Omer Demir

872 53 0
                                    

Kupikir patah hati saja yang membuatku sakit. Ternyata mematahkan hati seorang gadis juga menyakitkan. Apalagi jika kuingat bagaimana sorot matanya meredup, ketika kami berpisah malam itu tanpa kejelasan.

Aku memang tak berkata tidak, tapi tak juga bisa berkata iya. Bagaimana bisa aku menyambut perasaannya jika di hati ini Sibel masih tetap hidup? Aku tak ingin membohonginya, juga membohongi diri sendiri.

Menjauh dari Elif Denizer kupikir cara yang tepat. Maka itulah yang kulakukan berhari-hari kemudian. Mungkin dengan begitu, dia akan lupa pada perasaannya. Pada saat itu dia juga akan sadar bahwa dia keliru memaknai isi hatinya sendiri. Tidak mungkin dia jatuh cinta padaku.

"Kenapa tidak mungkin, Omer?" Arda berkacak pinggang di tempat duduknya. "Kalian sama-sama sendiri, tidak ada yang tersakiti jika kalian bersama."

"Kau salah, Arda. Hatiku masih milik Sibel." Kusilangkan tangan kanan di dada.

"Uuff, Omer, uuff!" Arda menepuk dahi dengan kedua tangan, lalu mengangkatnya ke udara. "Jangan katakan kau akan melajang seumur hidupmu!"

Kuhempaskan punggung pada sandaran kursi, bertepatan dengan datangnya Mehmed mengantarkan Medye pesanan Arda.

"Afiyet olsün, Abi," ucap Mehmed sebelum kembali ke dapur. Aku dan Arda menjawab dengan ucapan terima kasih.

"Sudah saatnya kau membuka lembaran baru, Kardesim," ujar Arda sambil memeras potongan lemon ke atas kerang, lalu menyantapnya. "Kupikir Elif lebih pantas untukmu daripada Sibel."

"Arda!" bentakku nyaring, membuat pengunjung kedai yang menempati meja terdekat menoleh ke arahku.

"Eeee, apa salahku, Omer? Gadis itu menyembunyikan banyak hal darimu," suara Arda tak kalah nyaring.

"Menyembunyikan banyak hal?" Pertanyaanku membuat Arda terkesiap. Sepertinya dia baru menyadari sudah kelepasan bicara.

"Lupakan, Omer!" pinta Arda, lalu pura-pura sibuk dengan kerangnya.

"Apa yang kau sembunyikan dariku, Arda? Katakan sekarang atau aku akan menghajarmu!" ancamku.

Arda menepuk mulutnya sambil bergumam tak jelas, kemudian berkata, "Tamam, Omer, akan kujelaskan."

Aku diam, menunggu Arda meneruskan perkataannya.

"Pelo," Arda menyebutkan sahabatku yang lain, sahabat kami sejak di Akademi Kepolisian. Dia juga salah seorang yang bertugas mengusut kasus pembunuhan Ahmet dan Sibel saat ini. "Tadi malam, dia mendapat temuan. Kau ingat waktu Sibel memberitahumu akan pergi ke Cesme bersama teman-temannya?"

Aku mengangguk. Saat itu dia meneleponku dan mengatakan baru tiba di bandara Adnan Menderes, Izmir, lalu akan melanjutkan perjalanan dengan bis.

"Sibel tidak pernah sampai di sana. Dia tidak berangkat ke Cesme, tapi ...," Arda tampak ragu meneruskan perkataannya, namun dia tahu jika tak diteruskan akan membuatku gusar. "Sibel ke Roma untuk melakukan pencucian uang. Dia juga kurir penyelundupan berlian."

Seolah ada batu menghantam dadaku. Sakit dan menyesakkan. Sibel, calon istri seorang polisi melakukan pencucian uang dan menyelundupkn berlian. Dan aku sama sekali tak menyadari kejahatannya. Aku tak mampu mendengarkan lagi apa yang Arda. Kebersamaanku dengan Sibel berputar di kepala. Tawa renyahnya kini terdengar seperti sebuah ejekan bagiku yang berhasil diperdaya olehnya.

Tanpa mempedulikan teriakan Arda dan Mehmed, aku bergegas meninggalkan kedai. Tak sempat kuperhatikan seseorang yang berpapasan dan menyapaku di tempat parkir. Tanpa pikir panjang kuinjak pedal gas dan melarikan mobil dengan kecepatan penuh. Aku harus menemui Sibel dan meluapkan semua yang kurasakan. Akan kukatakan padanya bahwa sekarang dia benar-benar mati bagiku.

Entah berapa lama aku berada di makam Sibel, berbicara pada gundukan tanah bertabur bunga yang setiap pagi kutaburkan di sana. Jika sebelumnya aku datang denga rasa kehilangan, menangis karena sedih. Kali ini, aku menangis karena marah.

Ketika memutuskan pulang, aku baru sadar seseorang mengawasiku, entah sejak kapan. Elif berdiri beberapa meter dari makam Sibel. Hari ini aku memang pantas dikasihani, hingga dia menatapku seperti itu, penuh iba. Aroma parfum dari tubuhnya menyusup ke dalam hidung ketika aku melewatinya, memasuki mobil, lalu melajukannya tanpa tujuan. Tak ada Sibel. Tak ada Elif. Tak ada cinta. Yang ada hanya luka.

Aku ingin menyelesaikan rasa sakit ini, dan berharap besok sudah jauh lebih baik.

***

Aku bergegas menuju ruang kerja, setelah menutup pintu ruang interogasi dengan kasar. Sampai hari ini Metin masih tetap bungkam tentang siapa orang yang berada di belakangnya. Lelaki itu juga membantah dirinya terlibat dalam pembunuhan ayahnya Elif dan Sibel.

"Aku membutuhkan Ahmed dan Sibel hidup agar berlianku kembali, Inspektur," tegas Metin, "jadi tak mungkin aku membunuh mereka."

Sibel lagi. Mendengar namanya disebut-sebut oleh Metin, ada nyeri lagi di dadaku.

"Omer!" Arda menubruk pintu ruang kerja. Dia terengah, mengatur napas. "Huseyin Abi sedang menjemput Asli."

"Maksudmu?" Aku terperanjat.

"Berdasarkan penyelidikan, di malam pembunuhan ternyata Asli menyelinap keluar lewat tangga samping rumah. Sebelumnya, dia mengatakan berada di kamar hingga pagi." Arda menjelaskan.

"Itu berarti Asli berbohong," gumamku, "tapi aku yakin bukan Asli pelakunya."

Arda menghela napas. "Kita mengerjakan segala sesuatu berdasarkan bukti, Omer," katanya mengingatkan. Dia benar. Keyakinanku tidak lah penting, jika bukti-bukti berkata sebaliknya.

Sejauh ini, aku memang belum melihat ada hubungan antara Asli dan Metin atau antara Asli dengan bisnis kotor ayahnya, namun selalu ada banyak kemungkinan.

Pikiranku langsung tertuju pada Elif. Bagaimana dia menghadapi semua ini? Aku bahkan tidak punya kesempatan menjelaskannya terlebih dahulu.

Keributan yang terdengar di luar ruangan membuat aku dan Arda bergegas menuju sumber suara. Dengan tangan terborgol, Asli digiring masuk ruangan oleh kakakku dan anak buahnya. Di belakangnya, Elif bersama pria berpakaian rapi mengikuti sampai pintu.

Kekhawatiran tampak di wajah Elif. Melalui tatapan, dia seolah menuntut penjelasan tentang apa yang tengah terjadi. Bersama Arda, segera kutemui kakakku, memberitahukan kondisi Asli yang selama ini dirahasiakan keluarga Denizer.

Sepanjang siang hingga malam, Elif berada di kantor polisi. Meski sudah kuyakinkan bahwa aku akan menjaga Asli, dia tetap tak mau pulang.

Sore hari, ketika menemui kakakku di lantai dua, aku sempat melihatnya sedang duduk di bangku taman. Sedih tampak di wajah cantiknya. Begitu selesai pekerjaan, aku berniat mengajaknya makan malam ke kedai milik Fatma. Namun, langkahku terhenti di ambang pintu, kulihat seseorang membawakan makanan dan minuman. Lelaki itu terus di samping Elif sejak mereka datang, nyaris tidak meninggalkannya.

Kali ini pun, dia masih menemani Elif makan sambil mengobrol. Sepertinya sesekali dia membuat lelucon agar perempuan di sampingnya sedikit tersenyum. Rahangku mengeras seiring hawa panas yang menggelegak di dada. Keakraban mereka membuatku terbakar tanpa bisa berbuat apa-apa, selain mengintipnya dari balik tirai di ruang kerjaku.

Sudah jam sepuluh malam. Elif dan lelaki itu masih berada di sana, mengobrol sambil sesekali menengadah ke langit, melihat taburan bintang di akhir musim semi. Kuputuskan untuk tidak pulang. Selain untuk memastikan Asli baik-baik saja, aku juga harus memastikan lelaki itu tidak berbuat macam-macam pada Elif.

*************************************

Cerita ini ditulis berdasarkan serial Turki "Kara Para Ask"

Produksi : Ayyapim

Penulis naskah : Eylem Canpolat/Sema Ergenekon

#AksaraDiana

#ILOWNA

#DibawahLangitIstanbulPart9

DI BAWAH LANGIT ISTANBULTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang