*Andini dalam jepretan kamera Esa.
"Din, say cheese.."
Esa tertegun menatap layar kameranya yang menangkap potret Andini sedang tersenyum tepat kearahnya. Membuatnya menggigit lidah agar tak mengeluarkan jurus pujian yang membuat Andini kabur daripada termehek - mehek.
Tapi, Andini cantik sekali, Tuhan...
"Hasilnya gimana? Bagus kan?"
Ia langsung mengangkat kameranya saat Andini berusaha menggapainya, tertawa sangat puas saat wanita itu menyerah sambil memanyunkan bibirnya dan duduk dengan tangan terlipat, membuatnya langsung mencondongkan tubuhnya ke arah Dini, untuk mengecup bibir tipis yang menggoda iman itu. "Cie, ngambek."
Suasana kafee yang lengang, tatapan Esa yang membius dengan ujung hidung saling bersentuhan, membuatnya tanpa sadar memukul pelan punggung Esa yang kencang karena otot. "Apaan sih!"
"Cie merona wajahnya.."
"Esa!"
Andini jengkel melihat Esa malah terbahak - bahak saat duduk kembali. Pria itu tersenyum sangat lebar hingga ia refleks tersenyum balik. "Iseng mulu yah."
"Gak papa kan?"
Cara Esa menyentuh ujung dagu sambil menatap kearahnya, entah kenapa membuatnya tak keruan rasa. Serasa ada sesuatu yang menggelitiki belakang lehernya, perutnya mual seolah salah makan, namun anehnya kedua pipinya malah tersipu malu seolah baru saja digoda habis - habisan. "Omongan lo udah kayak Om ganjen lagi godain Cabe - cabean berdandan menor di Mall. Beneran deh, gak boong gue."
"Berarti lo cabe - cabean dong? Kan gue godain lo?"
Kampret!
Ia melempar gumpalan tisu tepat ke wajah Esa yang memerah karna terbahak - bahak. "Ngomong - ngomong, gimana hubungan lo dengan Mbak Regina?"
Esa mengangkat bahu sambil fokus memperhatikan hasil jepretannya. "so - so."
"Jawaban lo ngeselin sumpah."
"Salah terus..."
Ia tergoda ntuk merebut kamera itu, lalu menyimpannya dibalik punggung. Namun mengingat mereka berada di ruang publik serta tingkah impulsif Esa yang tak tau sikon, ia mengurungkan niat. "Mbak Regina itu cantik loh."
"Tau kok."
"Juga pinter, jago debat lagi. Cocok ama lo yang sekali ngomong selalu ajak ribut."
"Terus?" Esa mendongkak memperhatikan Andini yang memilih memainkan sedotan gelasnya. "Lo lagi kerja sampingan jadi makcomblang buat nambah gaji, yah?"
Ia memilih membetulkan posisi topinya yang tak bergerak sama sekali. Tatapan serta pertanyaan Esa ntah kenapa membuat jantungnya berdetak tak terkendali. "Cuma asah bakat terselubung kok. Jadi?"
Wajah merona Andini entah kenapa membuatnya tersenyum saat mencubit kedua pipi sahabatnya dengan gemas. "Gue senang temenan ama dia karna rame, sekalian jadi mata telinga gue buat awasin lo dikantor."
Kenapa bibir merah merona Esa hari ini terlihat menggoda banget ntuk dicium yah? "Apaan sih, Sa. Omongan lo gak beres semua hari ini."
Ia hanya tertawa sambil menggenggam tangan Andini. Sorot mata dingin dan tajam itu ntah kenapa menusuknya dengan cara yang membuatnya terpesona. "Kalau ada lo, gue gak butuh wanita lain ntuk temenin gue, Dini."
"Sa.. receh."
The way we held each others hands,
The way we talked, the way we laughedLantunan lagu Brown Eyes - Destiny Child terasa serasi dengan cara Andini yang membelalak, membuat sorot mata coklat kehitaman itu semakin berpendar indah - ketimbang menakutkan."Ini jujur, Dini. Kalau sama lo, wanita lain hanyalah bayang semu dihidup gue. Karna dalam dunia gue, hanya lo yang nyata."
I knew right then, and there you were the one