Sudah aku khatamkan buku Rantau 1 Muara. Trilogi ketiga dari buku Negeri 5 Menara. Karangan penulis berdarah Minang, A. Fuadi. Buku yang menceritakan kisah kehidupan Alif Fikri yang luar biasa. Mulai dari keberhasilannya meraih impian mengelilingi separuh dunia sampai kesulitannya mendapatkan pekerjaan.
Dari kisah Alif ini, aku teringat khayalan masa kecil. Keliling dunia. Hah! Apakah mungkin sekarang? Jangankan keliling dunia, mengelilingi separuh indonesia saja belum. Ah! Kenapa aku jadi manusia pesimis begini. Tidak bersyukur dengan apa yang ada. Astaghfirullah!
"Hei, Wen! Melamun aja. Nanti kesambet loh!" Suara Zahra membuatku terkesiap.
"Eh, Ra! Sejak kapan kamu datang? Tanyaku sekenanya sambil menutup novel yang masih terbuka.
"Barusan." jawab Zahra pendek yang sudah duduk manis di depanku.
"Apa yang kamu lamunin sih, Wen? tanya Zahra kembali.
"Oh, ini. Aku barusan baca novelnya A. Fuadi. Pertanyaan yang paling mengena padaku, apakah sudah bahagia? Apa arti hidup?. Menjadi pertanyaanku juga saat ini. Apakah aku sudah bahagia? Apa arti hidupku saat ini? Mungkin aku juga menjawab seperti Dinara. Kalau ditanya bahagia, aku bahagia. Tapi, mungkin aku bisa lebih bahagia. Kalau ditanya arti hidupku. Mmm ... aku masih ragu menjawabnya." jelasku sambil menghela napas.
Aku melihat ke arah Zahra yang mengangguk-angguk sok paham dengan penjelasanku.
"Ra, apa kamu tidak memikirkan masa depan? tanyaku pada Zahra untuk menyamakan persepsi.
"Masa depan? kata Zahra bingung.
"Iya, masak kamu mau jomblo terus!" celetukku pada Zahra.
"Wen, jodoh itu ditangan Tuhan. Kamu masih ingatkan kalau manusia itu diciptakan berpasang-pasangan. Jadi, enggak usah terlalu dipikirkanlah, yang penting terus memperbaiki diri menjadi lebih baik! ungkap Zahra panjang lebar.
Waduh! Tiba-tiba aku dapat ceramah singkat dari Zahra.
"Oh ya, ngomong-ngomong kamu ngapain ke sini, Ra? tanyaku membelokan pembicaraan.
"Oh, aku mau ngasih ini," ujar Zahra sambil memberikan kertas tipis dalam plastik bening.
"Hah, undangan pernikahan Roza?" aku kaget melihat undangan pernikahan Roza. teman kuliah yang sangat anti pacaran. Bahkan setahuku teman laki-lakinya tidak banyak. Aku tidak menyangka ia akan menikah minggu depan. Semakin bertambah saja daftar teman-teman yang melepas masa lajangnya.
"Yah begitulah jodoh, Wen. Kita tidak menyangka sama sekali. Jika Tuhan sudah berkehendak semua bisa terjadi." ungkap Zahra.
Aku sandarkan punggung ke dinding sofa. Mata menatap ke langit-langit rumah. Suasana menjadi hening.
"Ra, aku iri deh sama kisah cinta Dinara dan Alif," suraku memecah hening.
"Hmmm ... Wen! Kamu belum lupakan kata-kata Tere Liye, penulis kesukaan kamu itu. Kamu dengan lantang menyebutkan padaku, dua minggu lalu. 'Jangan iri dengan kisah cinta yang ada di novel, karena itu rekaan manusia semata'." jelas Zahra yang menaikan nada suaranya beberapa oktaf.
"Hmm ... iya sih. Tapi, prakteknya susah banget, Ra," ujarku dengan memelas.
"Kamu sabar aja, Wen. Jodoh akan datang tepat pada waktunya kok," ungkap Zahra mencoba menyemangatiku.
Apa aku sudah menjadi korban sebuah novel? Aku tak tahu. Saat ini yang aku tahu, perasaanku iri pada kisah-kasih sayang Alif dan Dinara. Kisah-kasih yang berlabuh pada ikatan suci. Ikatan yang selalu diidamkan jomblowati seperti aku. Huhh!
Dharmasraya, 09/04/2018.
