OMER DEMIR

979 48 0
                                    


Untuk pertama kalinya, aku melihat wajah Elif berseri-seri. Mata hazel itu berbinar seiring tarikan bibirnya membentuk senyuman. Dia tak sabar untuk segera sampai di rumah Arda. Berkali-kali memintaku mempercepat laju mobil. Kali ini, dia sangat berbeda dari Elif sebelumnya.

Memang bukan hal mudah baginya untuk bersikap seolah semua baik-baik saja setelah kematian sang ayah. Apalagi kemudian diikuti berbagai kejadian yang harus dihadapi seorang diri. Kebangkrutan perusahaan, ancaman dari lelaki bernama Metin hingga penculikan adiknya. Di hadapan orang lain, Elif bisa menyembunyikan semua masalahnya, tapi tidak di depanku.

Dari matanya, aku bisa melihat semua yang dirasakannya. Kesedihan, kebingungan, ketakutan dan kemarahan tampak jelas di sana. Dia juga sangat tertekan karena harus membohongi keluarga tentang keberadaan Nilufer. Saat kami bersama, tanpa disadarinya aku sering memancing kekesalan agar dia bisa meluapkan emosi. Aku pikir Elif perlu melampiaskannya.

Berbekal semua informasi dari Arda, aku dan Elif segera menuju tempat itu, sebuah gubuk tua di tengah perkebunan jeruk. Berada di pinggiran kota dan perlu dua jam untuk bisa sampai di tempat ini. Tak ada apa-apa di dalamnya, selain dua buah kursi dengan posisi tak beraturan. Wajah Elif memucat saat melihatnya.

Di antara lantai kayu yang lapuk, kami menemukan gawai Nilufer yang sudah hancur. Selain itu, kartu keanggotaan sebuah pusat kebugaran juga kami temukan di jalan setapak, tertimbun daun-daun kering.

Dengan temuan itu, Arda kembali kuminta bantuan. Aku sudah berjanji pada Elif untuk tidak melibatkan kepolisian demi keselamatan Nilufer, namun ada penyelidikan yang hanya bisa dilakukan oleh seorang polisi. Dan aku mengandalkan Arda untuk itu, bukan kakakku, Huseyin Demir.

Sejak awal, Kak Huseyin sangat menentangku untuk terlibat dalam kasus pembunuhan Sibel dan ayahnya Elif karena terjadi di luar wilayah tugasku. Kakakku memang benar, namun aku juga tak bisa berdiam diri sambil menunggu permohonanku untuk dipindahkan ke Istanbul disetujui.

Hingga malam, kami masih terus melakukan pencarian. Sejak meninggalkan gubuk itu, berulangkali aku meminta Elif untuk pulang, tapi dia sangat keras kepala.

“Apa yang akan kulakukan di rumah, Omer?” tanyanya gusar, ”aku tidak bisa melakukan apapun sebelum Nilu ditemukan.”

“Tamam. Apapun yang kamu mau, Tuan Putri.” Aku mengalah. Percuma juga berdebat dengannya.

“Acıktım. Bisakah kita berhenti di depan?” Elif menunjuk deretan kedai makanan di tepi Bosphorus.

“Tabii,” anggukku seraya menepikan mobil ke sisi kanan.

Aku dan Elif menikmati makan malam yang terlambat di dalam mobil, tanpa banyak bicara. Dengan tubuh bersandar, kami mengarahkan tatap pada cahaya lampu yang membias di hamparan Bosphorus, tempat kapal-kapal pesiar melaju. Keindahan malam ini, tak mampu mengusir rasa kehilangan yang kami rasa. Kudengar sesekali dia menghela napas.

Aku sering melakukan hal seperti ini dengan Sibel. Tentu saja dengan suasana yang berbeda. Kami menghabiskan waktu sambil membicarakan berbagai mimpi yang ingin diwujudkan. Tentang pernikahan, bulan madu ke Roma, dan anak-anak. Ah, manusia memang hanya berencana, namun terwujud atau tidak, sepenuhnya ada pada kekuasaan-Nya.

Gawai Elif berdering memecah sunyi. Dia menatapku saat melihat nama yang tertera di layar, arayan numara yok. Setelah melihatku mengangguk, jemarinya segera menggeser tombol hijau. Kuberi isyarat untuk tetap tenang saat raut wajahnya terlihat ketakutan. Dia menurut, berusaha menahan getar dalam suaranya. Namun, pertahanan Elif runtuh saat telepon itu terputus. Tangisnya pecah seketika.

“Tenanglah, Elif!” Aku menyentuh bahunya. “apa yang dia katakan?”

Wajah yang menelungkup di atas dashboard itu mendongkak. Dengan suara terbata, dia menceritakan tentang Nilufer yang hampir diperkosa salah seorang anak buah Metin.

DI BAWAH LANGIT ISTANBULTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang