Yang paling kubenci dalam hidup adalah kebohongan. Bagiku, kejujuran sepahit apapun lebih baik daripada manisnya dusta. Melalui matanya, aku tahu lawan bicaraku berbohong atau tidak. Maka aku tak pernah mudah tertipu oleh para penjahat yang kuhadapi di meja interogasi.
Namun dini hari ini, aku harus menghadapi kenyataan pahit. Seseorang yang selama ini kupercaya, ternyata menyimpan rahasia. Hanya beberapa jam sejak kami berpisah di pintu rumahnya, aku melihat Sibel di tempat berbeda. Dia berada dalam sebuah mobil dengan luka tembak di kepala. Di sampingnya, pengusaha kaya bernama Ahmed Denizer terkulai tak bernyawa.
Aku berharap penglihatanku salah. Namun, lampu genggam yang menyorot dari tangan Arda membuat wajah yang sangat kukenal itu terlihat jelas. Bercak darah terlihat pada sandaran kursi. Langit Istanbul berhias purnama. Sinarnya terang, membias di permukaan laut. Dan mercusuar sesekali menyorot, memperjelas pemandangan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
Satu bulir air mata meluncur bebas di pipi saat mataku mengerjap. Telah banyak kasus pembunuhan yang kutangani. Dan kali ini, aku harus melihat tunanganku yang menjadi korban, bersama lelaki yang kukenal lewat berbagai pemberitaan sebagai pebisnis sukses.
"Omer!" Arda menghela tanganku agar tak mendekat. Dia mencoba mengingatkan, kasus ini bukan tanggungjawabku. Arda benar. Tempat tugasku adalah Van, bukan Instanbul. Keberadaanku di sini hanya sebuah kebetulan. Aku sedang bersama Arda saat handy talkie-nya berbunyi, mengabarkan penemuan korban pembunuhan.
Tak mudah bagiku menahan berbagai kecamuk dalam kepala ini. Ingin kuledakkan lewat teriakan atau kutumpahkan dengan tangis, namun tidak bisa. Aku hanya mampu duduk di atas batu, menyaksikan semua proses yang biasa dilakukan untuk menangani kasus pembunuhan. Mobil-mobil polisi berdatangan, diiringi ambulans. Lampu kamera berkilatan seiring kelebat kebersamaanku dan Sibel sepanjang hari, mempersiapkan banyak hal untuk acara pernikahan.
Tadi aku mengantarnya pulang. Bagaimana dia bisa berada di sini sekarang? Ada hubungan apa dia dengan lelaki paruh baya ini? Masih teringat jelas pesan yang dikirimnya tadi, "Aku tidur dulu, Aşkım," tulisnya diakhiri emoji kecupan. Ternyata itu adalah kebohongan. Ya, dia membohongiku, entah sejak kapan.
Pertanyaan yang terdengar dari kerumunan wartawan pada salah seorang keluarga Denizer di depan kantor polisi, membuatku jengah. Pertanyaan itu juga menghantuiku, namun tak juga kutemukan jawabnya. Emosiku meluap mendengar perkataan anak sang pengusaha tentang Sibel, meski aku sendiri tak yakin. Lelaki itu pengusaha, sementara Sibel seorang guru sekolah dasar. Dengan kenyataan itu, adakah kemungkinan lain selain hubungan asmara di antara keduanya?
Kejadian ini sungguh tak terduga. Tak hanya kehilangan yang menggoreskan kesedihan. Kebohongannya membuatku terluka dan marah. Segala rasa berbaur, membuatku tak bisa memejamkan mata walau sesaat. Tak ada makanan yang bisa kutelan. Segelas çay yang kupesan di sebuah kedai bahkan tak sanggup kuhabiskan.
Aku tak menginginkan apa-apa, selain mengungkap semuanya, secepatnya. Kuabaikan panggilan masuk dari Arda. Aku bergegas meninggalkan kedai ketika pagi beranjak siang. Kupacu laju mobil menuju rumah Sibel. Semua akan kumulai dari sana.
Cukup lama aku berdiam diri dalam mobil, memandangi rumah bercat putih itu. Tadi malam, aku melihat Sibel tersenyum di ambang pintu. Dan siang ini, aku hanya melihat sepatu hitamnya di sana, dilewati para pelayat yang berdatangan. Lamat-lamat lantunan surah yasin terdengar dari dalam rumah.
Sebelum keluar dari mobil, kuhela napas dalam, mencari kekuatan agar mampu memasuki rumah itu. Lagi-lagi tak mudah, karena pasti akan menyeretku pada pusaran kenangan dengannya. Dan memang benar, ketika pintu itu terbuka, kejadian kemarin malam ketika aku, Sibel dan kedua orangtuanya berbincang tentang rencana kami setelah pernikahan, membayang kembali. Tergesa kuusap mata sebelum genangannya terjatuh.
"Saat kami menonton tv, dia pamit tidur," ujar ibunya Sibel lirih. Kami berbincang di ruang makan, karena ruang depan masih dipenuhi para pelayat. Di dapur tampak beberapa orang tetangga menyiapkan çay untuk jamuan.
"Jadi Anne tidak tahu kalau Sibel pergi?" tanyaku, meski sudah tahu kalau ibunya Sibel pasti tidak akan membiarkan anak gadisnya bepergian di tengah malam.
Perempuan paruh baya itu menggeleng. "Kami tak mungkin membiarkannya pergi malam-malam," ucapnya kemudian sambil menyeka pipi keriputnya yang basah.
Mendengar helaan napasku, Ibunya Sibel menoleh. Sesaat kami saling memandang tanpa bicara.
"Jika boleh, aku ingin ke kamar Sibel, Anne," cetusku.
"Tabiki." Ibunya Sibel mengangguk. Diusapnya punggungku pelan. "Git, Oğlum!"
"Çok sağol, Anne," ucapku sebelum beranjak dari tempat duduk.
Aroma floral menyambut penciumanku ketika membuka pintu kamar. Tempat tidur yang rapi seolah memberitahuku bahwa Sibel tak pernah membaringkan tubuhnya di sana tadi malam. Pandanganku beralih pada fotonya di dinding dan gaun pengantin yang tergantung di belakang pintu, mungkin tadi malam dia mencoba mengenakannya. Seperti ada kepalan tangan meninju dadaku, sakit dan menyesakkan.
Kuusap wajah dengan kedua tangan ketika bayangan Sibel terkulai di dalam mobil kembali berkelebat. Begitu pula dengan berbagai tanya yang mengusikku sejak dini hari tadi. Ada sesuatu di kamar ini yang mungkin bisa menjadi petunjuk.
Banyak kasus yang sudah kutangani dan hampir semuanya berhasil. Kali ini, aku pun harus bisa mengungkapnya. Si pembunuh harus kutemukan untuk membayar kejahatannya. Dan aku harus mengetahui apa yang Sibel rahasiakan dariku.
Tak menemukan petunjuk apapun setelah membuka satu-persatu buku di atas rak, memeriksa lemari dan benda-benda di atas meja, kini aku meneliti tempat-tempat tersembunyi. Kolong tempat tidur tak luput dari perhatianku, lalu beralih ke bawah meja rias. Kususuri setiap inchi-nya dan kilauan itu membuat hatiku mencelos, sebuah berlian menempel sana.
Orangtua Sibel bukan orang kaya. Sama sepertiku, kami terlahir di keluarga sederhana. Dari gaji sebagai pengajar, dia harus menabung bertahun-tahun untuk memiliki sebuah berlian. Lalu, Sibel dapatkan dari mana berlian di tanganku ini? Apakah dari Ahmed Denizer?
Ucapan anak Ahmed Denizer itu terngiang lagi, "Perempuan itu mendekati Ayahku demi uang."
Seperti itukah perempuan yang selama ini kucintai? Kalau memang dia mengejar uang, mengapa dia bersedia menikah denganku? Bahkan kemarin sore, aku melihat binar bahagia di matanya saat kami melintasi rumah sewa yang akan ditempati nanti.
Selama ini aku pikir sudah sangat mengenalnya, namun dalam sekejap dia menjadi sosok yang teramat asing bagiku. Aku benci kebohongan. Dan Sibel tahu itu, tapi dia melakukannya. Mungkin cintanya padaku juga bagian dari kebohongan itu.
Tapi, itu tidak mungkin! Jika Sibel berbohong, dia tak mungkin bisa menatapku dengan begitu polos. Aku selalu tahu, kapan seseorang berbohong atau tidak. Dan aku tak pernah menemukan itu di matanya selama ini. Atau mungkin kebohongan itu tidak terlihat karena terhalang oleh cinta.
Aku meneliti berlian yang berkilau di tanganku. Masih banyak teka-teki. Masih banyak informasi yang harus kugali. Bukan hanya tentang Sibel, tapi juga lelaki itu. Haruskah aku mencari tahu tentang Ahmed Denizer dari anaknya?
**********************************
Keterangan :
*aşkım : cintaku
*anne : ibu
*tabiki : tentu saja
*git : pergilah
*çok sağol : terima kasih banyak
*oğlum :anakku (laki-laki)
KAMU SEDANG MEMBACA
DI BAWAH LANGIT ISTANBUL
FanfictionElif Denizer, jewelry designer yang menetap di Roma, pulang ke Istanbul di hari ulang tahunnya. Omer Demir, pulang ke Istanbul dari tempatnya bertugas sebagai polisi untuk bertunangan dengan kekasihnya. Keduanya bertemu karena orang yang mereka cint...