*Andini
Dini tersenyum sambil menoleh kearah Esa yang berdiri dibelakangnya. Tidak sia - sia Alarmnya bernyanyi pukul 5 pagi dan siap bertempur di tempat yang paling dihindari saat sendiri, Dapur. "Gue bikin Nasi Goreng buat bekal makan siang, lo mau?"
"Gak usah. Gue makan dikantin kantor aja."
Keningnya berkerut dalam, tidak biasanya Esa menolak. "Gue bikin Nasi Goreng dengan taburan kacang polong kesukaan lo, loh. Trus ada Fillet Ikan Kakap tepung dengan sambal dhabu - dhabu, dan juga.."
"Gue berangkat dulu." Esa memilih menghabiskan segelas air putih dan mengambil dua lembar roti putih tawar dalam rak kue. Padahal ia sudah menyiapkan Sandwich Roti Gandum kesukaan Esa diatas meja makan. "Lo gak papa berangkat sendiri?"
Sejak Esa tahu rencana perjodohan yang dirancangnya, ia merasa ada jarak perlahan diantara mereka, namun tak bisa menjelaskan mengapa merasakan seperti itu kalau Esa tetap bersikap seolah tak ada masalah diantara mereka, tapi perasaan diasingkan, diabaikan, dan tak dihargai membuatnya merasa ingin meledak. "Bilang aja kalau lo marah, Sa."
" Lo tau apa yang tidak gue suka aja tetap dilakukan, apa pengaruhnya kalau tau gue marah?"
"Sa, gue lakuin itu karena Mama lo yang minta, gue gak bisa menolak."
"Gue kecewa dengan lo, Dini. Selama ini gue merasa lo lebih tahu isi kepala gue dibandingkan siapapun, bahkan ortu sendiri. Tapi lo malah memposisikan diri sebagai salah satu anak Mama gue dan merasa apa yang beliau minta, harus lo turutin."Saat menatap Dini yang terlihat terluka, ia sangat sadar baru saja mengucapkan hal super fatal. "Gue gak bermaksud.."
Ia sadar akan ucapan Esa tak berarti apapun, namun tetap saja membuatnya sedikit nyeri. Karena mungkin dalam hati, ia memang berharap seperti itu. "Makasih udah menyadarkan posisi gue sebenarnya di keluarga kecil lo, Sa."
"Din," Esa mengejar Dini yang kini masuk kedalam kamar, dan menahan tangan sahabatnya yang siap mengeluarkan koper dari Lemari. "Gue kesel dan gak bisa mengendalikan emosi, jadi ucapan itu keluar. Tapi Sumpah demi Tuhan, gue gak ada maksud nyakitin lo."
Dini mengangguk sambil mengeluarkan beberapa pakaiannya di lemari Esa dalam sekali tangkap, dan melemparnya ke koper berukuran besar. "Gue tau."
"Dini.." Kini ia duduk di tepi Ranjang, menyaksikan aksi versi bersih - bersih sahabatnya yang barbar. "Lo mau kemana?"
"Mau kekantor."
"Gak mungkin lo bawa koper, kan?"
"Sejak Ortu bercerai dan keluarga besar menganggap gue setengah ada di kehidupan ini, Selama ini tempat berteduh gue adalah Kantor, pelukan serta lelucon garing ortu lo yang legend itu." Ia terdiam saat menyadari ucapannya kini membuat hatinya semakin nyeri, menyadari fakta yang berusaha dilupakannya mati - matian. "and thanks to you yang sudah menyadarkan arti gue di kehidupan keluarga lo, jadi Kantor adalah tempat satu - satunya yang menerima kehadiran gue sebagai seorang Andini."
"Gue juga menerima lo, Dini."
Ia menutup mata sebagai cara untuk mengabaikan kehadiran Esa saat melepas pakaian rumahnya dan melemparnya dalam Koper, lalu berganti kilat dengan pakaian kantor yang disiapkannya kemaren malam, membuka mata saat berpaling dan menatap Esa yang memelas. "Gue minta maaf karena membuat lo merasa terganggu akan rencana gue dan Tante Lidya selama ini. Ucapan lo menyadarkan gue, bahwa gue melakukannya karena ingin membalas budi atas kebaikan yang kalian berikan, dan berharap diakui sebagai salah satu dari kalian. Bukan sebagai sahabat kecil lo semata."
"Dini..."
Ia mengakui setiap kebenaran ucapannya dari hati, dan merasa super bodoh. "Gue bener - bener minta maaf." Susah payah ia menarik kopernya turun dari ranjang, dan melepas genggaman Esa. "Gue pergi kekantor dulu. Lo jangan sampe telat, oke?"
*Esa
***