Aku sedang merapikan beberapa lembar nota belanja dan menyalinnya ke dalam buku pengeluaran, ketika lonceng di atas pintu berdenting nyaring. Pelanggan pertama hari ini telah datang, lelaki berjaket kulit hitam. Dia berperawakan tinggi tegap. Tampak gagah dengan kumis dan cambang yang menghias rahangnya. Sayang, wajahnya tampak kuyu, seolah tidak tidur semalaman. Mata cokelatnya pun redup. Dan rambut yang sedikit berantakan membuat penampilannya semrawut. Andai penampilannya lebih rapi, pasti dia sangat menarik.
"Gunaydın." Lelaki itu mengucapkan selamat pagi dengan nada dingin. Senyumnya kaku, jelas sekali dia terpaksa melakukannya.
"Gunaydın," sahutku dengan nada ramah,"hoş geldiniz."
Setelah memesan segelas çay, lelaki itu berlalu menuju meja di sudut kedai, sebelah kiri..
"Mehmed, buatkan segelas çay untuknya!" Aku berkata pada pegawaiku.
"Tamam, Abla." Dengan cekatan Mehmed mengisi çaydanlık dengan air, lalu meletakkannya di atas nyala api. Setelah mendidih, ia menambahkan air dan sesendok çay ke dalam çaydanlık bagian atas, menunggunya hingga mendidih, kemudian menuangkannya ke dalam gelas tulip.
Kedaiku tidak terlalu luas. Dari pantry, aku bisa memperhatikan lelaki itu secara diam-diam. Tampak ia sedang berpikir. Entah seseorang atau sesuatu, yang pasti itu membuatnya sangat sedih. Dia menyandarkan punggungnya diiringi helaan napas. Sesekali dia mengusap wajah dengan kedua tangannya, lalu mempertemukan telapak tangan, menempatkan dua jempol di bawah dagu dan keempat jari lain di depan hidungnya yang runcing.
Çay yang diantarkan Mehmed hanya diteguknya sekali, selanjutnya dia hanya menyendoknya, lalu mengucurkannya lagi ke dalam gelas. Berkali-kali seperti itu, hingga gawainya berbunyi. Tergesa dia merogoh saku jaketnya, namun gawai itu hanya dibiarkan begitu saja di samping gelas.
Bersamaan dengan itu, beberapa orang memasuki kedai. Perhatianku teralih karena harus bolak-balik ke dapur, membantu menyiapkan pesanan. Hari ini Firuse tidak masuk sehingga Mehmed kerepotan sendiri di dapur. Saat bisa kembali duduk, meja di sudut itu sudah kosong. Lelaki itu meninggalkan selembar uang di bawah gelas çay yang tidak dihabiskannya.
Lonceng di atas pintu kembali berdenting saat wanita berambut panjang membuka pintu. Wajahnya terasa familiar, namun aku lupa pernah bertemu di mana dengannya. Atau mungkin saja dia sudah berkali-kali datang kemari.
Sangat cantik, itu kesanku padanya. Sayangnya, kecantikan itu tertutup mendung. Meski tersenyum saat menjawab sapaanku, dia tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Sama seperti lelaki berjaket kulit tadi, mata hazel perempuan ini juga redup. Setelah memesan kahve, baklava, sütlaç dan beberapa jenis makanan manis, dia berlalu menuju meja di sudut. Ah, lagi-lagi sama dengan lelaki tadi.
Selama menunggu pesanan datang, mata cantiknya mengawasi lalu-lalang orang dan kendaraan di luar kedai melalui kaca. Alis lebat di atas mata indahnya tampak bertaut. Tangannya sesekali menyibak rambut gelombangnya yang jatuh menutupi wajah saat dia menunduk.
Pandanganku beralih pada pengunjung lain yang sedang menikmati pesanan masing-masing. Tak ada yang semurung perempuan yang sedang menghirup aroma kahve dengan mata terpenjam. Setelah menghabiskan baklava, kini dia beralih pada sütlaç. Setiap suapan dilakukannya dengan cepat, semakin cepat lagi, hingga kemudian terhenti. Dia menunduk dengan bahu berguncang. Rambutnya yang terurai indah jatuh menutupi wajah. Aku tak bisa melihat raut mukanya, tapi guncangan bahu yang semakin kencang itu membuatku yakin dia sedang menangis.
Ada apa dengan perempuan ini? Ada apa pula dengan lelaki tadi? Berselang setengah jam, mereka memasuki kedaiku di hari yang sama dengan wajah muram. Apakah hanya kebetulan? Mungkinkah mereka saling mengenal?
Andai saja berpasangan, aku yakin secara fisik mereka terlihat serasi, tinggi tegap dan semampai. Tampan dan cantik. Apalagi kalau wajah-wajah itu tidak tersaput kepedihan.
"Ada apa dengan perempuan itu, Abla?" Di antara kesibukannya, ternyata Mehmed juga memperhatikan perempuan itu.
"Bilmiyorum," jawabku dengan bahu terangkat.
"Kenapa nggak kau temui, Abla? Mungkin dia membutuhkan bantuan," katanya sebelum mengantarkan sepiring menemen, roti dan yoghurt pada pengunjung yang duduk di meja luar.
Ucapan Mehmed ada benarnya juga, tapi ... tidak, aku tak mau dianggap mencampuri urusannya. Aku mencoba sibuk dengan catatan bahan-bahan makanan yang habis, sambil sesekali melirik ke arahnya. Tangisnya tampak semakin dalam. Kedua tangan dia tempatkan di depan dada, seolah merasakan kesakitan luar biasa. Kalau saja ada pengunjung lain di dekat mejanya, pastilah dia sudah menjadi pusat perhatian.
Aku baru hendak melangkah ketika perempuan itu menyibak rambutnya. Jari-jari lentik dengan cat kuku warna cokelat itu tergesa menyeka pipinya yang basah. Cuping hidungnya tampak merah. Tangannya merogoh saku long blazer kulit yang dikenakan, lalu meletakkan lembaran uang di bawah gelas kahve. Wajah tirus itu memucat saat berbicara dengan seseorang melalui gawai. Dia tetap menempelkan gawainya di telinga ketika meninggalkan kedai. Di luar, dia masih menelepon sambil mengedarkan pandang ke seluruh arah, ketakutan.
"Ahmed Denizer ditemukan tewas dini hari tadi, Abla," seru Mehmed. Matanya mengarah pada layar televisi yang kupasang di dinding. Tampak reporter perempuan sedang melaporkan berita tersebut di tempat kejadian.
Seluruh Istanbul mengenal Ahmed Denizer. Dia adalah pemilik Denizer Holding, perusahaan ekspor-import permata dan perhiasan. Tak hanya di kota ini, perusahaannya merambah ke Roma, Italia. Sepak-terjangnya dalam bisnis selalu menjadi sorotan media. Begitu pula dengan kehidupan keluarganya. Zerin Denizer, istrinya dan ketiga putrinya, Asli, Elif dan Nilufer. Di antara ketiga putrinya itu, Elif disebut-sebut yang paling berbakat meneruskan jejak sang ayah sebagai pengusaha.
"Bukankah itu perempuan yang tadi ke sini, Abla?" seru Mehmed saat tayangan di televisi memutar ulang liputan tiga jam sebelumnya. Tepatnya ketika salah seorang keluarga Denizer tiba di kantor polisi. Kamera memperlihatkan perempuan tinggi semampai terbalut long blazer kulit yang baru turun dari mobil. Dia bergegas memasuki kantor polisi tanpa mempedulikan kerumunan wartawan yang menyambut dengan sorotan kamera dan berbagai pertanyaan. Rambut gelombang itu terurai menutupi sebagian wajahnya. Kacamata hitam yang ia kenakan tak mampu menyamarkan identitasnya. Elif Denizer, yang tadi menangis di meja sudut kedaiku ini.
Baru kuingat, tadi malam dalam acara "Breaking News" ada pemberitaan tentang pesta ulang tahun kejutan bagi Elif Denizer yang baru pulang dari Roma. Pantas saja tadi dia sangat bersedih, karena tepat di usianya yang ke-31, ayahnya ditemukan tewas tertembak dalam mobil bersama perempuan muda. Citra keluarga bahagia yang selama ini dimiliki hancur sudah. Lihatlah, bagaimana televisi memberitakan keluarga Denizer pagi ini.
"Kau lihat lelaki itu, Mehmed?" Aku menunjuk layar televisi.
"Ada banyak lelaki di sana, Abla," protes Mehmed.
"Lelaki berjaket kulit yang keluar dari kantor polisi, bersamaan ketika Elif masuk," kataku mencoba menjelaskan lelaki yang kumaksud. "Kalau nggak terhalang polisi yang mengawal Elif, mereka akan berpapasan. Lelaki itu juga tadi ke sini."
"Oh iya, benar. Itu lelaki yang tadi sangat sedih dan berantakan," cetus Mehmed sambil memandangku. Kurasa pegawaiku ini dalam benaknya memiliki pertanyaan yang sama denganku, apakah Elif dan lelaki itu berada di kantor polisi untuk kasus yang sama?
*********************************************
Keterangan :
*gunaydın : selamat pagi
*hoş geldiniz : senang kamu datang
*tamam : baiklah
*abla : kakak (untuk perempuan)
*çay : teh Turki
*çaydanlık : tekoo bertingkat dua berbahan keramik atau sejenis almunium untuk mendidihkan teh
*kahve : kopi Turki
*sütlaç : puding susu
*bilmiyorum : aku tidak tahu
*menemen : makanan Turki sejenis telur orak-arik dengan campuran sayur
KAMU SEDANG MEMBACA
DI BAWAH LANGIT ISTANBUL
FanfictionElif Denizer, jewelry designer yang menetap di Roma, pulang ke Istanbul di hari ulang tahunnya. Omer Demir, pulang ke Istanbul dari tempatnya bertugas sebagai polisi untuk bertunangan dengan kekasihnya. Keduanya bertemu karena orang yang mereka cint...