16

2.2K 127 24
                                    

Sejak kecil, Jungkook terbiasa menang. Ia tak perlu merasa kalah, karena sejak sebelum lahir pun ia sudah ditakdirkan untuk menang. Itu kata Ayahnya.

Itu sebabnya, ia tak pernah suka jika ia harus kalah dari semua Hyung-hyung nya. Baik dalam games, perdebatan, dan segala hal lainnya. Bahkan, tak jarang Taehyung marah padanya akan hal itu. Bukan pertengkaran besar, lebih cocok disebut perdebatan kecil, karena beberapa saat setelahnya mereka berdua akan kembali bermain games bersama.

Tak penting memang, tapi tak ada yang tau bahwa hal itu sangat berharga bagi Jungkook. Untuk pertama kalinya, mereka yang sama sekali tak memiliki hubungan darah dengannya, dengan tulus mengalah untuk dirinya. Jungkook bahagia, hanya mereka yang menerima segala keegoisannya dengan tulus. Menerima Jungkook yang tak pernah mau kalah.

Oleh sebab itu, Jungkook benar-benar benci saat dimana ia tak bisa mengatakan apapun. Saat Jin membungkam mereka dengan sebuah fakta yang menurutnya bodoh, ia tak suka itu. Sungguh, ia benar-benar tak menyukainya. Benci seakan menggerayapi hatinya, benci akan dirinya sendiri yang tak bisa melakukan apapun saat kakak-kakaknya sedih.

Maka, Jungkook pergi. Membanting pintu dengan hati dan pikiran yang masih kalut, langkahnya membawa Jungkook naik ke motor, dan selanjutnya hanya Jungkook, motornya dan hujan yang tau kemana ia pergi.

***

1 bulan berlalu dengan cepat, semua kejadian buruk yang telah terlewat dilupakan begitu saja. Semuanya kembali seperti semula, seakan tak ada apapun yang terjadi.

Tak ada fakta tentang Min Suga yang baru teman-temannya tau.

Tak ada tangis seorang Jeon Jungkook yang marah pada dirinya sendiri.

Tak ada luka di tangan seorang Park Jimin yang disebabkan oleh Kim Jisoo.
Semuanya kembali baik baik saja. Semua noda dalam kenangan mereka seakan telah bersih hanya dalam sekali cuci, bahkan mereka tak lagi begitu ingat tentang semua yang terjadi sebulan lalu.

Begitu pun dengan Rose, putri ketiga keluarga Kim yang dikenal sebagai Junior dengan segudang bakat miliknya, yang sudah tak terlalu peduli apa yang terjadi kemarin atau kemarinnya lagi.

Di hari seleksi Club Vocal, gadis itu langsung terkenal akan warna suaranya yang unik. Sungguh, kalimat 'Buah jatuh tak jauh dari pohonnya' seakan benar-benar diciptakan oleh Kim bersaudara. Rose terkenal akan bakatnya, namun orang-orang menganggap itu semua efek menjadi adik dari seorang Kim Jisoo, si gadis sempurna.

Tidak, Rose tak suka itu.

Ia benci berada di bawah bayang-bayang semua saudarinya, membuat ia merasa terpojok, membuatnya terasa payah dan tak berguna. Maka, Rose berusaha untuk membuat ia terkenal akan bakatnya, dan akan lagu-lagu yang ia buat. Seperti hari ini, hari minggu dimana ia dan semua saudarinya bisa bersantai sepanjang hari.

Namun, kata santai seakan tak dikenal oleh mereka. Jennie sibuk dengan dirinya sendiri di dalam ruang Gym pribadi mereka, Lisa berada di ruang latihan Dance miliknya, Jisoo sedang keluar, dan hanya Rose yang tersisa. Diam di dalam kamarnya.

Rose tersenyum, lagu yang ia buat telah selesai. Ia kembali menyanyikannya, hanya diiringi gitar akustik merah kesayangannya. Dan lagu itu terdengar sempurna, Rose menulis satu kata di baris paling atas.

Stay.

Ia kembali tersenyum, rasa bangga yang membuncah dalam hatinya tak bisa membuat Rose berhenti tersenyum. Ia kemudian turun dari tempat tidur, membawa gitar dan kertas berisi lirik miliknya, berniat memamerkan hal itu pada kembarannya saat pintu kamar Jisoo terbuka lebar.

Rose tak bisa menahan rasa penasarannya, maka ia kembali menaruh dua benda tadi sebelum masuk ke kamar Jisoo perlahan. "Eonnie, aku masuk.." Ucapnya pelan, menoleh kesana kemari, memastikan Jisoo masih di sekolah, karena seingatnya Jisoo semakin sibuk setelah menjadi wakil ketua OSIS.

Ia bernafas lega, tanpa sadar tersenyum puas saat menyadari memang hanya ada dirinya di dalam ruangan itu. Maka, Rose melangkahkan kakinya lebih dalam, memperhatikan setiap sudut kamar kakak sulungnya.

"Rose?"

Ia hampir saja merasa lehernya akan putus karena menoleh terlalu cepat, untungnya seseorang yang berdiri disana bukanlah seseorang yang ia pikirkan.

"Ada apa, Lis?" Lisa menggeleng, ikut masuk ke dalam kamar Jisoo. "Kau sedang apa disini?" Belum sempat Rose menjawab, Lisa sudah melebarkan matanya.

"AH?! KAU SEDANG ME--HMPH!!"

Rose menyumpal mulut Lisa dengan kertas bekas coretan nada miliknya yang tak terpakai. "Kau mau membuatku tuli, ya?"

"ROSEANNE KIM?!"

Dan hari itu diakhiri dengan teriakan keduanya yang berlarian ke seluruh ruangan di dalam rumah. Jennie tersenyum miris. Berpikir, orang-orang gila itu adikmu, Jennie.

***

Jung Seokjin sangat cinta memasak.

Sungguh, dia bahkan akan lebih memilih hobinya dibanding apapun. Tak ada yang paham mengapa si Tampan mencintai hal yang biasanya dilakukan oleh wanita itu, tak ada. Yang mereka tahu, Jin tak pernah peduli meski ia dicemooh. Ia melakukan apa yang menurutnya benar, dan memasak sudah jadi kebenaran untuknya.

Malam itu, ia tengah memasak di dapur. Bersenandung pelan, mengaduk sup yang ia buat. Ponselnya berdering, maka ia menyambar benda itu cepat.

"Hal--"

"Apa anda Jung Seokjin?"

Jin menyernyit, "Ya, kenapa?"

"Maaf, tapi bisakah anda datang ke alamat yang akan saya sebutkan? Ini penting." Jin menarik nafas, melirik masakannya sejenak. "Untuk apa? Ah, maaf. Tapi Saya sedang sibuk saat ini.."

"Ini tentang Ayah anda."

Dan malam itu, untuk pertama kalinya Jin membiarkan kecintannya tidak selesai. Ia memilih berlari menembus hujan.

.
.
.

Oke. Beres. Maap atas keterlambatannya :( Tugas akhir membuat semuanya jadi rumit :(

Ah iya. Apa kabar semua!! Lama tidak jumpa!! Hehe. Sebenernya masih banyak yang ingin disampaikan, tapi mungkin lain kali?

Sampai jumpa!

Best regard
Mai♣

Tell Me Why ;BANGTANPINKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang