanda setuju. Dengan mata berbinar dan perasaan penuh bahagia keluarga Akmal pamitan denganku dan ibu.
“Nia, mulai detik ini kamu harus menyelesaikan urusanmu dengan si Dani itu,” ucap ibuku yang memang dari dulu tidak menyukai hubunganku Dani.
“Baik, Bu,” jawabku patuh.
Kemudian aku masuk kamar. Mengunci pintu. Mengempaskan diri di kasur. Menatap lamat-lamat langit-langit kamar. Aku menoleh ke kanan melirik HP androidku dan langsung mengambilnya. Jemariku langsung refleks mencari nama Dani.
Tit… tit… bunyi suara telepon telah tersambung ke ponsel Dani.
“Halo, Nia,” suara laki-laki terdengar jelas di ujung telepon. Jelas itu suara yang sangat ku kenal dan sangat ku rindukan. Dani.
“Assalamualaikum, Dani,” suaraku tercekat.
“Walaikumsalam, Nia ada apa?” tanya Dani penuh penasaran.
Aku terdiam. Mataku nanar. Buliran bening yang menggelantung di ujung bulu mataku ini tak sanggup lagi aku tahan. Hingga bercucuran membasahi pipi. Aku menutup mulut dengan telapak tangan, menahan isak tangis agar tidak terdengar Dani.
“Halo, Nia kamu masih di sana? Suara Dani mengagetkanku.
“Ya, Dani masih,” jawabku berusaha berbicara tanpa terjadi apa-apa. “Dani,” ucapku lagi.
“Ya, Nia,” jawab Dani lembut.
“Mungkin ini pembicaraan kita yang terakhir,” tangisku pecah seketika yang tak bisa lagi aku sembunyikan dari Dani.
“Nia … maksudmu apa? Hei, Sayang ada apa? Kenapa kamu bicara seperti itu?” tanya Dani bertubi-tubi.
“Dani, aku serius,” suaraku mulai tegas. “Dani, terima kasih selama ini kamu sudah menemaniku dalam suka dan duka. Mungkin kita tidak bisa bersama. Aku doakan kamu mendapatkan wanita yang lebih baik dariku,” tambahku dengan cucuran air mata yang tak bisa lagi dibendung.
“Nia, kamu bicara apa sih. Aku tidak paham?,” tutur Dani yang mulai meninggikan suaranya.
“Dani, selama ini aku sering mengajakmu untuk hidup bersama. Tapi, nyatanya kamu selalu mengelak. Aku sudah muak dengan semua ini. aku tak tahan lagi. Lebih baik kita pisah,” balasku mencari-cari alasan.
“Nia, ini semua masih bisa kita bicarakan baik-baik. Tidak harus berpisah seperti ini,” ujar Dani meyakinkanku.
“Tidak, Dani. Keputusanku sudah bulat,” jawabku tegas. Tit…tit…telepon langsung kututup.