Kenapa aku dilahirkan dari keluarga ini? teriak batinku. Pergi kerumah ayah bertemu dengan ibu tiri. Pergi kerumah ibu bersua dengan ayah tiri. Ditambah lagi keluarga ayah tiada yang menyukaiku. Aku tak tahan lagi dengan semua ini.‘Abrar, kamu masih muda, pergilah kemana pun yang kamu inginkan.’
Tiba-tiba aku mendengar suara yang tak tau dari mana asalnya. Tapi, tidak tahu kenapa suara itu sangat mendorong diri ini melangkah sejauh mungkin meninggalkan tempat ini. meninggalkan rumah ini. meninggalkan kenangan-kenangan pahit ini. Juga, meninggalkan desa kelahiran. Desa yang memiliki keindahan danau dan dikelilingi bukit-bukit curam serta hutan lebat. Jika melihat ke airnya akan tampak birunya langit serta awan berarak yang menghiasinya. Akan tampak wajah seperti terlihat di cermin. Begintu indah.
Tanpa sepengetahuan ayah aku pergi, dengan berbekal dua helai baju dalam tas sandang di belakang, aku menumpang sebuah kendaraan menuju pulau jawa. Siang dan malam telah berganti aku sampai di Yogyakarta. Yogyakarta, sebenarnya bukan kota yang asing bagiku. Bermodalkan pengalamanku tiga tahun menimba ilmu di sini empat tahun tahun yang lalu, aku cukup mengenal kota ini dan memiliki bebrapa orang kenalan.
Satu bulan di kota ini, setelah menemui beberapa kenalan dan mencari pekerjaan, akhirnya pekerjaan untuk menyambung hidup aku dapatkan. Ya, sebuah perusahaan percetakan. Kehidupanku mulai berjalan normal. Aku larut dalam pekerjaan. Hingga tidak terasa waktu satu tahun sudah telah kuhabiskan di sini.
Hari ini perusahaanku membentuk satu tim untuk menulis perjalanan haji. Tim yang terdiri dari lima orang itu salah satunya adalah aku. Kesempatan langka ini tidak kami sia-siakan. Kami bergelar haji sepulang dari tanah suci. Makkah.
Perusahaan memberikan kami cuti beberapa hari setelah melaksanakan pekerjaan. Peluang ini aku manfaatkan untuk pulang menemui ayah, ibu. Tidak tahu kenapa aku sangat merindukan mereka.
Sampai di rumah aku tak menyangka disambut haru oleh ayah. Ternyata, ayah telah mengetahui aku baru pulang dari Makkah. Bahkan ayah juga mengetahui selama ini au di tanah Jawa dan bekerja di Yogyakarta. Ayah mengeahui itu semua dari pamanku. Yusuf. Ya, aku sering berkomunikasi dengan pamanku selama kabur dari rumah.
***
Kami berjalan berdua menuju masjid untuk melaksanakan sholat jum’at.
“Ini perkenalkan anak saya baru pulang dari Makkah, Haji Abrar,” ayah memperkenalkanku pada setiap orang yang bertemu di jalan.
Begitu bangganya ia memperkenalkanku yang sudah mendapatkan gelar haji dengan usia yang masih muda.
Beberapa hari setelah berada di kampung. Pamanku mengajak bicara empat mata.
“Ab, selama ini ayahmu sering murung, sering bersedih semenjak kepergianmu begitu saja,” ucap paman. “Kepulanganmu membuatnya bahagia, oleh karena itu senangkanlah hati ayahmu,” tambah paman.
“Bagaimana cara saya menyenangi ayah paman?” Tanyaku yang belum memahami maksudnya.
“Engkau harus kawin, ayahmu senang bila mempunyai menantu,” jawab paman. “Abrar, sebenarnya kamu sudah ditunangkan,” lanjut paman.
“Apa paman, sudah ditunangkan? Dengan siapa?” Tanyaku penuh penasaran.
“Ya, namanya Nurul, anak kepala desa kampung sebelah, senangkan hati ayahmu, Abrar!” Ucap paman sambil menepuk pundakku.
Lama aku berpikir. Berpikir dan berpikir. Melaksanakan sholat tahajut dan istikhorah. Setelah lama berpikir, akhirnya aku menerima perjodohan ini dan meminang Nurul.
End.