ELIF DENIZER

1.7K 64 2
                                    

Namaku Elif Denizer, seorang jewelry designer. Menggambar dan menari balet adalah hobiku. Kini aku menetap di Roma untuk mengelola bisnis keluarga. Tentu saja sesekali aku pulang melepas rindu pada ibu, kakak dan adikku. Lagipula ada pemandangan indah di Istanbul yang tak kuperoleh di Roma, yaitu menatap birunya selat Bosphorus dari kaca lebar di kamarku saat terbangun di pagi hari.

Bebek, kawasan elite di tepian Bosphorus, di sanalah keluargaku tinggal. Rumahku terletak di dataran tinggi sehingga tanpa menyeberangi dua ruas jalan di depan rumah pun aku bisa leluasa menikmati selat dengan segala keindahan yang ada di atasnya. Deretan kapal yang terpancang di dermaga dan yang lamat-lamat terlihat menjauh menuju jembatan Bosphorus menjadi pemandangan khas yang selalu kurindukan.

Pagi ini, Bosphorus berayun tenang dipayungi langit berhias serat-serat putih dan cahaya matahari. Aku masih bisa menikmatinya sambil tersenyum lebar sebelum kulihat beberapa orang lelaki menapaki tangga di halaman dengan langkah gegas. Tiba-tiba kecemasan menyergapku. Dengan langkah yang tak kalah cepat, kuturuni tangga rumah untuk menemui mereka, lalu sirnalah keindahan pagi ini oleh kedatangan petugas dari kepolisian itu.

"Başınıs sağolsun, Elif Hanim," ucap salah seorang dari mereka setelah aku memperkenalkan diri sebagai putri dari orang yang mereka cari, Zerrin Denizer.

Dahiku mengernyit mendengarnya. Keluarga kami tak sedang berduka. Aku yakin surat kabar pagi ini memberitakan pesta ulang tahun kejutan untukku tadi malam.

"Ayah Anda ditemukan tewas dini hari tadi," sambung petugas kepolisian itu, membuatku tertegun.

Tapi tentu saja aku tidak percaya begitu saja. Jam dua belas malam tadi, dia bersamaku, menyambut kepulanganku dari Roma dengan pesta kejutan di sebuah cafe ternama. Bergantian dengan ibu, dia mengucapkan selamat kepadaku, lalu mengatakan, "Kau telah melakukan banyak hal untuk Ayah dan keluarga. Hanya satu yang belum, yaitu memberiku cucu."

Kalimat itu masih terdengar amat jelas di telingaku dan terus terngiang saat mobil yang kutumpangi melaju menuju rumah sakit. Seketika hati ini dijalari sakit yang luar biasa ketika pintu ruangan berpendingin itu terbuka dan aku melihatnya terbujur kaku dengan luka tembak di kepala. Lelaki yang tadi malam memelukku kini terbaring di atas ranjang kamar mayat. Nyatakah ini atau sekedar mimpi?

Aku berharap seseorang membangunkanku, tapi semakin dekat kaki ini padanya, semua semakin nyata. Tanganku gemetar saat menyentuh wajahnya yang dingin. Luruhlah sudah semua pertahananku. Tak ada lagi pelukan hangat saat kulabuhkan wajah penuh air mata ini di dadanya. Lirih kutanyakan dalam isak yang menyesak, bagaimana bisa dia meninggalkanku, meninggalkan kami?

Cinta pertama dalam hidupku telah pergi, menorehkan pedih yang dalam, tepat di hari ulang tahunku. Tak hanya luka kehilangan yang kurasa saat ini, tapi perih oleh kenyataan yang tak mampu dibantah, dia tewas bersama seorang perempuan muda yang tak kami kenal.

"Elif Hanim, apakah Anda mengenal perempuan itu?"

"Ada hubungan apa antara Ayah Anda dengan perempuan itu, Elif Hanim?"

Kacamata hita yang kukenakan tak mampu menyembunyikan identitasku. Kerumunan wartawan di depan kantor polisi menyambut kedatanganku dengan berbagai pertanyaan. Tentu saja tak bisa kujawab karena kepalaku pun dipenuhi dengan pertanyaan yang sama. Siapa dia? Ada hubungan apa di antara keduanya? Jika urusan bisnis, mengapa mereka harus berada di tepi pantai yang sunyi? Lalu, mengapa mereka dibunuh?

"Apakah Ayah Anda punya musuh?" Pertanyaan itu sempat membuatku tertegun, namun sebelum terdengar lagi pertanyaan lain yang akan membuat kepalaku semakin penat, segera kuayun langkah tanpa menjawab sepatah kata pun.

DI BAWAH LANGIT ISTANBULTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang