ELIF DENIZER

1K 53 1
                                    

Ketiganya tampak terkejut saat kami memasuki kedai. Sesaat mereka saling pandang, lalu salah seorang di antara mereka menyambut dengan ucapan selamat datang. Surat kabar di atas meja pantry menjawab keherananku. Rupanya mereka mengenali kami, dan mungkin mengikuti pemberitaan tentang kasus itu. Seluruh Istanbul mengetahuinya.

"Pesanannya akan segera kami antar," kata perempuan berambut ikal setelah mencatat pesananku. Sementara kedua temannya melayani pelanggan lain yang masuk beberapa saat setelahku.

"Oya, saya pesan simit juga," cetus Omer yang sejak tadi berdiri di belakangku.

"Tamam." Perempuan itu mengangguk, menambahkan simit ke dalam daftar pesanan.

Aku berlalu menuju meja di sudut kiri kedai, menghampiri Omer yang sudah terlebih dahulu berada di sana. Iya, aku sekarang sedang bersama Omer Demir, tunangan dari perempuan yang tewas bersama ayahku.

Surat kabar pagi ini memuat foto kami sebagai sepasang kekasih. Tentu saja itu tidak benar. Aku dan Omer hanya kekasih pura-pura. Bagaimana mungkin aku bisa jatuh cinta dalam situasi seperti sekarang. Sejak putus lima tahun lalu, aku tidak pernah berhubungan lagi dengan siapapun. Bukan karena tidak bisa move on, tapi cinta memang bukan prioritas dalam hidupku.

"Seorang Elif Denizer mau makan siang di kedai seperti ini," ucap Omer membuat mataku terbeliak.

"Memangnya kenapa dengan kedai ini?" Aku mengedarkan pandang ke seluruh ruangan. Ini adalah kali kedua aku mampir, tapi baru benar-benar memperhatikan keadaannya kali ini.

Kedai ini kecil tapi bersih dan nyaman. Hanya ada delapan set meja, salah satunya yang kini kutempati. Meja pantry di tempatkan lurus dengan pintu masuk. Di samping kirinya terdapat etalase kecil berisi simit, baklava, ekmek, dan makanan lainnya. Beberapa hiasan menempel di dinding. Juga ada rak kayu berisi buku tak jauh dari tempat dudukku.

Seperti kebanyakan kedai di Turki, ada beberapa meja juga yang ditempatkan di selasar dan halaman. Beberapa pot bunga tulip ditempatkan dalam rangka besi, di antara meja yang satu dengan yang lainnya.

"Aku kira kau hanya mau makan di restoran mewah," tuduh Omer sambil menyandarkan punggungnya ke kursi.

"Allah, Allah, kalau begitu kau tidak mengenalku, Inspektur Omer Demir." Aku menatapnya kesal. Lelaki itu menyeringai sambil menggeser cangkir kahve ke hadapanku.

"Çok sağol," ucap Omer pada si pramusaji. Dia memasukan gula batu ke dalam çay, lalu mengaduknya. "Tentu saja aku mengenalmu, Tuan Putri," sambungnya kemudian setelah si pamusaji berlalu.

"Kau hanya mengenalku melalui internet, televisi dan surat kabar," protesku seraya mengambil cangkir, lalu menghirup aroma kahve.

"Akui saja kalau kau terpesona olehku di acara makan malam kemarin," katanya jumawa. "Aku bahkan tahu hal-hal yang tak diberitakan, kan?"

Aku mendengus, meski dalam hati mengakui kehebatannya bermain peran saat memenuhi undangan makan malam Tayyar Amca, sahabat dan rekan bisnis ayahku. Omer bersikap seolah pemberitaan tentang hubungan kami selama setahun itu nyata adanya, padahal baru saja bertemu. Itu pun selalu berselisih, seperti awal pertemuan kami di kantor polisi.

Sejak kejadian itu, aku berharap tak bertemu lagi dengannya. Namun seminggu yang lalu, dia berada di sekitar kantorku. Saat itu, aku sedang ketakutan dengan ancaman pria bernama Metin. Entah apa hubungannya dengan ayahku, namun lelaki itulah yang memintaku mengembalikan berlian. Lelaki itu pula yang menyuruh anak buahnya menghadang mobilku saat mengantar Nilufer ke bandara.

Dengan mata tertutup, orang-orang itu membawa kami ke sebuah gubuk tua. Di sana, aku melihat Metin untuk pertama kalinya. Lelaki jangkung berambut plontos. Mata cekungnya menatapku dingin. Aku meronta, mencoba melepaskan ikatan di tanganku. Begitu pula adikku, histeris meminta dibebaskan. Nilufer yang rapuh terus menangis ketakutan, meski telah berulangkali disuruh diam. Dan itu membuat Metin sangat berang, lalu memukulnya hingga jatuh pingsan.

"Aku tak segan menyakiti adikmu kalau kau tidak juga mengembalikan berlian-berlian itu," ancam Metin sebelum mendorongku keluar dari mobilnya. Permintaaku untuk mengembalikan adikku tak digubrisnya sama sekali.

Wajah Nilufer terus membayangiku sepanjang aku melangkah menuju kantor. Aku tidak tahu keberadaan berlian-berlian itu. Brankas, safety box di bank dan tempat-tempat yang kuduga bisa digunakan untuk menyimpannya telah kuperiksa, namun nihil. Beberapa kali sudah kukatakan pada Metin setiap kali menelepon, tapi dia tak percaya. Dan sekarang, dia menyandera adikku.

"Apa kau baik-baik saja?" Sebuah suara membuatku terperajat saat itu. Kurasakan wajahku memucat saat berbalik dan mendapati Omer ada di belakangku, entah sejak kapan. Aku belum tahu namanya, namun pertemuan pertama yang tak menyenangkan itu membuat wajahnya terekam di benakku.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku sambil mengedarkan pandang ke segala arah. Lalu lintas jalan di depan Denizer Holding ramai. Kulihat juga beberapa orang keluar-masuk gedung.

"Kamu baik-baik saja?" Dia tidak menjawab. Justru mengulang pertanyaannya dengan alis bertaut. Mata tajam itu menatapku penuh selidik. Dia pun sama, mengedarkan pandangnya ke segala penjuru.

"Iyiyim." Aku mengangguk gugup, lalu bergegas meninggalkannya. Tak ada yyang bisa kukatakan kepada lelaki itu. Seperti yang Metin katakan, tak boleh ada seorang pun yang tahu atau Nilufer akan bernasib sama dengan ayahku.

"Elif!" Panggilan lelaki itu menghentikan langkahku. Aku berbalik, ternyata dia mengikuti. "Apakah kematian Ayahmu dan Sibel ada kaitannya dengan berlian ini?" tanyanya sambil mengacungkan tangan.

Aku terkesiap melihat benda itu. Namun, segera kutelan kembali pertanyaan yang ingin kulontarkan ketika teringat wajah Nilufer.

"Bilmiyorum." Aku membalikkan badan, hendak meninggalkannya. Namun, pergelangan tanganku disambarnya hingga urung melangkah. Kami saling menatap. Mata itu teramat jujur padaku, kulihat luka, kebingungan dan kemarahan. Mungkin sama dengan apa yang dia lihat di mataku.

"Size yardım edebilir miyim?" tanyanya. Sejurus kulihat kekhawatiran di matanya, mungkin tepatnya kasihan.

"Anlamıyorum." Aku menelengkan kepala, pura-pura tidak mengerti ucapannya. "Aku tidak sedang membutuhkan bantuan dari siapapun."

"Dengar, aku seorang polisi." Dia memperlihatkan lencana dari balik jaketnya, juga kartu identitasnya. "Kau tak perlu takut. Aku akan membantumu."

Tanpa bersuara aku menatapnya. Ancaman Metin terngiang, membuatku menelan kembali apa yang ingin kukatakan tentang Nilufer.

"Percayalah padaku, aku akan melindungimu."

Aku menelan ludah mendengar ucapan lelaki di hadapanku. Matanya menerobos manik mataku, membuatku tak bisa berdusta. Sejak sore itu, semua berjalan sesuai rencananya. Dibantu dua sahabatnya di kepolisian, dia mengatur siasat dan menyamar sebagai Omer Caner. Aku mengikutinya, meski sesekali protes, lalu berselisih pendapat.

"Dan sekarang aku baru tahu kalau Tuan Putri ternyata suka melamun." Suara Omer memecah kesunyian di antara kami.

Aku mendelik lagi. "Aku tidak melamun, hanya menikmati makananku."

Dia tertawa kecil, mengerling ke arah piring makananku yang ternyata hanya kuaduk-aduk sejak tadi. Aku mebuang muka, kemudian mulai menghabiskan isi piring. Saat hampir habis, gawai Omer yang tergeletak di atas meja berbunyi.

"Aku mendengarkanmu, Arda," ucap Omer setelah menekan tombol hijau di layar gawainya. Dia tampak serius mendengarkan Arda di ujung telepon, sesekali alisnya naik dan kepalanya teraangguk. "Tamam. Sağol, Kardeşim."

"Arda bilang apa, Omer?" tanyaku tak sabar. Refleks aku menyentuh tangannya dan segera kutarik lagi saat mata Omer tertuju ke sana.

"Habiskan dulu makananmu! Arda berhasil melacak signal terakhir dari ponsel Nilufer," jawab Omer. Dia tersenyum, seolah mengatakan 'lihatlah, aku benar-benar membantumu'.

"Benarkah?" Aku yakin Omer melihat wajahku seketika berseri saat ini. Setelah minum, aku berdiri. "Aku sudah kenyang. Ayo, kita pergi sekarang!" Refleks lagi, aku menarik tangan kirinya. Dan segera kulepaskan lagi.

"Sabarlah, Tuan Putri." Omer tersenyum. Tangan kirinya mengambil gawai, lalu berdiri. Dengan gerakan tangannya, dia mempersilakanku berjalan lebih dulu.

Perempuan berlesung pipi di meja pantry mengangguk dan mengucapkan terima kasih.

***********************************

Keterangan :
*sağol : terima kasih
*çok sağol : terima kasih banyak
*simit : roti cincin berbalut wijen khas Turki
*ekmek : roti
*size yardım edebilir miyim : bisakah kubantu?
*kardeşim : saudaraku
*anlamıyorum : aku tidak mengerti
*bilmiyorum : aku tidak tahu
*tamam : baiklah

DI BAWAH LANGIT ISTANBULTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang