8. Magic Words :We're FRIENDS!

1.1K 69 1
                                    

  

"Jadi, lo sakit kemaren? Bukannya liburan mendadak, tapi gamau cuti tahunan kepotong  jadi  pake alasan sakit?"

Pertanyaan Mbak Regina disertai kedipan mata membuatnya tergelak sambil mengelus dada dengan ekspresi teraniaya. "Suuzan mulu dengan gue, mbak. Gue beneran sakit, kan mbak kemaren ketemu Esa di tempat Parkir."

"Justru karna dia yang nganter gue malah curiga. Wajahnya sumringah amat pas nitipin surat sama gue, seolah kalian bekerja sama untuk menipu  gue."

"Dia mah emang gitu, Mbak. Frustasi ama kerjaan aja dia ngakak sendiri kayak nonton acara Pelawak, apalagi cuman nganterin surat gue."

Untung saja pekerjaan bisa ditunda sedikit lebih lama serta tak ada bos, sehingga ia bisa duduk disamping Andini yang sibuk menatap layar komputer sambil mengetik. "Lo sekarang gendutan, Din. Serius."

"Dikasih makan dan cemilan yang cukup ama Esa tiap malam, Mbak."

Jawaban sambil lalu itu membuat keningnya berkerut. "Bentar - bentar, gue kok nangkepnya kalian tinggal bersama?"

Regina memang salah berharap bahwa Andini bakal kelabakan seperti seorang gadis baru ketahuan orang tuanya sudah memiliki pacar, atau wajah merona malu sambil mengalihkan pembicaraan. Karna yang bersangkutan hanya mengangkat bahu. "Emang, Mbak.  Pas Tahun Baru pokoknya."

"Dan..." Datarnya wajah Andini membuatnya gemas. "Tidur pisah?"

"Bareng do.." Sadar akan yang diucapkannya dari ekspresi melongo Regina, ia buru - buru meralat. "Pisah! Dia tidur di Sofa, gue dikamar."

"Gausah bohong sama gue, Dini. Lo mah kalau bikin dosa jangan nanggung."

Ia menghela napas saat Mbak Regina tertawa penuh kemenangan. Sialan. "Mbak jangan shock apalagi kolaps, yah."

"Cerita lo itu remah kue kering doang dibanding yang lain. Yakin banget gue."

Ia terbahak - bahak sambil berdiri dan merenggangkan badan. "Mbak, Kita nyoba Coffee Store di seberang jalan, yuk? Katanya baru dan enak."

"Lo yang traktir."


***


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Gila! Gue tarik omongan dikantor tadi! Waw..." Regina setengah terpukau, sisanya tak habis pikir melihat Andini tersenyum kecil. Seolah ceritanya tadi tak bermakna apa - apa. "Lo emang sinting."

"Terimakasih atas sanjungannya, Mbak. Gue sangat terharu sekali."

Untung saja suasana Coffee Street tidak terlalu ramai karna masih jam kerja. Hanya mereka, karyawan bernyawa sembilan saja yang berani duduk disini seolah hari ini adalah Minggu. "Tapi serius gue nanya, selama ini lo bersama dia, naik level menjadi teman tidur selama 4 tahun terakhir, lo gak ada perasaan apapun gitu dengan Esa?"

"Gak ada. Karna kalau iya, gue gak akan ngasih nomor dia dan desak Mbak ntuk pedekate, kan?"

Bohong banget.

"Itu versi lo. Esa sendiri gimana?"

"Dia tetap anggap gue sahabat menyambi teman tidur, Mbak."

"I don't think so." Regina menyeruput matcha lattenya sambil menggigit ujung sedotan. "Karna gue merasa bahwa dia memiliki perasaan lain ama lo."

"Mbak kebanyakan nonton Drama Korea kayaknya."

"Serius ini. Setiap kami chatting,  dia selalu nanyain kabar lo gimana, trus nyuruh gue ngajak lo makan siang, dan ingetin lo untuk gak lembur. Ini penilaian gue sebagai orang lain, dan gue ngerasa dia gak anggap lo murni sebagai sahabat."

"Esa emang gitu dari dulu, Mbak. Wajar aja salah sangka."

Regina mengusap wajah dengan kedua tangannya. "Frustasi gue ngomong ama batu."

Ia malah bingung sambil menyeruput minumannya. "Kan emang faktanya kayak gitu, Mbak. Gue sama Esa itu cuma sahabat plus - plus doang."

"Sekarang gini deh, lo pernah pacaran kan? Kalau pernah, sebelum tahap pacaran itu pasti PDKT kan? Nah, lo tahu ciri - ciri pria PDKT kayak gimana?"

Andini menggeleng, dan Regina berteriak frustasi karnanya. "Esa cowok pertama gue, Mbak. Gue gak butuh cowok karna ada Esa yang covering semuanya."

"Kalau Esa punya pacar?"

Ia terdiam. Ingat akan perasaan kesal yang tak terkatakan setiap Esa menelponnya untuk memberitahu bahwa sudah memiliki kekasih, lalu melempar lelucon dengan bilang bahwa mereka harus putus sampai waktu tak ditentukan. Saat itu ia tertawa saja sambil melempar hinaan seperti biasa. Tapi saat pembicaran berakhir, ia pasti berakhir di tempat pub favorit sampai pagi.

Perasaan itu menghanguskannya dari dalam.

Andini terdiam. Tak mungkin, kan ia cerita hal seremeh itu?  "Biasa aja. Kan emang gak ada  apa - apanya, Mbak."

Haven't I made it clear?

Want me to spell it out for you?F-R-I-E-N-D-S.


Ponselnya berdering diatas meja, menampilkan nama dan wajah Esa sedang tertidur sebagai ID Call. Wajah usil  Mbak Regina membuatnya tertawa. "Mbak, gue sama Esa 100x cuman temen.  Karna prinsip gue, Kalau sahabat ya sahabat, ga usah dicampurin bumbu cinta bulshit ala drama korea atau apalah. Karna sekarang susah cari temen baik, Mbak. Gue gak mau kehilangan Esa hanya karna putus suatu hari nanti bila berakhir cinta. Itu neraka sesungguhnya bagi gue, Mbak."




Friends (?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang