7. Perhatian (Berbuah Canggung)

1.2K 77 1
                                    


Setelah lelah bergalau ria di 3 cerita (Satunya sudah diposting di cerita berjudul 'Lakuna', sisanya nyusul.) serta kuliah tak kunjung usai kerusuhannya (maklum udah semester 3, siap - siap dibantai thesis)  Mari menggila dicerita ini . haha..


"Lo sih kemaren main hujan - hujanan kayak bocah di kolam renang, pake bikini pulak! Lihat apa yang terjadi sekarang, Bisa bangun gak?" Esa terbangun karena mendengar erangan Andini, serta pelukan sangat erat di dadanya yang telanjang. Boro - boro  romantis atau berakhir berhubungan seks tengah malam, yang ada ia seperti memeluk sebongkah arang panas karna suhu tubuh Andini melonjak drastis.

"Lo ngomel ampe ubanan dan gigi rontok juga gak bakalan ilang demam gue." 

Esa menggaruk belakang kepalanya yang mendadak seperti diserbu Pasukan Kutu Loncat melihat Andini bersembunyi dibalik selimut dengan suara gemeletuk gigi yang menyakitkan telinga. Tak tau harus berbuat apa pada jam 3 pagi buta. "Lo mau makan?"

serius? 

Andini melirik Esa yang kebingungan dari balik selimut tebalnya. Kalau saja demamnya tak setinggi ini, ia pasti tertawa terbahak - bahak sampai terjungkal dari ranjang melihat Esa yang terlihat seperti anak kecil siap menangis di tengah keramaian. "Esa, apakah gue terlihat kelaparan sekarang?"

"Gue gak pernah rawat orang sakit, dan daya tahan tubuh gue terlalu kuat untuk sakit sereceh kayak lo."

"Gue sumpahin lo sakit abis menghina gue."

Esa tertawa sambil duduk disamping Dini dan mengelus rambut pendek sahabatnya itu. "Jadi, lo pengen gue gimana? Gue gabisa tidur liat lo menggigil kayak gini."

Andini menyingkap sedikit selimutnya sambil menepuk sisi kirinya yang kosong, "Kalau gue minta dipeluk ampe pagi, merepotkan gak? Gue paling suka dipeluk saat sakit, Sa."

Tanpa perlu meminta dua kali, Esa langsung menuruti permintaan Andini, memeluk sahabatnya itu agar tertidur nyenyak tanpa mimpi, mengabaikan dirinya yang kepanasan.


***


"Gue ambil izin juga yah. Gak tenang ninggalin lo yang bangun dari tidur aja butuh perjuangan banget."

"Gue baru tau kalau perhatian sama sindiran bisa dikawinkan dalam satu kalimat. Beneran."

Esa duduk disamping Andini sambil mengambil termometer yang terkapit di ketiak kanan sahabatnya itu, bingung mengapa angka 39 derajat celcius terpampang horor didepannya. "Lo cuma hujan - hujanan, tapi demamnya kayak lagi gejala tipes. Kita kerumah sakit, yah. Biar jelas lo sakitnya apaan."

"Sa, gue cuman minum obat beli di apotik 3x sehari sambil matiin ponsel dan bikin lo frustasi, udah cukup kok. Gausah kerumah sakit segala."

"Kedokter aja gimana?"

Andini menggeleng kuat sambil menyembunyikan kepalanya dalam selimut. Cuaca terasa sangat dingin menggigit hingga ke sel - sel terkecil, hingga keputusan untuk keluar dari kungkungan selimut adalah bunuh diri kesekian. "Gue ingin istirahat saja."

Esa mengelus kepala Andini dan merasa bodoh karna tak tahu harus berbuat apa. "Gue bisa bikin bubur loh, mau?"

"Gue kangen masakan nyokap lo, Sa."

Wajah menyesal Andini membuatnya tersenyum maklum. Tak ada yang tak merindukan masakan mamanya, apalagi dirinya yang masih tersisa duka di hati walau orang tuanya meninggal beberapa tahun lalu karna kecelakaan di jalan Tol saat berniat mengunjunginya ke Jakarta.  "Gue punya buku resep mama, kok. Mau nyoba?"

Ia sungguh - sungguh ingin menceburkan dirinya ke Gunung Merapi sedang erupsi kalau diijinkan saat melihat ekspresi sedih Esa karna ucapan tak terkontrolnya. Masih jelas dalam ingatannya beberapa hari lalu saat Esa mengigau tentang kedua orang tuanya  hingga menangis dalam tidur, membuatnya saat itu memeluk sahabatnya sambil ikut menangis tanpa suara, berusaha bersikap biasa saja pagi harinya karna tau Esa terlalu tinggi gengsi ntuk mengakui kelemahannya ini. "Gak repotin?"

Esa menggulung lengan kemejanya sampai siku, dan tersenyum sambil mengacak rambut Andini. "Gak kok, gue malah seneng bisa praktekin keahlian masak sama lo."

"Gue bersyukur punya nyawa sembilan, jadi gabakalan tewas ama hasil masakan lo."

Tawa Esa membuatnya berani mengintip dari balik selimut. "Gue jamin lo tambah jatuh cinta sama gue, Dini. Karna bertambah lagi satu poin pria sempurna ala lo."

Gue demam, gue demam. Batinnya mengucapkan mantra penguat hati saat merasakan wajahnya merona dan merasa malu. "Sampah amat ucapan lo sumpah, Sa."

Ia mengusap dahi Andini yang membara karna demam, berusaha untuk tidak berjengit. "Gue akan bikin lo semanja bayi baru lahir hari ini."

"Gue akan bikin lo nyesal ngucapin hal itu."


***

"Esa, haus

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Esa, haus..."

Ia mengelus wajah Esa yang tertidur di sisi kiri ranjang sambil berusaha berdehem untuk menghilangkan gatal di tenggorokannya. Seolah demam saja tak cukup mencerocoki harinya. "Sa..."

Melihat sahabatnya tertidur pulas sambil menggenggam tangannya, ia tersenyum sambil berusaha bangkit, namun memilih tidur kembali karna sensasi kamar berputar membuatnya ingin muntah. "Sa..."

"Jangan sakit lagi, Dini. Gue gak suka lo sakit, sama gak sukanya liat lo sedih."

Jujur saja, ia paling suka mendengar Esa mengigau saat tidur, karna dari situlah dia mengetahui isi kepala sahabat plus teman tidur terbaik. "Gue suka masakkin lo makanan, gue suka liat sorot mata lo berbinar setiap menyicipi sesuatu yang gue beli, gue selalu suka dengan reaksi bahagia lo dari kecil, semua di diri lo gue suka, Dini."

"Kapan lo gak sukanya ama gue?" Dini tak sengaja mengucapkan pemikirannya keras - keras sambil memelintir rambut ikal Esa hingga menjerat jemari kanannya.

"Saat lo menyembunyikan isi kepala lo dari gue, saat gue merasa bahwa hubungan ini akan berakhir karna salah satu dari kita akan menikah, dan gue takut lo ninggalin gue, seperti orang tua gue, Dini."

"Gue kadang berpikir, apakah gue jatuh cinta sama lo?"

Andai ia punya kekuatan sedikit saja, ia memilih mengguncang tubuh Esa sampai terjatuh dari ranjang agar ucapan melantur itu terhenti, dan ia bisa tertawa sekaligus menghina secara bersamaan - seperti biasanya.

Tapi sayangnya, Esa memilih melanjutkan monolog terhoror dalam tidurnya. "Dini, gue gak mungkin suka sama lo, kan? Ini melanggar satu - satunya dalam hubungan kita yang terjalin dari mama kita saling saingan merk diaper siapa paling kece."

"Gak, Sa." Ia berdehem sekali lagi dengan cukup keras, untuk menjernihkan kepalanya yang mendadak diserbu pasukan semut merah, serta menyamarkan perasaan asing yang sedikit mencubit hatinya. "Gue gak mau hubungan kita hancur hanya karna gabisa ngartiin bahwa perasaan selama ini yang kita rasakan itu adalah nyaman, bukan cinta ala picisan."

Friends (?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang