Semoga kalian gak pernah bosan dengan cerita beralur sederhana ini. amien :)
"Esa! Jangan mengebut!"
Fokus untuk menyalip mobil dari sisi kanan buyar seketika mendengar teriakan frustasi Andini . Jakarta kalau sudah pukul 07.00 WIB membuat pengemudi bermental sehat sekalipun langsung gila bila berhadapan dengan macet. "Lo itu ribut banget sih!"
"Gue gak suka lo ngebut!"
"Kalau gue gak ngebut, gaji kita berdua bakalan dipotong sehari karna dianggap alpa!"
"Ya gapapa! Lo juga gabisa nikmatin gaji bulan ini kalau berakhir di liang lahat hari ini."
Andini melirik Esa yang manyun sambil menyetir dengan kecepatan normal dan beradab. Jujur saja, saat Esa menyalip mobil dan motor seperti gasing meliuk - liuk membuatnya lupa cara bernapas, merasa Malaikat Maut duduk dibelakang mereka dengan senyum bahagia karna baru saja menemukan sepasang manusia yang siap diantar ke alam barzah. Tuhan, ia masih ingin hidup panjang dan mati dengan cara normal. "Gue mau nanya boleh?"
"Gue bilang gaboleh juga lo bakal nanya kan?"
Ia menyengir lebar mendengar nada gerutu Esa. "Kalau kita beneran telat hari ini, emang dikenai denda berapa?"
"Seratus ribu kalau dalam 5 menit gak absen terus dianggap bolos kerja. Kenapa? mau gantiin?"
Ia mengabaikan nada sinis Esa sambil menatap kemacetan yang semakin menggila. padahal jarak antara kantor dengan apartemen mereka hanya 30 menit, kalau dihitung dengan rumus normal. "Terus gaji lo sendiri?"
Esa menatap Andini, berharap dibalik pertanyaan sepolos gadis cilik yang penasaran kenapa Bumi berbentuk Bulat itu, tak tersimpan jebakan mematikan. "Mau bandingin?"
"Cuma nanya astaga... Lo sensian amat kayak gue pas lagi PMS."
Ia melihat puncak kantornya dan menghela napas lega. Gajinya bulan ini akan selamat. "20 dengan nolnya 6 digit."
Ia mengerang saat gulungan koran yang dibelinya di perempatan lampu merah tadi menghantam belakang kepalanya. Andini terlihat melongo sambil menggelengkan kepalanya. sorot mata yang biasanya dingin itu membelalak tak percaya. "Apa - apaan sih?!"
"Sa, dengan gaji lo segitu, telat seminggu juga gabakalan bikin lo miskin!"
"Miskin sih gak, langsung dipecat iya karna dianggap gak becus kerja! Lo kan tau Dini posisi gue dikantor itu seperti apa? Gue ini menjunjung profesionalitas dalam bekerja. Gak bisa main remeh kayak lo."
Ia tak terima diserang telak oleh Esa. "Kok gue?!"
"Karna lo terlalu menyepelekan semuanya tanpa peduli bahwa yang lo remehin sekarang, itu berarti bagi gue."
Ia memilih menatap kemacetan yang semakin menggila dari balik kaca mobil, ketika berada di kompleks perkantoran. Kantornya sendiri hanya berjarak 50 meter sebelum kantor Esa. nanti gue jalan kaki saja dari kantor Esa, biar dia gak jauh muter terus gue disalahin lagi karna bikin gajinya dipotong.
Ia benci disalahkan. "Sa, gue cuman berpikir logis. apa gunanya gaji segitu kalau habis di Rumah Sakit? ada Asuransi? Iya gue sendiri juga punya, tapi masa digunain ntuk coverin' kelalaian kita? Lo boleh Profesional dalam kerja, etos lo setinggi Monas serta manajemen waktu lo tak tercela dan gue gak ngurus, cuman jangan karna itu lo bodoh dalam keselamatan diri sendiri serta orang disekitar lo."