9. Topeng.

1K 79 6
                                    


"Din..." Ia menjawil punggung Andini yang berselonjor di Sofa Merah dengan sebuah buku tak lepas dari pangkuan. "Lo hari ini ada acara, gak?"

"Gue pengen santai doang , Sa. Gue pulang pukul 3 pagi mulu selama 5 hari ini." Melihat wajah kalut Esa tak biasanya, ia langsung berganti posisi menjadi bersila dan memeluk Esa dari belakang, menyandarkan lehernya di pundak pria itu, dengan tangannya bermain di ikal rambut Esa yang menggemaskan. "Lo kenapa?"

"Gue pengen ajak jalan hari ini."

"Harus hari ini gitu?"

"Hari ini ulang tahun pernikahan orang tua gue, Dini."

Ia langsung berdiri, dan mengulurkan tangan kearah Esa. Tersenyum ketika pria itu menyambut ulurannya. "Mau ikut gue ntuk ganti pakaian, gak?"

"Gue yang pilihin?" 

Ekspresi jahil disertai kedipan mata menggoda membuatnya tanpa sadar tersenyum. Ntuk hari ini.  "Asal gak bikin gue kayak Ondel - Ondel."

"Gue tergoda untuk melakukannya."


***

"Happy Wedding Anniversary Ma, Pah." Esa tersenyum sambil menaburkan bunga ke makam kedua orang tuanya, berjongkok disamping Dini yang baru saja selesai membersihkan makam dengan sapu lidi kecil serta kantong plastik untuk membuang sampah. "Esa bawa Dini, Pah, Ma. Baru nemu kemaren di depan rumah."

Andai tak sadar tempat, sudah ia cubit Esa ini. "Maaf Om, Tante, Dini baru muncul sekarang. Soalnya Esa suka ngumpet beberapa tahun ini jadi agak susah dilacak. Sok penting sekali anak Om dan Tante ini."

"Ngomong - ngomong, lo kayak pawang hujan pribadi gue, Din. Beneran."

"Tuh kan, Om, Tante. Esa ini mulutnya kadang minta dipoles sambel rawit buatan tante."

"Bukan gitu," Ia seperti kembali ke masa kecil dimana wanita itu selalu muncul didepan rumahnya setiap sore dengan membawa cemilan dari rumah, lalu menikmati bersama di halaman belakang sambil saling meledek, atau bercanda dengan kedua orang tuanya. Ya Tuhan, dia rindu sekali kembali ke masa itu. "Setiap gue kesini harinya pasti hujan, cuman bareng lo doang cuaca cerah kayak gini."

"Gue ini titisan Bidadari Khayangan, wajar aja lo gak kehujanan kayak kemaren."

"Obat lo abis yah?"

Ia merengut karna tak berani bicara kasar dengan Esa di tempat seperti ini. "Karna Dini sudah pulang, jadi saatnya untuk nepatin janji dengan Tante dan Om."

"Emang lo ada bikin janji apaan dengan ortu gue?"

Ia mengelus makam kedua orang tua Esa sambil tersenyum kecil. "Dini hanya perlu waktu untuk wujudinnya, Om, Tante. Soalnya Esa kan keras kepalanya ngalahin Hulk."


***


"Mau cerita?"

"Tentang?"

"Apa yang lo ucapin di makam ortu tadi?"

Andini mengangkat bahu sambil meletakkan gelas berisi teh hangat di depan Esa. Sepulang dari makam, tak ada pembicaraan penuh canda seperti biasa karna sibuk dengan pikiran masing - masing. "Kenapa lo pengen tahu?"

"Karna itu libatin gue, Dini sayang. Lo gak bikin perjanjian yang rugiin hidup gue kan?"

"Contohnya?"

"Jodohin gue dengan wanita lain misalnya."

Ia cuma asal bicara seperti biasa, tapi melihat Andini langsung tersedak heboh, membuatnya blank sesaat. "Jangan bilang beneran, Dini. Lo kan tau gak suka dijodohin! Lo kata gue tester produk!"

"Coba lo deng.."

"Lo  mau jodohin gue dengan Mbak Regina? I know it! Pantesan lo ngebet banget pepetin gue dengan dia!"

Andini menutup kedua telinganya saat Esa mulai mencerocos tak keruan. Kebiasaaan bila sudah panik campur kesal. "Lo coba die - ESA PUTERA! DENGERIN GUE NGOMONG DULU BISA?!"

Mulut Esa tetap tak berhenti komat - kamit sambil berputar mengelilinginya. Ia benar - benar seperti berhadapan dengan bocah. "Coba lo duduk dulu disini." Ia sampai menarik Esa dan memaksanya duduk. "Dengerin gue 1 menit, oke?"

Ia menahan tawa saat Esa memasang wajah merajuk. "Lo tau gak kalau sebelum kita ketemu lagi, gue selalu ngasih kabar dengan ortu lo minimal 2x seminggu via telepon? Mereka udah gue anggap ortu sendiri sejak ya.. lo tau kan perpisahan ortu gue yang lumayan nyakitin itu." Ia sangat berterimakasih atas segala perhatian yang diberikan padahal mereka bukan bertetangga lagi,  menghiburnya dikala sedih karna perpisahan ortunya di usia 17 tahun, membuatnya tetap merasakan kasih sayang orang tua, bahkan lebih hangat daripada ortunya sendiri. "Trus nyokap lo selalu bilang ingin melihat lo menikah, namun takut bahwa mereka gak bisa melihat hal itu terjadi. Saat itu lo dalam masa ambisi mengejar karir hingga tak ada waktu untuk balik , gue kadang datang kalau lagi gak sibuk. Dan janji gue saat itu, membimbing lo ke jalan yang benar dalam mencari jodoh. klise kan?"

"Ucapan lo macam motivator aja. 'Bimbing gue ke jalan yang benar.' dengan cara apa kalau bukan jodohin?"

"Lo picik amat mikirnya cuma sampai situ doang." Ia menegak susu coklatnya sampai tandas. Menghadapi Esa  sedang kesal benar - benar menguji kesabaran. "Banyak cara kok. Misalnya kenalan ama calon lo, akrab, kalau dia baik akan gue dukung, kalau gak, jangan harap hidup lo tenang."

"Mbak Regina?"

"Dia naksir sama lo, dan gue pikir saat itu kenapa gak coba dekatin kalian. Tapi itu hak lo tetap lanjut sebagai teman baru atau gimana. Gue gak ikut campur walau kadang gatal pengen lakuin itu." Melihat Esa diam saja, ia mendesah. "Gue cuman pengen nepatin janji dengan ortu lo, Sa. Mereka ingin liat lo bahagia dengan pasangan yang lo pilih dan terbaik dari yang paling baik, karna lo anak satu - satunya."

"Lo sendiri?"

"Kenapa dengan gue?"

Oh Tuhan, Andai saja dia bisa baca pikiran gue saat ini. "Lo merasa selama ini paling peka akan sekitar dan tahu gue luar - dalam, nyatanya lo adalah wanita paling gagal peka yang pernah gue kenal, Dini."

Dan bodohnya, gue suka ama lo karna itu.




Friends (?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang