3 tahun sebelumnya...
Andini terlonjak kaget saat ponselnya bergetar - kemudian menyumpah saat tahu siapa pengirim pesan terkutuk itu dengan rentetan kosakata yang membuat orang tua manapun, akan mengajukan petisi kepada orang tuanya agar digembleng biar kembali menjadi gadis berumur 10 tahun yang tak tahu jahatnya dunia.
Sadar diacuhkan, ponselnya bergetar sambil berputar bak adu gasing di atas meja, menunggu uluran tangannya. "Ya?"
"Kangen.."
"Gue belum sarapan jadi gak ada yang bisa dimuntahin." tawa riang diseberang sana membuatnya tanpa sadar tersenyum sambil menghitung beberapa digit di kalkulator berbentuk Hello Kitty. "Kenapa hubungin gue? Putus lagi dengan yang terbaru?"
Sudah menjadi perjanjian tak kasat mata apabila Esa memiliki pacar, maka ia harus terima tak dianggap sahabat dari orok sampai masa waktu tak ditentukan. Jika suatu hari pria itu menghubungi, maka hanya ada dua kemungkinan, pertama hubungan indah itu berakhir, kedua, pinjam uang. Ntuk hal terakhir itu, dengan senang hati menolak karna merasa bukan ATM berjalan Esa. "Gue selalu tau. Nah, sekarang, kenapa lo putusan? dia ngajak nikah? seks lo kurang memuaskan? Lo gak sengaja nyebut nama gue saat dia kasih pelayanan terbaiknya di ranjang? Atau, lo mulai suka cowok?"
Seumur hidup bersahabat dengan wanita - soon to be menjadi tetangga apartemennya ini, ia selalu gagal ntuk bersikap masa bodo' akan sifat nyeplos tak kenal gender serta urat malu yang dicurigai sudah dimasak semur daging oleh Andini. "Sayang, andai gue diisolasi di kota terpencil selama 10 tahun bersama pria tampan namun belok, serta lo sebagai satu - satunya wanita disitu, gue lebih milih hamilin lo sampai over - populated."
"Bukannya itu yang sering lo lakuin ke gue?"
Ia sampai menggigit bawah bibirnya sampai luka demi tak meletusnya tawa disaat kantor sedang sibuk menyelesaikan laporan Akhir Tahun. berjuang tetap normal, ia menarik napas kuat lalu menghembuskannya dengan sangat perlahan. "Lo pulang jam berapa malam ini?"
"Gue rencananya mau nginap dikantor aja rayain tahun baru."
"Gue jemput gimana?"
"Mentang - mentang jomblo baru deh sok baik ama gue."
Ia memilih keluar ruangan, tersenyum kepada beberapa kolega saat berpapasan, kemudian berlari menaiki 2 anak tangga sekaligus ntuk mencapai pintu rooftop, disambut sukacita oleh beberapa tanaman hias. membuat paru - parunya serasa segar. "Andini, gue selama ini selalu baik sama lo."
"Lo mau minta apaan ama gue? gak usah sok rayu."
Ia tertawa mendengar sekilas nada menggoda Andini. "Gue cuman minta lo disisi gue sampai tua kok."
"Sableng nih sahabat gue sekarang. yaudah, jemput gue jam 9 malam bagaimana?"
yes! ucapnya riang dalam hati. "Siap Nyonya. Ada lagi?"
"Kita check - in atau gimana?"
Semoga besok kantornya tak gempar akan headline berita Online, "telah ditemukan mayat seorang pria bernama Esa Putra di atas rooftop Kantor Pusat Bank XYZ . diagnosa pertama jantungnya berhenti berdetak akibat tawa terlalu kencang tanpa berkesudahan sebagai pelampiasan stres akan tekanan pekerjaan.' "Andini, gue cuman mau jalan sama lo hari ini."urusan lain belakangan. yang penting ketemu dulu.
"Gue pesanin aja deh. Lo kan dadakan soalnya kalau lagi pengen ama gue."
"Apartemen gue aja."
Sejenak, Andini melepas pulpennya dengan kening berkerut. mereka bersahabat dari orok, melakukan hubungan seks ntuk pertama kalinya saat Kuliah di Semester 6, lanjut hingga sekarang. Mereka selalu olahraga batin - begitu istilah Esa, di hotel karna prinsip, 'kalau lo melakukannya di tempat terintim lo, maka dialah pasangan hidup lo.'
Apartemen, adalah batasnya.
padahal selama ini hubungan mereka benar - benar sahabat, tak ada cinta, hanya saling membutuhkan. "Lo yakin?"
"Kenapa gak? lebih irit ketimbang booking, resiko ketahuan pula. Lo mau besok nampang di akun gosip karna jalan ama gue?"
"Lo bukan artis, Esa. Gak usah sok seluruh Indonesia Raya kenal ama lo." Tawa Esa memupus keraguannya. mungkin memang lebih praktis begitu. "Yaudah. berarti kita makan diluar atau masak?"
"Enaknya lo aja kayak gimana. Gue cuman tau urusan jemput dan olahraga ama lo."
Andai Esa didepannya, sudah ia lempar alat pembolong kertas ini tepat ke wajahnya. "Sudah gue duga lo bakalan lepas tangan."
"Gue pengen lo nyaman aja, Dini. Udah yah gue tutup dulu. See you."
Mungkin batinnya memang rindu, karna tanpa sadar tersenyum kecil saat telepon terputus sepihak. "See you too, Esa."